Mohon tunggu...
Meirad Arianza Bima
Meirad Arianza Bima Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa prodi Ilmu Hukum di Universitas Asahan

Saya memiliki ketertarikan dengan filsafat dan sosial.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Berpikir Kritis Demi Persatuan: Menghindari Fallacy di Hari Sumpah Pemuda

28 Oktober 2024   16:22 Diperbarui: 28 Oktober 2024   16:22 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Ketika kita memperingati Hari Sumpah Pemuda di tahun 2024 ini, kita diingatkan akan pentingnya persatuan dan kemampuan berdialog dalam membangun bangsa. Para pemuda yang berkumpul pada 28 Oktober 1928 telah menunjukkan kepada kita bahwa perbedaan dapat dijembatani melalui komunikasi yang cerdas dan konstruktif. Di era digital yang penuh tantangan ini, kemampuan berpikir kritis dan menghindari logical fallacy (kesalahan logika) menjadi semakin penting dalam membangun diskusi publik yang sehat.

Ad hominem, sebuah kesalahan logika yang sering kita temui dalam perdebatan sehari-hari, terjadi ketika seseorang menyerang pribadi lawannya alih-alih menanggapi substansi argumentasi. Bayangkan sebuah diskusi tentang kebijakan ekonomi di media sosial, di mana seorang ekonom muda memaparkan analisis mendalam tentang inflasi. Alih-alih menanggapi data dan argumentasinya, lawan debatnya justru mengatakan, "Kamu masih muda, apa yang kamu tahu tentang ekonomi? Pengalaman kamu masih kurang!" Serangan personal semacam ini bukan hanya tidak relevan dengan substansi diskusi, tetapi juga menciptakan lingkungan yang toxic dan menghambat pertukaran ide yang sehat. Di Indonesia, fallacy ini sering memperburuk polarisasi sosial dan politik, terutama saat momentum-momentum kritis seperti pemilihan umum atau debat kebijakan publik.

Kesalahan logika lain yang sering kita jumpai adalah argumentum ad populum, di mana sesuatu dianggap benar semata-mata karena populer atau diyakini oleh banyak orang. Fenomena ini sangat relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia yang sangat komunal. Misalnya, ketika sebuah produk investasi menjadi viral dan banyak orang mengikutinya tanpa analisis mendalam, atau ketika kebijakan publik didukung semata-mata karena "semua orang setuju." Fallacy ini berbahaya karena kebenaran tidak selalu sejalan dengan popularitas. Banyak keputusan historis yang keliru justru pernah didukung oleh mayoritas, dan sebaliknya, banyak terobosan penting dalam sejarah awalnya ditentang oleh publik.

Slippery slope adalah bentuk kesalahan logika yang sering muncul dalam perdebatan tentang perubahan sosial dan teknologi di Indonesia. Fallacy ini terjadi ketika seseorang berasumsi bahwa satu kejadian akan memicu rangkaian kejadian negatif tanpa bukti yang memadai. Contohnya, ketika ada yang berpendapat bahwa mengizinkan konser musik internasional akan membuat anak muda melupakan budaya lokal, yang kemudian akan menghancurkan identitas bangsa. Atau ketika digitalisasi layanan pemerintah dianggap akan menyebabkan pengangguran massal, yang kemudian akan memicu kekacauan sosial. Pemikiran semacam ini, meski terlihat logis di permukaan, seringkali mengabaikan berbagai faktor pencegah dan kemampuan masyarakat untuk beradaptasi.

False dichotomy atau dikotomi palsu adalah fallacy yang menyederhanakan situasi kompleks menjadi hanya dua pilihan ekstrem. Di Indonesia, kita sering mendengar argumen seperti "Kamu harus pilih: mendukung pembangunan atau membiarkan rakyat miskin!" atau "Pilih sekolah negeri favorit atau masa depanmu suram!" Pemikiran hitam-putih semacam ini mengabaikan berbagai opsi dan solusi kreatif yang mungkin ada di antara dua ekstrem tersebut. Dalam konteks pembangunan nasional, misalnya, sering ada jalan tengah yang dapat mengakomodasi baik kepentingan ekonomi maupun lingkungan.

Hasty generalization atau generalisasi terburu-buru adalah kesalahan logika yang sering muncul dalam diskusi tentang kelompok sosial atau daerah tertentu di Indonesia. Ketika seseorang bertemu satu atau dua orang dari suatu daerah yang berperilaku tertentu, lalu menyimpulkan bahwa semua orang dari daerah tersebut pasti sama, mereka telah jatuh ke dalam fallacy ini. Generalisasi semacam ini bukan hanya tidak akurat secara statistik, tetapi juga dapat memperburuk stereotip dan prasangka antarkelompok.

Appeal to authority atau argumentum ad verecundiam terjadi ketika seseorang menganggap sesuatu benar hanya karena dikatakan oleh figur otoritas, tanpa mempertimbangkan substansi argumennya. Di Indonesia, fallacy ini sering muncul dalam bentuk mengutip perkataan tokoh publik, selebritas, atau bahkan "influencer" untuk mendukung klaim tertentu, meskipun mereka tidak memiliki keahlian relevan dalam bidang tersebut. Misalnya, seorang artis terkenal yang diminta pendapatnya tentang kebijakan moneter, atau seorang atlet yang memberikan rekomendasi produk kesehatan tanpa latar belakang medis.

Red herring adalah taktik pengalihan yang sering digunakan dalam perdebatan politik dan sosial di Indonesia. Ketika diskusi tentang isu korupsi dialihkan ke prestasi olahraga nasional, atau ketika kritik terhadap kebijakan pemerintah direspon dengan membandingkan dengan masalah di negara lain, itu adalah contoh red herring. Fallacy ini berbahaya karena mengalihkan perhatian dari isu utama yang perlu diselesaikan.

Strawman fallacy terjadi ketika seseorang mendistorsi atau menyederhanakan argumen lawannya menjadi versi yang lebih lemah agar mudah diserang. Di Indonesia, fallacy ini sering muncul dalam perdebatan kebijakan publik. Misalnya, ketika seseorang mendukung regulasi industri untuk melindungi lingkungan, argumennya didistorsi menjadi "Kamu mau semua pabrik ditutup dan jutaan orang menganggur?" Distorsi semacam ini menghalangi diskusi yang konstruktif tentang solusi yang seimbang.

Post hoc fallacy atau post hoc ergo propter hoc adalah kesalahan logika yang menganggap kejadian yang terjadi setelah sesuatu pasti disebabkan oleh hal tersebut. Dalam konteks Indonesia, kita sering melihat fallacy ini dalam analisis sosial ekonomi. Misalnya, ketika harga bahan bakar naik setelah pergantian pejabat, orang langsung menyimpulkan bahwa kenaikan itu disebabkan oleh pejabat baru tersebut, mengabaikan berbagai faktor ekonomi global yang mungkin berperan.

Bandwagon fallacy, yang mirip dengan argumentum ad populum, adalah kecenderungan untuk mengikuti tren atau gerakan populer tanpa pemikiran kritis. Di era digital, fallacy ini semakin menonjol dengan viralnya berbagai tren di media sosial. Dari pilihan gaya hidup hingga pandangan politik, banyak orang mengambil keputusan semata-mata karena "semua orang melakukannya" atau karena takut ketinggalan tren.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun