Aku lalu menangkap kejanggalan disini. Untuk kasus penyakit kulit, aku tau dokter satu ini jarang sekali memberikan antibiotika ataupun anti jamur yang diminum. Untuk antijamur yang diminum , biasanya kalau kasusnya udah gawat dan itu maksimal 5 hari. Beneran dia mau ngasih ketoconazole oral buat 4 hari lagi? Aku lalu jadi punya gagasan dia gak bisa baca tulisan temennya.
“Emang yang diresepin apa aja?” selidikku.
“Ya yang ditulis disitu.” Jawabnya.
Emh, ngeles dianya. Keknya beneran deh dia gak bisa baca tulisan temennya. Dasar dokter….
“Beneran mau diterusin, disini dokter sebelumnya ngasih ketoconazole tablet lho…”kataku.
“Hah? Ketoconazole tablet? Tong atuh… ketokonazole tablet jangan diminum lama-lama.” kata dokter itu tiba-tiba. “itu resepnya apa aja sih?”
Aku pingin banget berteriak kayak pemain bola lagi ngegolin bola ke gawang lawan. Puas banget akhirnya keucap pertanyaan itu yang meyakinkan dugaanku. Dari tadi kek… Karena tau diri, aku tidak mengeluarkan sepatah katapun. Tapi aku yakin mukaku memancarkan kebahagian berlebih yang bikin muka dokter jadi bete.
“Ketoconazole salep, ketoconazole tablet, sama loratadin.” Jawabku.
“Ya udah yang dilanjutin salep sama loratadinnya aja.” Katanya.
Akupun lalu undur diri. Di ruang farmasi aku masih merasa geli dengan percakapanku dengan dokter tadi. Ternyata pertanyaanku dulu terjawab. Bahkan dokterpun belum tentu bisa membaca tulisan temannya sendiri. Semakin kesini, aku merasa bukan dosa kok tulisan dokter itu jelek. Menulis adalah seni karena tulisan tanganku sendiri gak bagus-bagus amat. Buatku yang penting adalah tulisan itu bisa dibaca dan dimengerti oleh orang lain yang terkait. Membaca tulisan dokter, mungkin seperti guru yang membaca tulisan murid-muridnya. Masing-masing murid, punya gaya tulisan tangannya sendiri-sendiri. Yang perlu aku lakukan adalah mengenali tulisan itu, supaya tidak salah memberikan obat pada pasien.