Mohon tunggu...
Meina Febriani
Meina Febriani Mohon Tunggu... -

Aku adalah pohon kurma yang bisa hidup di gurun, aku adalah pohon yang selalu memberikan buah yang manis walau dilempari batu.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Dear Tuhan

30 September 2013   16:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:11 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dear Tuhan.

Izinkan aku belajar pada-Mu.

Ini masih pukul 20 tapi badanku sepertinya sudah remuk redam. Han, sudah satu pekan ini aku lembur di kantor, pulang kerja tengah malam dan pukul tujuh pagi aku sudah kembali bekerja. “Perjuangan adalah satu pelaksanaan cita dan rasa, perjuangan adalah pelunasan kesimpulan penghayatan”, begitu kata Rendra dalam “Sajak Peperangan Abimanyu”.

Han, tahukah Kau bahwa aku merindukan-Mu?

Saat aku berlari melunasi kata-kata akankah Kau mengejar dan memelukku? Semakin aku jauh melangkah dan berlari mengejar mimpi, semakin erat dan mesrakah aku dalam peluk-Mu?

Sebuah ucapan penuh hikmah “Ridha nas ghayatun la tudrak”, keridaan seluruh umat adalah hal yang tidak mungkin terjadi. Begitu jugakah yang Kau rasakan Han? Kenapa tak semua orang merasa bahagia? Juga rida pada satu tujuan? Padahal yang aku tahu, bahagia itu relatif. Setiap orang memiliki konsep kebahagiaan dan itulah hak naluriah.

Aku tak lagi peduli pada hak naluriah itu, sebab tak mungkin aku menjadi nahkoda pada setiap kereta hati manusia. Aku hanyalah pemasung rambu-rambu yang terpampang di jalanan itu. Entah kemana ia pecutkan kuda itu, tak lagi bisa aku memaksanya lewat jalan mana.

Aku ingin membaca-Mu. Mengapa tak Kau murka pada makhluk yang membangkang dan bahkan memberinya kesempatan untuk taat?

Han, aku malu karena Kau yang Maha Luar Biasa. Sedang aku yang bukanlah Tuhan, dan tentu saja aku yang kerdil ini tak pantas marah, murka, dan sok berkuasa.

Tuhanku sayang yang Maha Keren, sore tadi aku marah-marah dengan murid-muridku di kelas. Aku menangis di depan mereka. Tahukah Kau, ini kali pertama aku menangis di depan mereka. Aku merasa gagal dan dibohongi.

Kau pasti tahu, semenjak aku membulatkan tekadku dan melunasi kata-kataku sebagai seorang guru, aku menyadari bahwa guru tak hanya sekadar memberikan pengetahuan. Nilai 100 pada setiap ujian bukanlah kulminasi dari sebuah pendidikan. Aku mendapati empat orang muridku mengumpulkan tugas yang sama persis. Mereka telah berbuat curang.

Mungkin benar perkataan Prof Fathur dalam pidatonya di depan dosen-dosen FBS, bahwa salah satu indikator orang bodoh adalah dia yang suka marah-marah. Aku ingin belajar marah dengan elegan, seperti Kau yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang meski kutahu aku tak pernah bisa menyamai-Mu. Sesungguhnya aku menyesal sudah terlihat bodoh. Ajari aku wahai Tuhanku.

Untuk Kau Sang Pemilik 99 Asma yang Ajaib dan Memukau.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun