Mohon tunggu...
Meita Eryanti
Meita Eryanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penjual buku di IG @bukumee

Apoteker yang beralih pekerjaan menjadi penjual buku. Suka membicarakan tentang buku-buku, obat-obatan, dan kadang-kadang suka bergosip.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tim Hore Jalan-jalan ke TBM Teratai Bambu

12 Oktober 2016   20:48 Diperbarui: 13 Oktober 2016   16:48 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Dokumentasi pribadi"][/caption]

Aku kemudian melihat ponsel. Ada 2 panggilan tak terjawab dari Romi dan sebuah pesan, “Teh, jalannya jangan cepet-cepet Romi ketinggal di belakang.”

Aku lalu meminta Kang Rendi yang mengendarai motor berhenti. Kami lalu berhenti di jembatan dengan sebuah tugu bertuliskan selamat jalan kecamatan Gunung Halu. Kami baru sadar kalau Romi terpisah.

“Teh, Romi ada di depan SD Cisangkang Hilir…” kata Romi.

“Aduh, Teteh sekarang ada di tugu selamat jalan Gunung Halu…” kataku.

“Teh, kayaknya kita salah jalan deh.” Potong Kang Rendi.

“Heh?”

Aku lalu mematikan sambungan telpon dan memperhatikan kang Rendi bertanya pada orang.

“Pak bade tumaros, kalau mau ke Cipongkor lewat mana ya?” tanyanya.

“Salah jalan, Jang. Harusnya tadi di Rancapanggung belok kanan. Tapi ada jalan alternatif nanti muter dulu trus belok kanan di pos ojeg sini.” Kata orang itu.

Karena Rancapanggung sudah terlalu jauh, kami lalu lewat jalan alternatif. Aku lalu menelpon si Romi, “Romi, kami kesasar. Trus lewat jalan alternatif. Ternyata ini udah hampir sampe ke Teratai Bambu. Kamu jalan aja terus. Kita ketemu di SDN 1 Cipongkor.”

Ketika Romi sampai dan menghentikan laju motornya, dia bercerita.\

“Tadi kan kepisah sama kalian, trus aku tanya orang jalan ke Neglasari bener kesini gak. Bapak-bapak yang kutanyain ngangguk trus ngeliatin aku lama. Tiba-tiba ada yang manggil aku, ‘Jang itu orang gila.’ Aku jadi diem.” Kata si Romi.

***

Itu adalah secuplik drama ketika aku, Kang Rendi, dan Romi (yang menamakan diri tim hore) pergi ke TBM Teratai Bambu yang ada di Cipongkor. Dua kali aku bertemu dengan pengelolanya, Teh Ncum, di TBM Pengelolaan Lingkungan Cibungur di Batujajar.  Ketika pertemuan itu, Teh Ncum bercerita bahwa kegiatan di TBM Teratai Bambu berjalan dari pagi sampai menjelang magrib. Pagi-pagi Teh Ncum mengisi kegiatan di TBM untuk anak-anak 5 tahun ke bawah yang tidak menempuh jenjang pendidikan TK. Anak-anak tersebut tidak dimasukkan TK oleh orang tuanya karena masalah biaya. Siangnya Teh Ncum mengisi kegiatan untuk anak-anak SD dan sorenya mengisi kegiatan untuk anak-anak SMP dan SMA.

Teh Ncum adalah lulusan pesantren dengan jenjang SMP sehingga kebanyakan kegiatan diisi oleh kegiatan keagamaan. Niat Teh Ncum tidak muluk. Beliau hanya ingin anak-anak di kampungnya mengisi waktu luangnya dengan bermanfaat dan menjauhkan mereka dari pengaruh lingkungan yang buruk.

Teh Ncum juga bercerita kalau sarana di TBM Teratai Bambu masih terbatas. Buku-buku bacaannya sangat sedikit sehingga kadang Teh Ncum juga bingung mau bercerita apa pada anak-anaknya. Lagi, belum ada bahan bacaan untuk ibu-ibu yang menunggui anaknya berkegiatan di TBM Teratai Bambu.

Berlandaskan rasa penasaran dan keinginan untuk jalan-jalan itulah Aku, Kang Rendi, dan Romi pergi kesana minggu kemarin. Setelah banyak berdrama di jalan, akhirnya kami sampai di TBM Teratai Bambu yang terletak di desa Neglasari Kecamatan Cipongkor Kabupaten Bandung Barat ketika mendung sudah menggelayut di langit dan anak-anak kecil bubar berkegiatan.

