Mohon tunggu...
Meisya Zahida
Meisya Zahida Mohon Tunggu... Wiraswasta - Perempuan penunggu hujan

Sejatinya hidup adalah perjuangan yang tak sudah-sudah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Dilema Rindu dalam Jarak Tunggu

7 Maret 2020   19:02 Diperbarui: 7 Maret 2020   19:08 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rindu; keperihan
yang sulit terobati
mengangkangi rasa,
merambah semesta
waktu melipat cuaca
pada gerak
pada diam
meninggalkan jejak
dalam semi
pun kemarau
serupa nyawa
bernapas di lekuk raga

Karena rindu
aku--kamu bertanya-tanya
menjadi pengelana
hilang arah
terdampar di teluk samudra
kadang melata
di padang sahara
menghitung hari
"kapankah malam
berganti pagi?"

Saat rindu
pikir memberontak
pada takdir
membayang resah
jarak terlampaui
tawa terngiang di telinga
tidur tiada lena
senyum pun memaku
memesona; bayangnya

***

inilah kesaksian bisu hanya bisa kusemat dalam kalbu, menjadi ritual indah kala ingatan tak mampu kubendung dengan suara. Meski waktu tertinggal jauh, kenangan-kenangan kita, juga harapan-harapan yang sudah berbuah nestapa. Mungkin sendiri memang episode renungan agar belajar dari kesalahan, atau bangkit untuk sebuah perbaikan walau mungkin tak sejalan dengan kenyataan.

Aku tak mengerti, mengapa perih selalu menjadi mata kunci, melemparku dalam sunyi, tak jarang tangisku melewati pagi. Seperti kini, deraan hampa teramat abadi membisiki ruang dada, memanggil namamu, bahkan mengawani diamku seakan bersentuhan antara sadar dan lamunan.

"Tidurlah, Nadila ... kau cukup dewasa memantik luka, bukankah setia tak harus berhadapan dalam tatap muka? Tuhan teramat bijaksana menumbuhkan cinta, pada jarak tak terlihat, rasa kasih menjadi pilar maha daya, melahirkan doa-doa hingga antara aku denganmu ada penjagaan dan kita tenteram dengan rahman-Nya." 

Terngiang suara lembutmu, Pras. Selalu, setiap kali kita terjaga di ujung malam. Menapasi jiwa-jiwa lelap yang mungkin menitip mimpi dengan berjuta harap, atau melanglangi gigil malam dengan munajat merayu Tuhan.

***

Semua memang salahku, ketika suatu hari aku terpaksa menyisih pergi. Engkau yang sudah membulatkan janji kan membawaku ke pelaminan suci, dengan begitu egonya harus kupaksa berhenti. 

Karena alasan-alasanku yang mungkin teramat janggal dan terkesan mengada-ada bagimu, tapi sebenarnya kau tak pernah paham, itulah pengujian cinta yang terpaksa kulakukan untuk mengetahui sejauh mana kesungguhanmu sebagai imam, apakah kau bisa bertanggung jawab seperti yang Rasul arahkan, atau hanya menuruti nafsu untuk waktu yang cepat memudar?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun