Frasa "Kalau mau terima kalau tidak ya sudah" yang sering kali muncul dalam negosiasi antara pemberi kerja dan pelamar kerja tampak, pada pandangan pertama, sebagai pernyataan yang memberi pilihan. Namun, ketika diperiksa lebih dalam, terutama dalam konteks kapitalisme, frasa ini bukanlah bentuk kebebasan, melainkan sebuah ancaman yang halus. Dalam struktur ekonomi kapitalis, pemberi kerja berada dalam posisi kekuasaan karena mereka menguasai moda produksi, sementara pelamar kerja yang sering kali dalam posisi rentan tidak memiliki pilihan lain kecuali menerima tawaran yang diberikan. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana relasi kuasa yang timpang ini dihasilkan oleh sistem kapitalis, menggunakan teori Karl Marx dan perspektif kritis lainnya. Dengan berfokus pada frasa ini, kita dapat melihat bagaimana ketimpangan dalam sistem ekonomi menjadi dasar dari eksploitasi dan ancaman terselubung yang dihadapi kelas pekerja.
Untuk memahami bagaimana frasa tersebut mencerminkan ketimpangan kekuasaan, penting untuk merujuk pada analisis Karl Marx tentang kapitalisme. Dalam Das Kapital (1867), Marx menjelaskan bahwa kapitalisme menciptakan hubungan produksi yang timpang antara pemilik modal dan kelas pekerja. Pemilik modal (bourgeoisie) menguasai alat-alat produksi, sedangkan pekerja (proletariat) terpaksa menjual tenaga kerja mereka demi bertahan hidup karena tidak memiliki akses atau kontrol atas alat-alat tersebut. Dalam kondisi ini, pekerja tidak memiliki kekuasaan atas proses maupun hasil kerja mereka, yang membuat mereka rentan terhadap eksploitasi. Eksploitasi ini terjadi ketika pemilik modal mengambil nilai lebih (surplus value) dari hasil kerja pekerja. Kerentanan ini diperburuk oleh kenyataan bahwa kebutuhan hidup dasar seperti makanan, tempat tinggal, dan layanan kesehatan hanya dapat dipenuhi melalui upah, yang seringkali tidak sebanding dengan nilai kerja yang mereka ciptakan. Hal ini menunjukkan bahwa relasi kuasa dalam kapitalisme sepenuhnya mendukung pemilik modal, yang dapat menentukan kondisi kerja tanpa ruang negosiasi yang adil bagi pekerja.
Frasa "Kalau mau terima kalau tidak ya sudah" pada dasarnya adalah sebuah bentuk ilusi kebebasan. Pemberi kerja tampak memberikan pilihan kepada pekerja, tetapi dalam kenyataannya, frasa ini memperlihatkan dominasi pemberi kerja atas pekerja. Dalam kapitalisme, kebebasan yang ditawarkan adalah kebebasan yang bersyarat: pekerja dapat memilih untuk menerima gaji yang tidak adil atau menghadapi kemungkinan kehilangan mata pencaharian. Ini bukanlah bentuk kebebasan yang sebenarnya, melainkan sebuah ancaman yang terselubung. Dari perspektif speech act theory, seperti yang diuraikan oleh J.L. Austin dalam How to Do Things with Words (1962), frasa ini adalah contoh tindakan illokusi, di mana ungkapan tersebut tidak hanya menyampaikan pilihan, tetapi juga melibatkan upaya untuk menegaskan kekuasaan pemberi kerja. Pekerja diberi dua pilihan yang tampaknya setara, tetapi dalam praktiknya, pilihan tersebut tidak memiliki bobot yang sama karena pekerja berada dalam posisi lemah dan sangat membutuhkan pekerjaan untuk bertahan hidup.
Eksploitasi dalam sistem kapitalis terjadi melalui penciptaan nilai lebih (surplus value), di mana pekerja menciptakan lebih banyak nilai melalui kerja mereka daripada upah yang mereka terima. Marx menunjukkan bahwa dalam kapitalisme, pekerja tidak pernah dibayar sesuai dengan nilai penuh dari hasil kerja mereka. Nilai lebih ini diambil oleh pemilik modal sebagai keuntungan. Frasa "Kalau mau terima kalau tidak ya sudah" adalah cara untuk mempertahankan mekanisme eksploitasi ini, karena pekerja sering kali dipaksa menerima kondisi kerja yang buruk dan upah yang rendah untuk menghindari kehilangan pekerjaan. Michael Burawoy, dalam bukunya Manufacturing Consent (1979), menyatakan bahwa eksploitasi pekerja sering kali disamarkan dalam bentuk kesepakatan atau konsensus yang semu. Namun, di balik konsensus tersebut, terdapat tekanan struktural yang memaksa pekerja untuk tunduk pada kondisi kerja yang eksploitatif. Dalam konteks ini, pemberi kerja menggunakan frasa tersebut untuk melanggengkan ketimpangan kekuasaan dengan memaksa pekerja menerima syarat-syarat yang tidak menguntungkan bagi mereka. Ketika frasa ini diucapkan, pekerja dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama tidak adil: menerima eksploitasi atau menghadapi kemiskinan.
Dampak sosial dan ekonomi dari praktik ini sangat signifikan. Ketika pekerja terus-menerus dipaksa menerima kondisi kerja yang tidak adil, ketimpangan kekayaan antara kelas pekerja dan pemilik modal semakin melebar. Kapitalisme memperparah ketimpangan ini dengan terus mengikis perlindungan tenaga kerja dan memperkuat posisi tawar pemilik modal. Sistem kapitalis, melalui deregulasi dan pengurangan hak-hak pekerja, menciptakan lingkungan di mana pekerja hampir tidak memiliki kekuatan untuk menegosiasikan kondisi kerja yang layak. Dalam situasi ini, frasa "Kalau mau terima kalau tidak ya sudah" menjadi simbol ketidakberdayaan pekerja di bawah sistem yang dirancang untuk menguntungkan pemilik modal. Ketika pekerja dipaksa menerima upah rendah dan kondisi kerja yang buruk, mereka terjebak dalam siklus kemiskinan yang sulit dihindari, sementara pemilik modal terus mengakumulasi kekayaan. Seperti yang dijelaskan oleh Friedrich Engels dalam The Condition of the Working Class in England (1845), kapitalisme secara sistematis mengeksploitasi kelas pekerja, memperlebar jurang antara mereka yang memiliki alat-alat produksi dan mereka yang hanya memiliki tenaga kerja.
Frasa "Kalau mau terima kalau tidak ya sudah" bukanlah ungkapan kebebasan sejati dalam konteks kapitalisme, melainkan cerminan dari ketimpangan kekuasaan yang mendalam antara pemilik modal dan pekerja. Seperti yang dianalisis oleh Karl Marx, kapitalisme menciptakan struktur ekonomi yang memungkinkan eksploitasi pekerja melalui penciptaan nilai lebih dan kontrol mutlak atas sumber daya produksi. Pekerja dipaksa untuk tunduk pada syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemilik modal, dengan sedikit atau tanpa kemampuan untuk menawar. Dalam realitas ini, kebebasan yang tampak hanya ilusi, dan frasa tersebut pada dasarnya adalah ancaman terselubung yang menegaskan eksploitasi. Untuk mengatasi ketidakadilan ini, diperlukan regulasi yang lebih kuat dan redistribusi kekayaan yang lebih adil guna melindungi hak-hak pekerja dan mengurangi ketimpangan struktural dalam masyarakat kapitalis.
Sebagai penutup, jelaslah bahwa kapitalisme bukan sekadar sistem ekonomi, melainkan mesin penghisap yang menyuburkan ketimpangan dan melanggengkan eksploitasi. Dalam kapitalisme, kebebasan yang ditawarkan adalah ilusi belaka---pekerja tampak diberi pilihan, namun kenyataannya mereka dihadapkan pada dua jalan yang sama-sama buntu: menerima eksploitasi atau jatuh ke jurang kemiskinan. Frasa "Kalau mau terima kalau tidak ya sudah" adalah cerminan paling telanjang dari relasi kuasa yang timpang ini, di mana pekerja dipaksa untuk tunduk tanpa memiliki kendali atas hidupnya. Untuk mematahkan rantai ini, diperlukan kesadaran kelas yang tajam, serta perjuangan kolektif yang tak kenal lelah untuk menggoyahkan fondasi sistem yang menindas. Tanpa itu, kapitalisme akan terus membangun menara kekayaan di atas keringat dan darah mereka yang tak pernah benar-benar diberi pilihan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H