Mohon tunggu...
Anik Meilinda
Anik Meilinda Mohon Tunggu... Freelancer - Penikmat air putih

Hamba Allah yang ingin bermanfaat bagi semesta.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ikmal dan Merdeka Belajar Taman Baca Surya Gempita

17 Desember 2020   19:45 Diperbarui: 17 Desember 2020   20:00 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto bersama selepas belajar dan bermain di halaman Sekolah Dasar (SD) depan kantor Desa, Losari, Kec. Sumowono, Kab. Semarang (2/9/2020).(Doc. Yasin)

Maret 2020, Muhammad Kholiqul Ikmal (20), seorang warga asli Desa Losari, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang, mengajak beberapa tetangganya berbincang tentang mirisnya keadaan pendidikan di desanya semenjak pandemi datang. Dalam perbincangan itu, belum terlintas sebuah solusi atau model pendidikan seperti apa yang harus diberikan.

Kebetulan, Ikmal adalah seorang mahasiswa di salah satu universitas Islam di Yogyakarta. Keaktifannya di dunia pergerakan dan forum diskusi, membuatnya peka melihat fenomena sekitar. Ia prihatin, banyak anak kecil yang hanya di rumah saja. "Masak iya mereka cuma diem-diem di rumah aja selama pandemi," tuturnya. 

Selain itu, Ikmal dan teman-temannya berkeinginan menarik kenyamanan anak-anak dari smartphone. Membuat mereka menemukan kenyamanan lain, yaitu  dengan belajar dan bermain di luar rumah.

Ilham Dwi Khoirunnajib (9) anak laki-laki yang masih duduk di bangku kelas 2 itu nampak asik dengan gawai. Rupanya ia tengah menonton youtube di gawai milik kakaknya. Pagi hari yang biasanya ramai riuh celotehan teman-temannya. Kini, semua itu seakan hilang. Mandi pagi yang biasanya ia benci, sekarang ia rindukan. Pandemi benar-benar mengubah rutinitas hariannya.

Seragam sekolah yang seharusnya ia kenakan hari ini, masih rapi di almari. Kakaknya yang biasanya di tanah rantau, sekarang di rumah. Meskipun membuatnya tidak bertemu dengan guru, tetapi mendekatkannya dengan sang kakak. Kakaknyalah yang mengajarinya mengerjakan tugas dan belajar. Pandemi sudah mengubah harinya.

Ketika ditanya, "Enakan mana belajar dengan Ibu Guru atau kakak? Dengan  polosnya, ia menjawab, "enakan sinau mbi Mbak Hanik, ning yo kangen pelajaran," tuturnya. Selain itu, ia juga merasa kehilangan panggilan teman-temannya setiap pagi, "Ilham, Ilham," yang selepasnya, ia bergegas pamit lalu berangkat sekolah.

Melihat kebanyakan anak yang terlalu banyak bermain gawai pintar, dan semakin jarang berinteraksi dengan teman sebayanya, membuat Ikmal dan teman-temannya merasa terpanggil untuk bergerak. Mereka tidak bisa tinggal diam.

Dalam rangka berusaha berkontribusi bagi masyarakat sekitar, dan menciptakan iklim belajar yang menggembirakan di tengah pandemi. Berbekalkan dukungan dari teman-teman, stakeholder setempat, tokoh agama, dan masyarakat sekitar, akhirnya lahirlah Taman Baca yang dinamai Surya Gempita pada pertengahan April lalu. Taman baca ini tak hanya sekedar menggaungkan budaya melek literasi. Namun, juga memfasilitasi belajar anak-anak dengan mengadakan bimbingan belajar dengan konsep merdeka belajar. 

Pemilihan nama Surya Gempita mengacu pada harapan, komunitas ini  menjadi seperti matahari pagi yang membawa kegempitaan atau keceriaan. Setelah penentuan nama, lahirlah konsep merdeka belajar. Setiap anak berhak ingin belajar apa, dengan siapa, dan dimana saja. Asalkan, semua kegiatan harus didasari dengan kegembiraan.

Pertemuan perdana diikuti oleh 11 anak, pada awal Mei lalu. Melalui pamflet dan gethok tular, sekarang sudah ada 45 anak yang terdaftar. Ikmal berharap, komunitas ini tetap berjalan dan berkembang meskipun pandemi berakhir. "Sekarang, aku sedang merangkul mereka yang sudah SMA guna menjadi kader  penerus, mengingat mayoritas kami masih mahasiswa, yang nanti akan kembali ke perantauan," jelasnya.

Sejauh 9 bulan ini, berbagai kegiatan telah terlaksana. Termasuk bekerjasama dengan komunitas asal Salatiga, Paruh Aksara untuk memberikan edukasi tentang Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dan cara memanfaatkan sampah menjadi ecobrick.

Praktek membuat ecobrick dari sampah plastik yang mereka kumpulkan sebelumnya. (Doc. Pribadi)
Praktek membuat ecobrick dari sampah plastik yang mereka kumpulkan sebelumnya. (Doc. Pribadi)

Selain mempersiapkan kader dan menjalin jaringan. Ikmal juga mengatakan, sedang memikirkan reward apa yang bisa diberikan kepada para fasilitator. Walaupun, dari awal berdirinya, komitmen yang diusung adalah keikhlasan.

Sebelum perbincangan kami berakhir, ia mengatakan satu perkataan yang menggelitik telinga. "Pendidikan alternatif lahir, karena pendidikan formal tidak memberikan apa yang kita butuhkan," katanya di balik sambungan gawai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun