Mohon tunggu...
Meishiana Tirtana
Meishiana Tirtana Mohon Tunggu... Penulis - Writing is part of my life.

Media Relations Team

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

3 Pakar Terapis Hadir dalam Seminar di UPH

30 Oktober 2017   09:47 Diperbarui: 30 Oktober 2017   10:11 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melalui seminar bertajuk Play, Music and Art for Health and Wellbeing, UPH menhadirkan 3 pakar terapis Play Therapy, Music Therapy dan Art Therapy. Seminar ini diselenggarakan oleh Conservatory of Music UPH melalui Peminatan Music Therapy. Seminar ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan tahunan, 'Musicaphoria'. 

Hadirnya seminar ini menjadi penting karena banya anak-anak yang mengalami masalah baik mental, emosi, dan perilaku.

Dalam paparannnya,  dosen Music Therapy UPH sekaligus sorang music therapist berlisensi UK-HCPC lulusan Anglia Ruskin University mengatakan keterkaitan play, music dan art sangat erat. "Ketiga pendekatan ini saling beririsan. Dalam music therapysendiri mediumnya memang musik, tetapi didalamnya banyak terdapat unsur bermain dan art. Bermain merupakan dasar dari improvisasi yang digunakan secara luas dalam terapi musik, dan dipercaya berperan penting dalam perkembangan mental dan fisik seseorang. Sedangkan dalam Play Therapy mediumnya juga banyak seperti art, puppet, clay, figuring, dan juga musik," jelas Monica.

Seminar ini dimulai dengan penjelasan Play Therapy yang disampaikan Yudi Hartanto, seorang Play therapist dari Post Graduate Diploma dari APAC (Academy/ of Play and Child Psychotherapy) yang kini aktif bekerja di College of Allied Educators Indonesia. Menurutnya bermain sendiri merupakan hal yang sangat penting dalam perkembangan anak dan ada tahapan-tahapan yang dilalui mulai dari sensori, projection lalu ke tahap roleplay.  Dalam ketiga tahap ini jika terjadi gangguan anak akan mengalami kesulitan untuk menjadi sehat secara emosi dan dalam bersosialisasi, yang berakibat susah beradaptasi pada lingkungan yang luas. Di sinilah diperlukan therapy supaya mereka bisa berkembang dan sehat.

Menyambung dan berangkat dari kondisi tersebut, Yudi menampilkan sebuah video di dalam sesi nya. Dalam video tersebut tampak seorang bayi yang bereaksi cukup keras dan gelisah saat ibunya menampilkan ekspresi yang datar dan tanpa emosi, tanpa ada suatu komunikasi dengan anaknya. Reaksi tersebut sangat berbeda saat sang ibu tertawa dan bercakap-cakap dengan bayinya.

Inilah yang mencerminkan keadaan jaman sekarang. Banyak sekali penggunaan gadget yang membuat orangtua sibuk sendiri tanpa ada koneksi dan komunikasi khusus dengan anak. Sementara seorang anak butuh mirroring dari orangtua yang seharusnya responsive terhadap seorang anak. Banyak bermain bersama di dalam proses tumbuh kembang anak akan membuat anak happy dan berekspresi secara bebas.

Yudi juga menekankan pentingnya bermain khususnya pada periode golden age anak.

"Saat anak berusia 0 sampai 5 tahun berikan dia kesempatan seluas-luasnya untuk bermain. Kalau orangtua tidak aware, akhirnya anak tersebut tidak mendapat kesempatan. Yang diberikan malahan gadget untuk menenangkan anak. Padahal gadget itu tidak riil. Sementara mirroring dengan ibu yang tersenyum itu riil. Itu akan menstimulasi otaknya sehingga menghasilkan komunikasi yang lebih baik. Attachment yang sehat adalah yang paling dasar yang anak harus dapatkan", jelasnya.

Mutia Ribowo ketika Memberikan Paparan
Mutia Ribowo ketika Memberikan Paparan
Selanjutnya sesi Art Therapy dibawakan oleh Mutia Ribowo, seorang art therapistlulusan pascasajarna Lassale College of The Arts, Singapore. Mutia memiliki spesialisasi menangani usia anak sampai dewasa yang memiliki gangguan mental, depresi, trauma dan ketergantungan.

Dia membuka sesinya dengan mengajak setiap orang untuk membuat sebuah coretan pada secarik kertas, yang selanjutnya dipindahtangankan ke orang yang duduk di sampingnya untuk diminta meneruskan coretan yang telah dibuat oleh orang pertama.

"Dalam hal ini kita tidak lihat hasilnya, namun prosesnya. Apa yang kamu rasakan dari kegiatan ini. Biasanya ini dipakai untuk melihat resiliency dari klien. Sebuah ketahanan. Ini tampak dari bagaimana seseorang memecahkan masalahnya. Kalau misal tadi kalian frustasi itu merefleksikan resiliencydari diri sendiri", jelas Mutia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun