“Emang. Aku tadi udah bilang sama ibunya sih. Obatnya cuma buat 3 hari jadi anaknya jangan puasa dulu,” Kata si dokter. “Tapi kamu lihat dong, mukanya ibu itu. Itu muka orang yang gak akan ngikutin omongan kita jadi aku ya cuma ngomong sekedarnya aja. Gak buka kuliah pagi kayak kamu. Lagian kan kamu udah lama kerja bareng saya. Masak iya sih kalo dia cuma batuk pilek demam biasa saya kasih antibiotika?”
“Kalau orang dewasa sih, saya kasih Ciprofloksasin yang diminumnya cuma 2 kali sehari. Apa yang anak-anak mau dikasih Cipro juga?” tanya si dokter sambil tersenyum jahil.
“Tong atuh ah.” Samberku. “Ciprofloksasin tidak diperuntukkan anak usia kurang dari 12 tahun.”
***
Pagi ini, aku membaca artikel yang ditulis oleh Ehab Mudher Mikhael, seorang apoteker dari Iraq, yang berjudul "Antibiotic-prescribing Patterns for Iraq Patients During Ramadan". Dalam pendahuluannya Ehab menjelaskan tentang orang-orang Iraq yang walaupun sakit tetap bersikeras meneruskan berpuasa. Ah sama dengan orang-orang sini kalo begitu.
Ehab juga menjelaskan tentang peningkatan angka kejadian infeksi selama bulan Ramadan. Masalahnya kemudian adalah penggunaan obat-obat antibiotika pada pasien infeksi yang masih ngotot ingin berpuasa. Pasien yang mendapat antibiotika tetapi mereka berpuasa memicu penggunaan antibiotika yang tidak tepat sehingga bisa meningkatkan kejadian resistensi antibiotika.
Pada penelitian yang dilakukannya, Ehab mendapat kesimpulan bahwa infeksi pada mulut adalah angka kejadian infeksi yang tertinggi di Iraq, tetapi angka kejadian penggunaan antibiotika dengan regimen yang salah rendah karena pasien tidak berpuasa. Infeksi gigi menimbulkan nyeri yang berat sehingga pasien butuh minum analgesik dan mereka jarang berpuasa sampai benar-benar sembuh.
Dokter di Iraq sendiri juga memastikan pasien yang akan diresepi antibiotika berpuasa atau tidak sehingga mereka bisa memilihkan antibiotika yang hanya diminum sekali sehari. Walaupun ada juga dokter yang tidak sempat menanyakan pasiennya apakah berpuasa atau tidak. Ada dokter yang meresepkan penggunaan antibiotika dengan frekuensi 2 kali sehari bahkan ada juga yang meresepkan antibiotika dengan frekuensi 3 kali sehari.
Menurut Ehab, di Iraq yang durasi puasanya 16 jam penggunaan antibiotika dengan frekuensi 2 kali sehari masih tidak tepat karena antibiotika dengan frekuensi 2 kali sehari seharusnya diminum tiap 12 jam. Bukan berjarak 16 jam antar minumnya.
***
Dulu, saat masih bekerja di rumah sakit, beberapa dokter menggunakan antibiotika dengan frekuensi penggunaan 1 kali sehari atau 2 kali sehari pada pasien yang berencana berpuasa. Kini, di klinik provider JKN dengan segala pembatasan pilihan obatnya, memang tidak banyak yang bisa dilakukan. Antibiotika terutama untuk anak tersedianya yang dengan frekuensi 3 kali sehari.