Beberapa tradisi yang harus dilakukan sebelum memanen padi di daerahku (Sragen, Jawa Tengah) adalah 'Mboyong Mbok Sri', atau biasa juga disebut 'Ndeseli'. "Iki ki podo wae mantu Mbok Sri (Ini sama saja nikahannya padi)," kata Painah, wanita paruh baya si pemilik sawah.Â
Ndeseli adalah memanen sebagian padi diiringi beberapa adat, misalnya membakar menyan, berdoa, dan bagi-bagi makanan. Adat ini biasa dilakukan si pemilik sawah sebelum memanen padinya.
Duh jadi keinget kejadian tadi, selepas Mbah Matrejo-tokoh yang memimpin upacara ini- memetik dan mendandani si padi, beliau mengulurkannya ke kami. Niat hatiku ingin menerimanya dahulu, karena Mbokde Painah-panggilanku kepada si pemilik sawah- sedang sibuk menata makanan. Eh, ternyata tidak boleh, beliau Mbah Matrejo menggeleng dan tetap menunggu ulurannya disambut Painah. "Baiklah," batinku.
Jadi, kami berangkat ke sawah sekitar pukul 07.00 pagi, bersama seperangkat makanan dan alat. Alat yang digunakan adalah ani-ani -sebuah bambu yang didesain sedemikian rupa, sehingga bisa digunakan untuk memotong padi. Namun, karena Mbah Matrejo kesulitan menemukannya, kali ini beliau menggantinya dengan arit atau clurit.
Selanjutnya, makanan yang dibawa. Yang pertama adalah nasi. Ini sudah pasti, ya namanya juga orang Indonesia, kalau mau panen padi bawanya roti ya agak gimana gitu. Tentu nasinya tidak sendirian, dia didampingi lauk pauk dan sayuran. Diantaranya ayam panggang -favorit aku-, kluban, bothok, dan sayur.Â
Kali ini Mbokde Painah memilih menu sayur  kluweh. Selain itu, Mbokde juga memasak ketupat, umbi-umbian seperti uwi dan mbili, iwel-iwel (kue tepung beras yang tengahnya berisi kelapa dan gula jawa, dibungkus di daun pisang), pisang pesto, jadah (ketan yang setelah dikukus lalu ditumbuk itu lho), dan lepet (ketan yang dibungkus daun kelapa).Â
Ada lagi yang tidak boleh ketinggalan, yakni seperangkat menyan, bunga, dan teman-temannya seperti tembakau, kinang, njet, suruh, dan kendi berisi air.
Tidak ada yang aneh dari upacara ini. Berdoa, lalu dilanjutkan bagi-bagi makanan. Nah, Sang pemimpin upacara, Mbah Matrejo adalah tokoh yang dituakan di dusun ini. Beliau adalah imam masjid, pemimpin kenduren, pemimpin upacara-upacara adat dan lain-lain. Beliaulah yang mengisi tanda tangan buku ramadhanku selama Sekolah Dasar.Â
Begitu juga generasi setelahku hingga sekarang. Rumah beliau memang langsung menghadap masjid kampung kami, jadi tak heran kalau beliaulah yang istiqomah ngrumat masjid. Mugi-mugi sehat-sehat terus nggeh, Mbah. Ben anakku mbesok, tetap nemoni sholat tarawih diimami njenengan. "Gandengane wae rung kedeteksi, wis tekan anak," bantah batinku. Haha
Mbah Matrejo tetap membakar menyan, namun doa-doa yang dipanjatkan tetap kepada Allah Swt. Hal ini dibuktikan dengan semua upacaranya diawali basmallah dan dilanjutkan dengan doa-doa berbahasa Arab. Tapi, aku kurang tahu kalau Mbah baca yang lain juga ya.Â
Kayaknya sih itu aja. Ngga sempet tanya-tanya banyak, beliau sudah sepuh dan keburu sibuk dan mau pulang katanya. Tapi, yang aku yakini sih demikian. Doa tetap ditujuan kepada Allah, dilanjutkan dengan sedekah. Makanan yang dibawa ke sawah tadi, dibagi-bagi ke orang-orang yang ditemui di sawah dan tentu saja aku.Â
Hehe. Seperti yang kita tahu, Islam mengajarkan bahwa sedekah tidak akan mengurangi harta, justru akan melipat gandakannya. "Wong Jowo ancen seneng sodaqoh. Sitik-sitik kendurenan, sedekahan lan sak piturute. Seko nikah, meteng, lahir, ngasi mati, sak wise mati. Kabeh disedekahi. Mantab betul," batinku.
Urutan upacaranya adalah membakar kemenyan, berdoa, memetik padi, membaluri padi dengan parem (kunir parut), penalian padi, penyiraman padi menggunakan air dari kendi, lalu diakhiri dengan berdoa lagi. Seperti apa detailnya, bisa disaksikan di video yang aku unggah di akun instagramku @meilindanik.Â
Ada beberapa hal unik, salah satunya daun padi yang dikepang. Jadi keinget rambut panjangku dulu yang suka dikepang Mamak. Filosofinya apa? Entahlah. Tapi, menurut penglihatanku, kepangan Mbah bagus juga, ngga kalah sama kepangan Mamakku.Â
Haha. Ada lagi, yang sering kutunggu-tunggu sejak kecil. Yakni 'wajib' yakni uang yang biasa menyertai kemenyan dan kawan-kawannya. Alhamdulillah 'wajib' kali ini untuk aku. Langsung kukantongin, setelah dipersilahkan oleh Mbokde. "Kui wajib-e kanggo koe," tuturnya. "Bismillah jadi berlipat-lipat," doaku. Hihi
Ada lagi yang unik, yakni pemberian parem pada padi. Nah kalau ini aku tahu filosofinya. Pemberian parem -anggap saja lulur- itu, menggambarkan usaha manusia agar padinya cantik, melimpah, dan barokah. "Nganten jaman mbiyen nak meh nikah ki nganggo iki (parem) disik, gen ayu. Yo iki ibarate ngono," kata Mbokde Painah kepadaku sembari ngetumke (mewadahkan makanan menggunakan daun) untuk Bapakku.
Singkat cerita, setelah upacara selesai. Beliau membagikan makanan yang dibawanya tadi kepada orang-orang di sekitar sawah dan tetangganya. Terakhir, semoga panennya banyak dan barokah ya, Mbokde. Mugo-mugo mbesok wajib-e warna abang, trus kanggo aku meneh. Wkwk
Sekian
Disclaimer : Ini adalah tulisan aku yang tanpa riset sebelumnya. Selain itu tulisan ini juga tidak menyertakan referensi manapun. Pure dari observasi indera aku dan ngobrol tipis bersama kedua tokoh dalam video. Jadi, boleh percaya boleh tidak.Â
Tapi, kejadian ini terjadi di depan kedua bola mata aku. Walaupun yang nampang hanya tanganku. Cari adegan mengulurkan kendi. Wkwk. Maafkan videonya goyang-goyang dan ngga bagus. Amatiran jadi anak dekdok ya gini. But, enjoy.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H