Mohon tunggu...
Meisya Zahida
Meisya Zahida Mohon Tunggu... Wiraswasta - Perempuan penunggu hujan

Sejatinya hidup adalah perjuangan yang tak sudah-sudah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Aku yang Lain

24 Februari 2020   09:27 Diperbarui: 24 Februari 2020   09:23 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini aku melihat hal yang  janggal, saat tubuhku terpantul di dalam kaca, di permukaan cermin yang seharusnya menyimpan segala hal yang berhubungan dengan anggota tubuh, mulai dari kepala sampai kaki, aku menemukan bayangan yang berbeda, mataku. Ya, mataku. Ada riak sedih yang tersimpan, seakan bola-bola kecil itu memendam rahasia, mata yang lebar sebelah, sedang satunya setengah terkatup, aku merasa terganggu ketika kusadari mata-mata itu menatapku dengan tajam, tapi aku merasa itu bukan mataku. 

Aku mengucek kedua  mataku sendiri, keanehan ini benar-benar sebuah keajaiban yang harus kupecahkan. Aku merasa baik-baik saja, aku beraktivitas seperti biasa, bahkan aku sangat bahagia. Aku pun berencana merayakan kegembiraan ini dengan, Elsi. Sahabat terbaikku. Aku yakin, Elsi akan mencabut semua anggapannya yang keliru, dia bilang, aku Gadis cupu yang tak kan pernah menemukan cinta. Menurutnya, aku hanya pantas menjadi kutu buku dan menunggu Pangeranku di dalam hayalku saja, tapi dia salah. Buktinya, Aditya telah mengajakku bertemu, pertemuan yang kurang membahagiakan memang, setelah sebelumnya kami ibarat dua orang pelayar dalam Kapal berbeda, tapi disatukan dengan isyarat dan kode-kode rahasia, hanya kami yang mampu menebaknya. Hubungan jarak jauh yang tidak pantas disebut hubungan. Kami hanya merasa saling membutuhkan, melengkapi, lewat pesan-pesan juga diskusi kecil dari sekian pertanyaan. 

Aku memberanikan diri menatap cermin itu lagi, kali ini, aku disudutkan pada sebuah kenyataan yang meresahkan. Tak ada bayangan seperti diriku, hanya gulungan warna hitam yang menakutkan. Aku sedikit bergidik, apakah ini sebuah kegilaan untuk menakut-nakuti diriku, atau mataku yang tiba-tiba rabun? 

"Kau terkejut, Rasty?" tegurnya, menyentak kesadaranku. Bayangan diriku seperti menerkam ragaku sendiri. Aku undur ke belakang, tapi, ia malah merangsek ke depan. 

"Kau ... siapa?" ucapku penuh getar. Rasanya, aku butuh pertolongan sekarang. Aku berusaha membalikkan badan dan lari dari situasi yang menjepit ini. Tapi ... 

"Tenanglah, Rasty. Akulah dirimu, kau tak kan bisa menghindar. Aku ada di setiap gerak tubuhmu, pikiranmu, juga hatimu. Aku yang paling memahami dirimu, aku bahkan sangat tahu, kau sedang pura-pura bahagia, kan?" Ia memberondongku dengan pengakuan yang tak wajar, aku makin tertekan, tapi tubuhku benar-benar tak bisa digerakkan. 

"Lepaskan, aku. Aku tak mengenalmu sama sekali. Lihat! Kau begitu jelek, tak berwujud. Kau juga tak berbentuk." Aku terhenyak lunglai, keringat dingin serasa menyungai di tubuhku, mengalir di setiap pori-pori yang tersumbat. Antara cemas dan tak percaya, mengepung seluruh keberanianku. 

"Ha ... ha, aku jelek, Rasty? Sudah kukatakan, yang kau lihat ini adalah dirimu, sangat jelek bukan? Kau sudah dipermainkan oleh perasaanmu sendiri, keinginan-keinginan di luar energi kemanusianmu itulah yang menyebabkan kau tak mengenal dirimu lagi. Kau hanya menuruti perasaanmu yang melambung tinggi, melampaui area yang tak sebenarnya. Kau sedang jatuh, Rasty. Aku yang merasakannya," disentuhnya keningku, aku belum melihat sosok aslinya. Yang kurasakan hanya kibasan angin, berkesiur di wajahku. 

"Kenapa kau mau peduli padaku? Kau pun membuat pernyataan seolah-olah aku paling menderita di bumi ini, kau tidak berhak memvonis aku di luar apa yang sesungguhnya terjadi, itu sebuah kebohongan," Aku berusaha menunjukkan keberanian padanya, seenaknya dia mengkliam aku dengan praduga yang menyesatkan. Dia harus tahu, aku perempuan tangguh yang seratus persen waras. 

"Apa kau masih berani bilang waras setelah pertemuanmu dengan Aditya itu, perjumpaan yang sia-sia. Kau hanya menyiksa diri dengan mengulang kebodohan yang sama. Berhentilah berharap, buang jauh-jauh apa yang tak layak kau pertahankan. Aku kasihan padamu, Rasty." Aku merasakan kucuran air jatuh di sela-sela jemariku. Kali ini aku terdiam, aku mencoba menemu jawab dari segenap muasal yang dia ungkap. 

*****

Pagi yang sumringah, rimbun pohon bakau berjejer rapi di tepian pantai Talang Siring, tempat wisata yang mulai banyak disinggahi Pelancong, karena suasananya yang memikat benar-benar menghadirkan pemandangan menakjubkan. Air laut pagi ini terlihat surut, kata sebagian orang di tanggal-tanggal muda memang begitu, sampai nanti tanggal sebelas hingga dua puluhan air laut akan pasang. Siklus perubahan itu silang menyilang antara pagi dan malam. Jika pagi ini, surut. Kemungkinan akan pasang pada malam harinya.

Aku perhatikan, beberapa orang duduk bergerombol di beberapa teras, tepat menghadap laut. Mungkin mereka sedang berlibur, mungkin juga ada yang kesepian, semisal aku yang menunggu seseorang dengan rasa gelisah luar biasa. Maklumlah, setelah sekian bulan aku dan Aditya berbagi cerita lewat HandPhon, dia akan menyambangi aku dengan janji-janji sesuai yang kami sematkan. 

"Dik, ajari aku tentang agama, ya. Aku percaya kamu perempuan pilihan yang ditunggukan Allah buatku," kata Adit di ujung telepon. Aku hanya diam sebagai ungkapan rasa bangga akan semua ketulusannya. Katanya, dia tak ingin lagi pacaran, karena cinta yang sesungguhnya adalah kebersamaan yang diikat dengan tali pernikahan. Begitulah kami, melewati waktu dengan saling berkabar, saling menyemangati dan mengisi hari dengan ikhtiyar dan janji. 

"Dik, lama menunggu?" Seseorang menepuk bahuku, aku menoleh dan mendapati sosok yang berdiri gagah di depanku, Aditya. 

"Kak, Aditya?" kejutku, sembari mengajaknya bersalaman. Kami duduk bersisian tanpa saling bicara, laut yang begitu luas dengan aneka pasir dan barisan bakau seperti menyimpan kata-kata kami, jauh ke dalam batin. Aneh, aku tak melihat antusias ucapannya seperti di telepon, ungkapan janji-janji manisnya, juga kesan kebersamaan saat kami berbagi cerita. Aku pun mengikuti diamnya, sesekali mengajaknya bicara dan mencoba mencairkan suasana dengan menawarkan minuman. Dia menolak dan kembali dalam kebisuan yang sama, hingga kami terpisah tanpa kesan berarti. 

****

"Berhentilah memburu sesuatu yang tak terlihat, Rasty. Kau harus mampu merelakan yang tak layak kau perjuangkan, biarkan dia menjauh. Sebelum hati dan tubuhmu lebih tersakiti," suaranya kembali terngiang. Aku melihat cermin di depanku dengan utuh, cermin yang meyembunyikan sisi yang lain dalam diriku, yang bisa melihat hal yang ganjil, mengungkap kejujuran dari ketidakberdayaan yang hilang. 

Madura, 24 Januari 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun