Mohon tunggu...
Meisha Athaya
Meisha Athaya Mohon Tunggu... -

Remaja 14 tahun, menarik dan senang menulis

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cinta (Tak Boleh Dipaksa) #4

1 Juni 2011   11:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:59 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku berjalan lunglai memasuki ruangan yang dingin itu. Melihat mata Donny yang sayu masih terbelalak, bibirnya yang kering menyunggingkan senyum ke arahku, mungkin dia merasa asing, orang yang baru dikenalnya sampai seperti orang gila saat mengkhawatirkannya.

Aku menatapnya, belum sempat membalas senyumnya.Sedetik kemudian senyumnya sirna .

EKG (elektro kardio grafi) yang naik turun itu kini begerak mendatar. Bunyi itu merambat pelan ke gendang telingaku

‘Tuuuuuuuuuuuut’

Kain putih menutupi sebagian tubuhnya. Dokter itu menghampiriku, dan berkata

“ Itu senyum terakhirnya untukmu”.

Aku hanyatediam, air bening itu masih mengalir deras dipipiku. Aku meremas kepalan tanganku untuk yang kesekian kalinya dan melihat ke bawah.

Aku bergumam pelan “Ma, bangunin aku Ma, aku ga suka mimpi buruk kaya gini,..”.

Lalu suaraku naik 2 oktaf di atas suara normalku “Maa... Mama denger aku kaan” aku terisak berteriak histeris.

Aku tidak bisa menahannnya lagi. Telapak kakiku yang masih berpijak di atas dinginnya lantai marmer rumah sakit, kini ambruk.

Bukan hanya tak kuat menahan beban tubuhku yang lemas, tapi beban di hatiku sepertinya sudah merambat ke seluruh tubuhku. Membuat kakiku semakin tidak kuat menahannya. Aku ambruk.

*****

Remang-remang. Aku memcoba membuka mataku. Sebelah telapak tanganku memegang kepala. Rasanya baru saja kepalaku terhantam sebuahmeteor yang jatuh dari langit. Aku menatap ke sekeliling. Kosong, hanya bau antibiotik yang menyengat di indra penciumanku.

Aku terdiam , mencoba mengingat kejadian yang aku alami tadi, sedetik kemudian amarah ku memuncak. Aku tidak menangis, tidak ingin menangis.

Aku marah, sangat marah !

Kenapa Donny meninggalkan aku secepat ini !

“Aaaah! Donny!! Kamu masih disinikan! Jawab aku doooon!!” aku berteriak lirih lalu beranjak dari kasur empuk di bawah tubuhku.

Aku melihat sebuat jarum infus menancap dipergelangan tanganku. Aku bersiap mencabut infus tak berguna itu.

‘Treeeeet' bunyi pintu ruang rawatku dibuka.

Sesosok laki-laki bertubuh tegap, begitu hangat , sesosok yang sudah sangat aku kenali, sosok yang paling aku rindukan.Aku menatap lurus ke arah bayanganya di lantai marmer mengkilap itu.

“Rioo?”

Dia tersenyum tipis. Dia tau aku pasti sangat hancur menjelang kepergian Donny.

”Jangan lepas jarum infus itu, sekarang istirahatlah, kamu masih terlalu lelah” ucapnya lirih.

Lagi-lagi air mataku mengalir. Rio memelukku, pelukannya agak dingin, tidak sehangat pelukkannya dulu.

Ada yang berbeda. Bukan Rio yang dulu lagi, tapi pelukannya bisa membantu menghangantkanku seperti biasa, hanya saja tidak seampuh yang dulu. Ini bukan sebuah masalah kecil yang bisa aku lupakan hanya dengan sebuah pelukan. Aku butuh waktu, waktu yang sangat lama.

******

Aku menggosok telapak tangan ku yang sudah sedingin es. Kain hitam tebal yang melekat di tubuhku tidak cukup membuatku hangat, aku menengok ke atas. Padahal matahari begitu terik, payung hitam pun berjajar mengelilingi tanah merah yang masih basah itu.

