Aku melihat diriku seperti monster, mata memerah dan mulut mendengus bagai haus darah, sementara di sisi yang lain serombongan kurcaci menyeringai tajam, mereka mengepungku, tubuh mereka melesat cepat, menindih dan mencakar-cakar wajahku.Â
Aku terpelanting sembari mendesis melakukan perlawanan. Dunia kurasakan gelap, sebelum kemudian sekelebat cahaya putih menarikku kuat-kuat, aku terlempar dalam rasa sakit yang luar biasa.
"Tenanglah, Kinar. Semua sudah berakhir. Kau sudah terlepas dari pengaruh buruk yang telah memasungmu selama beberapa tahun ini, jin yang mendampingimu telah pergi bersamaan dengan rangkaian bunga mawar di lehermu, tentunya semua karena ijin Allah lewat doa-doa yang dibekali Ustadz Muslim. Beliau telah mengajariku tentang agama." terang Faqih panjang lebar, aku termangu keheranan di tengah kecamuk rasa bersalah yang sempat membuatku tak berdaya.
"Terimakasih, Tuhan. Kau sudah mempercayakan seorang imam yang benar-benar akan membimbingku pada pengabdian-Mu,"
"Kita lanjutkan acara ini ya, kasihan mereka lama menunggu. Kau siap jadi pendamping dan muara bagi cinta yang ingin kudermakan, atas nama Allah dan Rasul-Nya?"
Bisiknya lembut, sembari memapahku bangun. Aku hanya tersenyum mengiyakan, meski aku belum sepenuhnya mengerti apa yang telah terjadi. Mengapa harus dengan serangkaian bunga mawar jin itu bisa pergi, dan sejak kapan aku berada dalam pengaruhnya?Â
Aku tak ingin tahu, yang kuingini hanya melihat ibu tersenyum dan sebuah keyakinan inilah takdir yang diputihkan Tuhan, lewat seraingkaian mawar sebagai jawaban dari doa-doa yang kuserukan.Terima kasih, Tuhan. Kau telah membebaskan aku dari praduga menyesatkan.
Madura, 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H