Pernahkan kita berpikir sejenak membayangkan aktivitas belanja sayur di masa kini dan masa nenek kita beberapa masa yang lampau? Apakah ada yang berbeda mungkin dari segi harga/preferensi sayuran yang tersedia/cara pengemasan sayuran dan daging/ keputusan memilih sayur apa yang akan dikonsumsi pada hari itu?
Tepat sekali, jawabannya jelas berbeda dan saya setuju keputusan memilih sayur dari aktivitas berbelanja turut berkontribusi dalam kehidupan sustainable di masa datang.
Kurang lebih 20 tahun yang lalu, saya masih sering berlibur di rumah nenek di desa. Suasananya masih asri, belum banyak polusi dan aktivitas belanja tradisional masih sering dijumpai.Â
Aktivitas berbelanja adalah aktivitas yang paling saya sukai. Saya selalu memperhatikan pedagang sayur dan pembeli sayur yang jarang sekali menggunakan plastik.Â
Hampir semuanya dibungkus daun pisang, daun jati, blarak/ daun kelapa kering asal muasal isi staples, serat pisang asal sebagai tali pembungkus organik, dan membawa keranjang dari rumah.Â
Selain gaya hidup yang alamiah, masyarakat di desa tersebut dapat dikatakan tidak konsumtif. Mengapa? Karena membeli bahan makanan seperti sayur dan daging sesuai kemampuan finansial, tanpa melihat promo dan hanya untuk dikonsumi hari itu saja. Mayoritas warga di desa belum memiliki kulkas sehingga proses pilah-pilih sayuran langsung dari tukang sayur atau memetik sayuran segar dari kebun berlanjut dimasak di dapur dan dikonsumsi segera oleh keluarganya.
Lalu bagaimana dengan kondisi kita saat ini di masa modern?
Kita sudah dipermudah dengan kecanggihan alat dan teknologi di setiap kehidupan. Keberadaan kulkas, mesin cuci, air fryer, lampu elektrik, rice cooker, magic com telah mengubah hidup kita menjadi lebih cepat dan praktis dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Kondisi ini sebagai konsekuensi dari tuntutan jaman yang mengharuskan manusia baik pria dan wanita untuk membagi waktu antara bekerja, urusan rumah, hiburan dan keluarga.
Kemudahan dari perkembangan jaman tidak salah, hanya saja kita perlu bijak dalam menyikapi dan memanfaatkan alat dan teknologi yang hadir bersama kita saat ini.
Keberadaan kulkas salah satunya. Kuklas adalah alat penyimpan sayuran, buah, daging, bahkan obat-obatan yang sering kali berubah menjadi gudang terbelengkalai dan pada akhirnya akan dibuang ke tempat sampah.
Mengapa hal ini bisa terjadi?
Mungkin kita sering kali tertarik promo harga murah di supermarket/ pasar tanpa melihat kebutuhannya. Mayoritas orang membeli barang dalam jumlah banyak, menyimpan di kulkas dalam jangka lama, berakhir busuk dan tidak layak dikonsumsi.
Kondisi ini sejalan dengan penelitian Rahma dkk (2023), sampah dapur dari rumah tangga di Desa Ngargosari, Boyolali, Jawa Tengah mencapai 53% yang didominasi sampah organik. Sampah organik di desa tersebut meliputi sisa sayur, buah dan makanan. Kita dapat membayangkan apabila sampah organik rumah tangga yang akan semakin menumpuk di TPA tidak hanya mencemari lingkungan, pengolahan sampah yang membutuhkan tenaga ektra tetapi ancaman krisis ketahanan pangan di masa mendatang.
Krisis pangan adalah kondisi kelangkaan pangan yang dialami sebagaian besar masyarakat di suatu wilayah karena faktor perubahan iklim, kesulitan distribusi pangan, bencana alam dan lingkungan, konflik sosial termasuk perang (Kementrian Pertahanan, 2012). Kesulitan distribusi pangan dapat disebabkan karena gaya hidup konsumtif dalam membelanjakan kebutuhan pangan segar (sayur, daging, buah) baik di supermarket dan tukang sayur.