Pemakaman Donny, aku hanya mengatupkan bibirku. Tidak sepatah katapun keluar dari bibirku. Aku tak peduli dengan isak tangis yang membahana. Aku tidak ingin menangis. Air mataku tak cukup untuk membuat Donny kembali lagi di sisiku.

“Lo pasti bisa Cha” itu yang dikatakan Bella, Azka dan Ari. Rio tak berkomentar apapun. Bukan hanya aku yang kehilangan, semua kehilangan Donny.

Aku mengangkat kepalaku yang sedari tadi menunduk, mendapati ada seorang perempuan di sebrang sana. Menyendiri. Kelihatannyasebaya denganku , berambut pendek dan berparas manis. Seperti melihat Donny,mereka begitu mirip. Matanya, tatapannya begitu hangat seperti Donny. Aku menatapnya tajam. Ia tidak berbusana hitam, tapi.. putih?? Aku melirik ke arah Rio, melihat tatapnya bertemu dengan perempuan itu.

Shabrina. Itu namanya, adik Donny yang baru pulang ke Indonesia. Dia satu-satunya yang tidak menangis selain aku. Tapi aku tau, dia hanya menahan tangisnya, mencoba tidak memperburuk keadaan.

Ada yang berbeda di tatapan Rio. Tatapan yang dulu milikku. Kini terbagi dua. Aku tau, sepertinya Rio mulai menyukai Shabrina, tapi entah kenapa aku merasa Shabrina akan mengambil Rio dariku.Aku berusaha mengabaikannya fikiran konyol itu, tapi sulit.

Kenapa ini? Seharusnya tak begini. Sekali lagi aku mengabaikannya, mencoba berkonsenterasi pada lantunan doa yang mengalir untuk Donny. Ya, Donny. Selamat jalan Donny, aku menyayangimu. Gumamku sambil tersenyum kecut.

*****

3 bulan berlalu, aku bisa melewati hariku dengan baik walaupun tidak seperti biasanya, aku menjadi lebih pendiam dari sebelumnya. Mencoba beradaptasi dengan keadaan. Aku kira akan sangat lama untuk aku bisa beradaptasi, ternyata tidak, terlalu sedikit kenangan yang aku buat dengan Donny dalam jangka waktu yang sangat lama sehingga membuatku lebih mudah menghapusnya dari ingatanku. Ini tidak semudah apa yang aku ungkapkan. Ini mudah yang membutuhkan banyak pengorbanan.

Sekarang Rio yang selalu ada untukku walaupun tidak seperti dulu. Aku belum siap untuk kehilangan yang satu ini. Aku mulai terbiasa dengan dia yang selalu ada di sisiku, mulai terbiasa dengan dia yang selalu membuat aku merasa nyaman, dan mulai terbiasa dengan dia yang selalu menerima keegoisanku. Aku mendesah pelan.

Aku tidak mau ada yang berbeda dari perasaan kami, aku hanya ingin seperti ini, keakraban kami tidak akan berubah menjadi suatu hubungan yang lebih dekat ataupun renggang. Tapi cepat atau lambat Shabrina akanmembuat Rio menjadi berbeda. Rio yang bukan lagi disisiku. Tapi disisi Shabrina. Cewek tomboy itu memang menarik, bertolak belakang denganku tapi sanggup meluluhkan Rio dalam satu hentakan.

*****

Aku berjalan perlahan, menitiki setiap langkah yang aku lewati. Menuju pemakaman Donny. Seminggu sekali di hari Sabtu adalah hariku dan Donny. Aku akan datang ke makam nya di pukul 3 sore, tak peduli walaupun langit sedang hujan. Aku bercerita banyak hal pada Donny, aku menceritakan semuanya. Bahkan tentang kecemburuanku pada Shabrina.

“Aduuh.....” aku mendesah pelan dan memegang bibirku dengan telapak tangan. Tidak.. aku tidak menyukai Rio kan? Aku menunduk menatap bunga segar diatas makam Donny dengan lirih. Lalu mengusap keramik makam yang berdebu itu.

*****

Pukul 7 malam dan aku belum tiba di rumah. Aku tau mama pasti akan sangat marah. Aku melirik handphoneku, 7misscall dari mama, 16 dari Bellaku yang super cerewet, 4 dari Azka dan 1 pesan singkat dari Rio. Aku tau mama pasti menanyakanku pada semua orang sehingga semua orang sibuk mencariku. Aku mengabaikan semua itu.

Aku duduk di atas sebuah kursi taman yang sudah tua, merapatkan jaketku lalu membuka pesan singkat dari Rio ‘Cepat pulang, semua mengkhawatirkanmu. Jangan melakukan hal bodoh seperti ini’ . Aku tersenyum tipis, itulah Rio.

“Hhh...” aku mendengar desahan pelan di sampingku. Secepat kilat aku menengok

“Shabrinaa?? Duh gue pikir hantu. Kok kamu ada disini?”

Dia tersenyum kecut dan berkata “ Cepat pulang, jangan bertingkah bodoh seperti ini”.

Kata-katanya nyaris persis dengan yang diucapkan Rio. Korneaku menajam. Menatap nya meminta penjelasan .Aku kira dia tidak mengerti, karena melihatnya hanya terdiam. Lalu beberapa saat kemudian Shabrina mengangguk dan berkata

“ Aku tak akan merebut Rio darimu Cha. Dia akan tetap menjadi sahabatmu, Rio-mu. Walaupun kami saling menyukai, walaupun nantinya aku akan bersama Rio. Tapi dia akan tetap ada buat kamu” Shabrina tersenyum tipis.

Aku menatapnya heran, tak percaya. Wajah tomboynya seolah berubah begitu anggun saat dia berucap seperti tadi. Tiba-tiba aku tertawa renyah.

“Tidak apa-apa Shab. Kamu benar-benar mirip dengan kakakmu “ .

Sekarang ini bukan hanya menjadi tentang Rio dan aku, tapi akan menjadi tentang Rio, Shabrina dan aku. Tidak ada lagi tentang aku dan Donny, itu hanyalah sebuah kenangan. Aku akan memulai, menghapus sedikit perasaan yang tumbuh untuk Rio. Aku akan memulai berdiri tanpa Donny dan menghapus keegoisanku pada Rio.

Aku tersenyum riang. Rio dan Shabrina, maka akupun akan ikut senang.

*****

2 tahun kemudian....

Aku menenteng tasku yang sebesar gajah bengkak.Aku berlari kecil keluar SMA . Dan lagi lagi...

BUKK!!

“ehh maaf..” aku menatap wajah itu, seorang cowok tampan bertubuh tinggi dan berhidung mancung. Aku tersenyum tipis dan memutar bola mata.

Sepertinya aku mengenal kejadian ini deh!

“hahha” aku tertawa renyah, cowok ganteng ini akan aku kasih nama... Donny 2, sebentar lagi akan ada Rio 2 di hidupku! Aku melangkah enteng, seperti sudah tau bilik cerita selanjutnya. ' Aku akan lebih kuat dari sebelumnya' gumamku seraya tersenyum puas. Aku akan tetap menjadi Chacha. Chacha yang dulu tapi lebih kuat dari sebelumnya .

-SELESAI-

EPILOG...

Kadang kita tak harus memilih cinta, tapi cinta yang akan memilih kita. Ini bukan bagaimana cara kita bisa melewati banyak masalah di hidup kita, tapi bagaimana cara kita bertahan dan melewati suatu masalah dengan baik. Cinta membuat kita bertahan, maka bertahanlah untuk cinta. Sekali lagi, namaku Chacha, aku adalah seorang remaja muda berkembang  yang periang  dan masih labil dalam menghadapi sesuatu yang bernama ‘CINTA’.

(Gambar dari : Google)

===================

Tulisan yang lainnya di :

http://www.kompasiana.com/meishaathaya

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun