Judul buku : Cinta Tak Ada Mati
Penulis : Eka Kurniawan
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : 2018
Jumlah halaman : vi + 153 hlm
ISBN : 978-602-03-8635-5
Cinta Tak Ada Mati adalah sebuah kumpulan cerpen karya Eka Kurniawan yang berisi tiga belas cerpen. Cerpen-cerpen tersebut sempat dimuat di berbagai media cetak. Buku ini berhasil meraih penghargaan Prince Claus 2018.
"Cinta Tak Ada Mati", cerpen yang judulnya menjadi judul buku ini, berisi tentang Mardio yang sangat mencintai Melatie. Dia tidak pernah menyerah untuk bisa mendaparkan Melatie walaupun berulangkali menerima penolakan. Melatie akhirnya menikah dengan seorang dokter. Mardio mengharapkan keluarga mereka kandas. Bahkan, Mardio sampai membuntuti si dokter dan memergokinya berselingkuh. Keluarga tersebut hampir bercerai, tetapi Melatie memilih memaafkan si dokter. Mardio tetap tidak bisa mencintai wanita lain selain Melatie bahkan sampai Melatiemeninggal.
Seperti pada karya-karya lainnya, Eka Kurniawan menyajikan kumpulan cerpen ini dengan cara yang luar biasa. Dia menulis cerpen "Pengakoean Seorang Pemadat Indis" dengan menggunakan ejaan lama. Hal itu merupakan cara yang unik mengingat ejaan lama sudah tidak lazim digunakan pada zaman sekarang. Cerpen "Bau Busuk" juga melawan kaidah kepenulisan. Cerpen sepanjang sembilan lembar itu hanya berisi satu kalimat karena tanda titik dalam cerpen tersebut hanya ada di akhir cerita.
Imajinasi Eka Kurniawan yang luar biasa tergambar dalam cerpen "Mata Gelap". Dalam cerpen itu, Si Mata Gelap memiliki kesaktian yang luar biasa. Dia bisa menyimpan suatu peristiwa dalam matanya dan memperlihatkannya kepada orang lain di lain waktu. Si Mata Gelap sempat melihat pembantaian dalam suatu huru-hara politik. Ketika kedua mata Si Mata Gelap dicongkel oleh Jin Berkepala Tujuh yang tidak ingin ada saksi dalam peristiwa itu. Namun, hal itu malah membuat kesaktian lain Si Mata Gelap muncul.
Eka Kurniawan juga sangat lihai dalam menghadirkan emosi dan suasana dalam cerita pendeknya. Gambaran suasana dalam cerpen "Penjaga Malam" ditulis dengan sangat detail sehingga pembaca ikut merasakan ketegangan danketakutan tokoh-tokoh di dalamnya.
Kesenyapan sekonyong datang begitu angin berhenti. Gelap pekat membuatku serasa dikubur hidup-hidup, dan aku bertanya-tanya ke mana suara binatang-binatang malam. Aku berharap ajak itu muncul lagi, paling tidak untuk meyakinkanku sesuatu masih hidup di sekitar gardu. Tapi tak ada ajak setelah menit-menit berlalu. Bukan kebiasaan mereka tersesat hingga ke kampung. Babi dan monyet sering melakukannya, tapi tidak ajak. Seekor burung hantu menggeram, demikian suaranya kudengar, namun segera lenyap. Dunia kembali sunyi, lelap seperti mayat. Kugerakkan jemariku, memastikan diriku masih hidup (Kurniawan, 2018:97).
Eka Kurniawan menyajikan sindiran halus yang membuat pembaca tersenyum miris, misalnya dalam cerpen "Tak Ada Yang Gila di Kota Ini". Dalam cerita itu, para pengkhotbah mengancam akan membakar losmen yang sering dijadikan tempat para pelancong memperkosa orang gila. Namun, mereka tidak melarang para pelancong datang karena kehidupan mereka sendiri bergantung kepada parapelancong.
Kumpulan  cerpen  Cinta Tak Ada Mati menyajikan  ciri  khas  gaya  menulis Eka Kurniawan yang unik. Tokoh-tokoh, latar, jalan cerita, dan cara penulisan cerpen-cerpen tersebut berada di luar kelaziman. Buku ini sukses membuat pembaca tertegun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H