Novel ini ditulis dengan cukup unik, yaitu menggunakan dua sudut pandang tokoh. Bagian sudut pandang Laut menggunakan alur maju mundur.Â
Selain itu, novel ini memiliki satu teka-teki, yaitu kecurigaan Laut kepada salah satu temannya. Kecurigaan itu didasari oleh aktivitas mereka yang sering gagalkarena mudah terendus oleh intel. Hal itu membuat pembaca menjadi penasaran mengenai kelanjutan ceritanya.
Cara Leila menggambarkan latar suasana dan karakter tokoh sangat baik dan terasa nyata sehingga pembaca ikut larut ke dalamnya. Pembaca ikut merasakan ketakutan, ketegangan, kemarahan, dan kesedihan yang dialami tokoh. Selain itu, diksi dalam novel ini tidak memiliki istilah asing sehingga isi cerita mudah dipahami oleh pembaca.
Ada banyak pelajaran bisa diambil dari buku ini. Solidaritas dan persahabatan para anggota Winatra patut dicontoh begitu juga dengan kepedulian, keberanian dan pengorbanan mereka.Â
Keharmonisan keluarga Laut menunjukkan bagaimana keluarga ideal seharusnya. Walaupun Asmara sempat 'dilupakan' oleh orang tuanya karena dilanda kesedihan, keluarga itu kembali utuh setelah adanya komunikasi dari hati ke hati.
Tokoh dan latar dalam novel ini memang fiksi, tetapi Laut Bercerita mengangkat kisah nyata sejarah bangsa Indonesia. Novel ini seolah mengajak pembaca untuk mengingat kembali peristiwa kelam yang sudah mulai dilupakan oleh bangsa Indonesia.Â
Selain itu, pembaca juga diajak untuk menghidupkan kembali semangat perjuangan mereka yang dihilangkan. Hal itu seperti kutipan puisi Soetardji Calzoum Bachri yang dicantumkan Leila untuk menjadi jiwa novel ini.
Matilah engkau mati
Kau akan lahir berkali-kali...Â
(Chudori, 2017: 1)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H