Aku hanya menggelengkan kepala menolak mendengarkan pembelaan dirinya. Aku lalu teringat pada status seorang istri dokter di FB. Ceritanya, dia dan suaminya LDR-an. Suaminya kuliah di jogja dan dia tinggal di Purworejo dan tiap minggu suaminya pulang ke Purworejo. Suatu Sabtu, suaminya meminta ijin untuk menggantikan temannya bertugas di sebuah klinik. Istrinya menanyakan bayaran yang didapat. Karena dirasa terlalu kecil, istrinya meminta sang suami untuk pulang.
Ini bukan masalah pelayanan atau bukan, ini masalah kebutuhan dan kepentingan mana yang harus diambil. Dokter kan juga manusia, yang butuh membiayai hidupnya. Makanya dokter menjadi sebuah matapencaharian. Untuk kasus teman FB, dia lebih butuh bertemu dengan istrinya dibanding dengan nilai uang yang ditawarkan oleh klinik.
Pada bulan Januari lalu, aku mendengar dokter-dokter muda di Inggris akan melakukan pemogokan kerja. Permasalahannya adalah kontrak baru yang diajukan oleh menteri kesehatan. Kontrak tersebut merubah cara mereka mendapatkan bayaran untuk jam kerja antisosial. Para dokter merasa dalam kontrak tersebut tidak ada perlindungan yang pantas untuk dokter yang bekerja dalam waktu yang sangat panjang. Dari kementerian kesehatan Inggris sendiri, dengan segera mereka mengupayakan mediasi dan membuat kesepakatan baru sebelum hari mogok yang dijanjikan.
Dulu, 40 tahun yang lalu, dokter di Inggris itu pernah juga mogok kerja menuntut gaji di luar jam kerja standar yaitu 40 jam seminggu. Beberapa waktu kemudian, kesepakatan baru yang dirasa ‘win-win solution’ dibuat. Yang membuatku terharu, betapa kementerian kesehatan di Inggris begitu memperhatikan tuntutan tenaga medisnya.
Aku pernah mendengar bahwa tenaga apoteker di Inggris sangat berlimpah. Setiap primary care ada apoteker yang stand by selama jam buka. Bahkan di rumah sakitnya, ada apoteker yang ‘hanya’ melakukan research. Di Inggris, menjadi apoteker menjadi jaminan kesejahteraan karena bayarannya yang setara dengan dokter. Bandingkan dengan di sini, untuk apotek saja, bisa jadi apotekernya tidak ada karena memang apotekernya hanya memasang nama. Masalah bayaran, tanyakan saja dengan apoteker komunitas yang anda temui.
Bahkan, aku pernah mengobrol dengan seseorang yang hendak membuat klinik. Dia merasa keberatan karena ada banyak pegawai yang harus ada.
“Coba Ta, mau bikin klinik tuh harus ada dokter penanggung jawab, apoteker penanggung jawab, sama perawat. Kan jadi banyak yang digaji.” Kata orang tersebut.
“Lah maunya gimana?” tanyaku.
“Dokter aja…” jawabnya.
“Kalau gitu buka praktek dokter mandiri aja. Repot amat.” Kataku.
“Tapi kan…” dia mau menyanggah sesuatu. “Lagian klinik baru harus nggaji segitu banyak orang... Bisa kali ya apotekernya pinjem nama aja, trus aku nggaji asisten apoteker buat pelayanannya?”