Kami lalu mengobrol dengan Teh Ncum dan menyerahkan buku-buku yang kami bawa. Ternyata keterbatasan yang diceritakan Teh Ncum sewaktu bertemu kami di TBM Pengelolaan Lingkungan Cibungur bukan sekedar basa-basi.

TBM Teratai Bambu menggunakan sebuah rumah panggung yang terbuat dari bambu sebagai tempat kegiatan. Ada dua rak buku disitu. Yang satu sebuah rak buku berisi Al Quran dan buku pelajaran sains berbahasa Inggris dan yang satu sebuah rak yang kosong. Untung kami datang tidak dengan tangan kosong.

“Ini buku bahasa Inggris dapet dari mana?” tanyaku.

“Itu sumbangan dari sana tea, Teh.” Jawab Teh Ncum.

Aku mengenyitkan dahi dan teringat kata-kata Mbak Lutfi, temanku. Kalau memberikan buku itu harus dilihat penerima bukunya dan disesuaikan. Kalau enggak, berarti harus tinggal disana untuk membacakan buku-buku yang dikasih. Bagaimanapun, buku tidak bisa menceritakan dirinya sendiri pada anak-anak.

Kemudian Kang Rendi mempunyai ide untuk membuat film tentang salah seorang anak yang ikut berkegiatan di TBM Teratai Bambu. Seorang anak yang sudah kelas 4 SD tetapi belum juga bisa membaca kemudian dibimbing pelan-pelan oleh Teh Ncum sehingga sekarang sudah pandai membaca dan menulis. Film tersebut rencananya mau diikutkan dalam sebuah lomba bertemakan perpustakaan.\

Di tengah pembuatan film tersebut hujan deras pun turun. Namun hujan tidak menyurutkan niat Kang Rendi dan Romi untuk mendokumentasikan kegiatan yang ada di TBM sederhana ini dengan segala perlengkapan sederhana juga yang mereka bawa. 

Aku sendiri sibuk mengagumi keindahan alam di desa itu yang seperti lagu, “…. Sungai tampak berliku, hijau sawah membentang bagai permadani di kaki langit. Gunung menjulang berpayung awan….”

Aku yang sempat mendongeng untuk anak-anak tersebut mencoba meminta seorang anak untuk gantian membaca buku ceritanya. Aku agak terkejut saat anak tersebut membacanya masih terbata-bata padahal dia sudah kelas 4 SD. Bukan apa-apa, aku pernah melihat buku pelajaran keponakanku yang kelas 4 SD dan nampak bahwa pelajarannya cukup kompleks. Bagaimana anak ini berproses di sekolah padahal dia saja untuk membaca masih terbata-bata seperti itu?

Aku kemudian mengutarakan kekhawatiranku tersebut pada Teh Ncum dan Teh Ncum juga ternyata mengiyakan pendapatku.

“Makanya disini saya latih anak-anak untuk bisa lancar membaca. Supaya di sekolahnya mereka bisa mengikuti pelajaran dengan baik.” Katanya.
Aku lalu melirik lagi ke buku matematika, biologi, fisika, dan kimia berbahasa Inggris yang ada di rak. Buat apa coba buku-buku itu disini? Mereka membaca tulisan berbahasa Indonesia aja masih ribet.

Pengambilan gambar untuk film baru selesai lepas magrib dan kami berpamitan pada Teh Ncum pukul 20.30an. Suasana agak mencekam karena tidak adanya lampu jalan di situ. Belum lagi jalanan yang licin dan kecil karena gerimis padahal sebelah adalah jurang.

“Mbak Mei, Mbak jalan dulu ya dari sini sampai atas?” kata Kang Rendi. “Serem ih kalau boncengan.”

“Iya.” Jawabku. “Kalo jatuh sebelah jurang, Bo.”

“Ih, si Mbak mah komentarnya gitu.”

Di desa yang sederhana itu, Teh Ncum yang lulusan SMP berusaha berbuat sesuatu supaya bisa bermanfaat untuk sesamanya. Dan aku yang lulusan sarjana ini, entah apa yang aku kerjakan selain untuk diriku sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun