Dear Tuhan.
Izinkan aku belajar pada-Mu.
Ini masih pukul 20 tapi badanku sepertinya sudah remuk redam. Han, sudah satu pekan ini aku lembur di kantor, pulang kerja tengah malam dan pukul tujuh pagi aku sudah kembali bekerja. “Perjuangan adalah satu pelaksanaan cita dan rasa, perjuangan adalah pelunasan kesimpulan penghayatan”, begitu kata Rendra dalam “Sajak Peperangan Abimanyu”.
Han, tahukah Kau bahwa aku merindukan-Mu?
Saat aku berlari melunasi kata-kata akankah Kau mengejar dan memelukku? Semakin aku jauh melangkah dan berlari mengejar mimpi, semakin erat dan mesrakah aku dalam peluk-Mu?
Sebuah ucapan penuh hikmah “Ridha nas ghayatun la tudrak”, keridaan seluruh umat adalah hal yang tidak mungkin terjadi. Begitu jugakah yang Kau rasakan Han? Kenapa tak semua orang merasa bahagia? Juga rida pada satu tujuan? Padahal yang aku tahu, bahagia itu relatif. Setiap orang memiliki konsep kebahagiaan dan itulah hak naluriah.
Aku tak lagi peduli pada hak naluriah itu, sebab tak mungkin aku menjadi nahkoda pada setiap kereta hati manusia. Aku hanyalah pemasung rambu-rambu yang terpampang di jalanan itu. Entah kemana ia pecutkan kuda itu, tak lagi bisa aku memaksanya lewat jalan mana.
Aku ingin membaca-Mu. Mengapa tak Kau murka pada makhluk yang membangkang dan bahkan memberinya kesempatan untuk taat?
Han, aku malu karena Kau yang Maha Luar Biasa. Sedang aku yang bukanlah Tuhan, dan tentu saja aku yang kerdil ini tak pantas marah, murka, dan sok berkuasa.
Tuhanku sayang yang Maha Keren, sore tadi aku marah-marah dengan murid-muridku di kelas. Aku menangis di depan mereka. Tahukah Kau, ini kali pertama aku menangis di depan mereka. Aku merasa gagal dan dibohongi.
Kau pasti tahu, semenjak aku membulatkan tekadku dan melunasi kata-kataku sebagai seorang guru, aku menyadari bahwa guru tak hanya sekadar memberikan pengetahuan. Nilai 100 pada setiap ujian bukanlah kulminasi dari sebuah pendidikan. Aku mendapati empat orang muridku mengumpulkan tugas yang sama persis. Mereka telah berbuat curang.