Novel Laut Bercerita mengangkat sisi kelam sejarah perpolitikan Indonesia. Novel ini bercerita tentang para aktivis yang dihilangkan oleh pemerintah pada tahun 1998 dan orang-orang terdekat yang mereka tinggalkan. Kisah dalam buku ini disajikan dalam dua bagian dari dua sudut pandang yang berbeda.
Sudut pandang pertama datang dari tokoh Biru Laut. Laut adalah seorang mahasiswa Universitas Gajah Mada sekaligus aktivis yang tergabung dalam sebuah kelompok bernama Winatra. Dalam sudut pandang ini, Laut menceritakan perlawanan terhadap Orde Baru bersama kelompoknya sampai mereka ditangkap dan disiksa.Â
Kelompok ini aktif dalam memperjuangkan hak-hak orang kecil dan melawan pemerintahan otoriter. Namun, perjuangan mereka sangat sulit, seringkali gagal dan beberapa kali sempat tertangkap. Puncak penangkapan mereka adalah pada tahun 1998. Saat itu, mereka ditangkap dan disiksa. Sebagian dari mereka bebas dan sebagian lagi hilang termasuk Laut.
Cerita Laut tidak hanya berputar pada perlawanan terhadap pemerintah. Laut lahir di sebuah keluarga yang harmonis dan penuh kasih sayang. Kedekatan Laut dengan ibunya ditunjukkan dengan kesenangannya memasak bersama dan saling menebak bumbu.Â
Hubungan Laut dengan teman-teman seperjuangannya pun terjalin erat. Mas Gala atau Sang Penyair adalah seorang sahabat sekaligus guru bagi Laut. Sunu, sahabat pertama Laut di universitas, sangat memahami Laut.Â
Dia bisa membedakan diamnya laut yang bisa berarti lapar, marah, atau jatuh cinta. Laut jatuh cinta kepada Anjani, seorang seniman Taraka yang membantu memperindah tembok kusam markas Winatra. Mereka pun menjadi sepasang kekasih. Anjani menjadi salah satu sumber energi Laut dalam perjuangannya.
Sudut pandang kedua datang dari Asmara Jati, adik Biru Laut. Berbeda dengan Laut yang idealis, Asmara cenderung lebih realistis. Dia sering mengejek kakaknya ketika membahas perjuangan. Dia juga merupakan satu-satunya tokoh terdekat Laut yang menerima bahwa Laut hilang dan kemungkinan besar meninggal ketika orang tua dan kekasih Laut masih terus menyangkalnya.
Melalui sudut pandangnya, Asmara menceritakan orang-orang terdekat korban dan korban yang dibebaskan. Banyak dari mereka yang menyangkal bahwa para korban telah meninggal dan mengharapankan mereka akan kembali.Â
Korban yang dibebaskan pun mengalami trauma akibat penyiksaan. Asmara tidak hanya kehilangan kakaknya, tetapi dia juga kehilangan orang tuanya yang terus terjebak dalam harapan Laut akan kembali.Â
Dia juga kehilangan kekasihnya, Alex yang juga teman seperjuangan Laut, yang trauma setelah peristiwa penculikan. Namun, Asmara bersama korban yang dibebaskan dan keluarga korban yang hilang terus berjuang mencari kejelasan kepada pemerintah.
Novel ini ditulis dengan cukup unik, yaitu menggunakan dua sudut pandang tokoh. Bagian sudut pandang Laut menggunakan alur maju mundur.Â
Selain itu, novel ini memiliki satu teka-teki, yaitu kecurigaan Laut kepada salah satu temannya. Kecurigaan itu didasari oleh aktivitas mereka yang sering gagalkarena mudah terendus oleh intel. Hal itu membuat pembaca menjadi penasaran mengenai kelanjutan ceritanya.
Cara Leila menggambarkan latar suasana dan karakter tokoh sangat baik dan terasa nyata sehingga pembaca ikut larut ke dalamnya. Pembaca ikut merasakan ketakutan, ketegangan, kemarahan, dan kesedihan yang dialami tokoh. Selain itu, diksi dalam novel ini tidak memiliki istilah asing sehingga isi cerita mudah dipahami oleh pembaca.
Ada banyak pelajaran bisa diambil dari buku ini. Solidaritas dan persahabatan para anggota Winatra patut dicontoh begitu juga dengan kepedulian, keberanian dan pengorbanan mereka.Â
Keharmonisan keluarga Laut menunjukkan bagaimana keluarga ideal seharusnya. Walaupun Asmara sempat 'dilupakan' oleh orang tuanya karena dilanda kesedihan, keluarga itu kembali utuh setelah adanya komunikasi dari hati ke hati.
Tokoh dan latar dalam novel ini memang fiksi, tetapi Laut Bercerita mengangkat kisah nyata sejarah bangsa Indonesia. Novel ini seolah mengajak pembaca untuk mengingat kembali peristiwa kelam yang sudah mulai dilupakan oleh bangsa Indonesia.Â
Selain itu, pembaca juga diajak untuk menghidupkan kembali semangat perjuangan mereka yang dihilangkan. Hal itu seperti kutipan puisi Soetardji Calzoum Bachri yang dicantumkan Leila untuk menjadi jiwa novel ini.
Matilah engkau mati
Kau akan lahir berkali-kali...Â
(Chudori, 2017: 1)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H