Hari senin adalah hari yang pinginnya dihindari. Entah kenapa, tiap hari senin, gak di rumah sakit, gak di klinik, pasti pasiennya banyak. Buat aku, pasien banyak gak apa, yang penting jangan ada racikan. Dengan menjadi satu-satunya tenaga farmasi yang mengerjakan semua pekerjakan kefarmasian, begitu kebentur resep racikan. Udah deh, numpuk resep lainnya.
Tapi untungnya di klinik, pasien disini gak ada yang pernah komplen mengapa obatnya lama. Gak pernah juga sih obat diberikan dalam waktu lebih dari 5 menit kecuali kalau ada yang nanya-nanya mendetail dan numpuk di resep racikan. Beda sama di rumah sakit swasta yang pasiennya adalah orang-orang kaya. Yang pinginnya obat langsung ada begitu mereka selesai periksa.
Tapi hari ini aku salah mengambil kesimpulan itu. Ternyata, ada juga orang yang ingin diperlakukan bak raja di klinik sekecil ini.
Sore yang ribet itu, tiba-tiba menjadi gaduh karena ada pasien yang berteriak dari tempat pendaftaran.
“Anda ngelayani yang bener donk. Saya mau ke dokter gigi!” teriak seorang pasien.
“Bapak kenapa gak bilang kalau mau ke dokter gigi?” tanya bidan yang merangkap dipelayanan pendaftaran, sambil melayani pasien yang lainnya.
“Harusnya Anda tanya, saya mau ke dokter mana. Anda ini, malah sinis ke saya.” Teriak pasien itu lagi.
“Saya gak sinis, Pak. Saya hanya bertanya, ini pasiennya banyak. Mana saya tau bapak mau ke dokter mana kalau bapak tidak memberi tahu saya.” Kata bidan membela diri.
“Sudah! Anda ini dibayar lho, kok sinis kayak gitu? Saya ni bayar lho.” Teriak pasiennya.
Ni orang, bener-bener kebangetan. Pingin banget aku damprat dianya tapi daripada tambah rame, aku memilih diam di ruanganku sambil menyelesaikan tugasku mengecek obat-obatan.
Tak berapa lama, bidan menyuruh pasien tersebut masuk ke ruang dokter gigi. Pasien tersebut bukannya langsung masuk tapi malah menyempatkan diri berkomentar, “Nah gitu donk, Anda kan dibayar. Jangan sinis sama saya. Kan saya berobat ini juga tidak gratis.”
Aku yang saat itu sedang memegang botol obat, ingin rasanya melemparkan botol obat itu pada pasien ini ketika dia lewat di depan ruanganku. Dia ni kenapa sih?
Setelah beberapa saat di ruang dokter, tiba-tiba, si dokter gigi keluar dari ruangannya dan berteriak, “Saya gak mau meriksa pasien ini. Suruh pulang aja pasiennya. Dia gak punya etika.”
Pasien yang sedang menunggu dan petugas yang ada di situ langsung menoleh ke arah ruang gigi. Si perawat lalu masuk ke ruang gigi. Setelah hening beberapa saat, kemudian orang-orang jadi kusak-kusuk menanyakan apa yang terjadi.
Setelah semuanya reda dan pasien yang menunggu dokter umum sudah tidak banyak, aku lalu menghampiri bidan dan perawatnya.
“Si dokter gigi kenapa sih itu tadi?” tanyaku.
“Gak tau Teh, tadi kan pas keluar dari ruangan dokter gigi, pasiennya minta dirujuk. Trus pas aku bilang sama dokter gigi, dokter giginya gak mau bikin surat rujukan, katanya aku aja yang suruh nulis. Ya udah aku tulis. Kayaknya dokter gigi marah banget deh sama pasiennya.” Kata bidan.
“Dokter giginya marah, soalnya pasiennya belagu.” Kata perawat.
Dia lalu duduk sambil memegang kasa untuk dilipat lalu mendongeng, “Tadi pas aku nyuci alat, dokter gigi cerita. Pasiennya ditanyain sama dokter gigi, giginya kenapa. Pasien bilang giginya lubang. Terus pas dokter tanya lagi si pasiennya tiba-tiba bilang ‘Dokter jangan nanya-nanya terus saya ni lagi sakit.’. Sampe disitu, dokternya udah bete, trus bilang kalau pasiennya masih belagu dokter gak mau meriksa. Eh, pasiennya malah nyolot, ‘Dokter gak bisa bilang gak mau periksa saya, saya kan sudah bayar.’. Naik pitam deh dokternya. Trus bilang,’ Bapak mau masalah ini diselesaikan dimana’ trus keluar.”
Ya ampun, tu pasien bilang sama semua orang kalo dia bayar. Emang dia bayar berapa sih?
“Pingin banget tau kubilang, semua yang duduk di sini pasien BPJS, dan mereka semua bayar! Gak ada tuh yang teriak-teriak kayak dia gitu.” Kata bidannya masih menyimpan emosi untuk pasien yang tadi.
“Emang dia bayar berapa sih iuran BPJSnya?” tanyaku. “Dia ambil kelas I kali yah?”
“Mau dia iuran berapapun, tetep gak boleh donk marah-marah kayak gitu. Da semuanya kan juga bayar.” Kata bidan. “Ngomong kayak gitu sama dokter lagi. Untung aja masih diusir. Coba dia tiba-tiba sama dokter gigi dibedah rahangnya gak pake dibius. Apa gak malah bahaya?”
“Sebenernya, kalau saya jadi dokter gigi, itu yang kemungkinan besar bakal saya lakukan.” Kataku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H