Mohon tunggu...
Mei Pritangguh
Mei Pritangguh Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Aktivis Sosial

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pragmatisme dalam Pendidikan

19 September 2014   16:48 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:14 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adanya pendidikan dalam lingkungan masyarakat sangatlah berarti. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 tercantum “mencerdaskan kehidupan bangsa” itulah mengapa pendidikan sangatlah berarti karena pendidikan merupakan wadah yang akan mencerdaskan bangsa dalam hal ini masyarakat. Pertanyaan yang muncul apakah pendidikan kita sekarang ini seperti itu? Dan ketika kita hubungkan dengan realitas yang ada, pendidikan kita jauh sekali dengan harapan itu. Sangat banyak sekali permasalahan-permasalahan yang telah menyelimuti dunia pendidikan Indonesia. Pendidikan kita telah terkungkung dengan paham-paham neo-liberalisme, kapitalisme, dan juga oleh pragmatisme. Pragmatisme sendiri telah menjadi budaya dalam bangsa Indonesia.

Saat ini anggapan kuat dalam masyarakat kita bahwa pendidikan adalah tempat untuk menyiapkan manusia sebagai tenaga kerja, dan ini sekaligus menjadi pertimbangan utama para orang tua untuk menyekolahkan anaknya. Itu terjadi karena diakibatkan oleh dominannya budaya pragmatisme dimasyarakat dan pendidikan Indonesia. Jadi wajarlah ketika kita mengetahui fenomena-fenomena para orang tua yang lebih memilihkan sekolah-sekolah yang memudahkan anaknya untuk masuk ke dunia kerja. Dan yang pasti dapat menghasilkan keuntungan finansial ekonomi yang lebih banyak (gaji).

Hal ini tentu saja sangat berdampak negatif pada dunia pendidikan Indonesia. Kerena seakan pendidikan kita adalah sebagai “mesin” yang memproduksi “robot-robot manusia”.

Dampak budaya pragmatisme telah menjadikan pendidikan Indonesia bukan lagi menjadi wadah yang mencerdaskan dan memuliakan manusia, tetapi memperdayakan potensi sumber daya manusia untuk hal-hal justru yang dianggap memperbudak manusia itu sendiri.

Kita lihat saja visi dan misi dari beberapa pihak penyelenggara pendidikan di Indonesia, kebanyakan dari mereka memaparkan visi dan misinya adalah untuk mencetak gernerasi-generasi bangsa yang mampu “berkompetisi”. Hal ini pula yang memperjelas bahwa pendidikan di bangsa ini lebih cenderung pada ideologi pasar yang sekiranya lebih bertumpu pada nilai-nilai pragmatis-materialistik, sedangkan ideologi pendidikan itu sendiri yang sekiranya mementingkan nilai-nilai etis-humanistik semakin redup.

Peran pemerintah dalam hal ini Kementrian Pendidikan sebagai tonggak dalam mencapai tujuan-tujuan pendidikan bangsa, justru turut serta menambah kacau balaunya pendidikan kita, salah satunya dengan mempertahankan program ujian nasional. Yang sudah sangat jelas sekali bahwa ujian nasional tersebut minim manfaat dan fungsinya bagi pendidikan.

Siswa-siswi diseluruh pelosok negeri, dipaksa untuk mengikuti ujian nasional sebagai tolak ukur hasil pembelajaran dan katanya sebagai pemerataan pendidikan bangsa Indonesia.

Padahal eksistensi pendidikan itu sama sekali tidak bisa diukur oleh proses yang singkat dan dengan bahan yang hampir sama dengan siswa-siswa lain. Perlu waktu yang cukup untuk mengetahui seberapa jauhkah hasil dari proses pembelajaran para siswa-siswi selama mengikuti pendidikan di sekolahnya. Dan tentunya dengan bahan-bahan yang berbeda, sebab setiap individu mempunyai kemampuan yang berbeda pula.

Budaya pragmatisme disini bukan hanya meracuni pemikiran para orang tua, tetapi telah menurun kepada generasi-generasi penerusnya. Bisa kita amati generasi pemuda masa kini, kebanyakan dari mereka lebih berorientasi pada hasil nilai-nilai ujian atau tes-tes yang sebenarnya bertujuan untuk mengukur sejauh mana keberhasilan mereka belajar. Tetapi karena nilai-nilai ujian atau tes-tes tadi digunakan sebagai bahan dalam berkompetisi, dimana para generasi pembelajar tadi selalu ingin memenangkan kompetisi, maka mereka menghalkan segala cara untuk memenangkan kompetisi tersebut. Mencontek, memalsukan data, plagiasi, dan penyimpangan lainya turut serta menambah daftar buruk yang diakibatkan budaya pragmatisme dalam dunia pendidikan kita.

Bukan lagi kualitas pembelajaran yang menjadi orientasi pendidikan, tetapi kuantitaslah yang menggantikan itu semua. Nilai-nilai luhur bangsa yang telah diwariskan oleh para tokoh-tokoh bangsa ini, seakan hanya menjadi sebuah catatan sejarah yang hanya akan dibaca oleh generasi-generasi penerus. Tidak lagi bisa ditanamkan, jika semua elemen-elemen bangsa ini tidak lagi bisa memahami arti sesungguhnya pendidikan, fungsi pendidikan, dan tujuannya.

Membutuhkan proses yang lama untuk bisa menghilangkan suatu budaya, karena budaya merupakan sesuatu yang melekat erat pada suatu kelompok orang atau masyarakat. Apalagi jika didukung dengan perkembangan globalisasi saat ini, maka semakin sulit sekali memisahkan pragmatisme yang telah menjadi budaya dengan pendidikan yang sebenarnya memiliki fungsi dan tujuan yang sangat mulia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun