pendidikan di desanya semenjak pandemi datang. Dalam perbincangan itu, belum terlintas sebuah solusi atau model pendidikan seperti apa yang harus diberikan.
Maret 2020, Muhammad Kholiqul Ikmal (20), seorang warga asli Desa Losari, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang, mengajak beberapa tetangganya berbincang tentang mirisnya keadaanKebetulan, Ikmal adalah seorang mahasiswa di salah satu universitas Islam di Yogyakarta. Keaktifannya di dunia pergerakan dan forum diskusi, membuatnya peka melihat fenomena sekitar. Ia prihatin, banyak anak kecil yang hanya di rumah saja. "Masak iya mereka cuma diem-diem di rumah aja selama pandemi," tuturnya.Â
Selain itu, Ikmal dan teman-temannya berkeinginan menarik kenyamanan anak-anak dari smartphone. Membuat mereka menemukan kenyamanan lain, yaitu  dengan belajar dan bermain di luar rumah.
Ilham Dwi Khoirunnajib (9) anak laki-laki yang masih duduk di bangku kelas 2 itu nampak asik dengan gawai. Rupanya ia tengah menonton youtube di gawai milik kakaknya. Pagi hari yang biasanya ramai riuh celotehan teman-temannya. Kini, semua itu seakan hilang. Mandi pagi yang biasanya ia benci, sekarang ia rindukan. Pandemi benar-benar mengubah rutinitas hariannya.
Seragam sekolah yang seharusnya ia kenakan hari ini, masih rapi di almari. Kakaknya yang biasanya di tanah rantau, sekarang di rumah. Meskipun membuatnya tidak bertemu dengan guru, tetapi mendekatkannya dengan sang kakak. Kakaknyalah yang mengajarinya mengerjakan tugas dan belajar. Pandemi sudah mengubah harinya.
Ketika ditanya, "Enakan mana belajar dengan Ibu Guru atau kakak? Dengan  polosnya, ia menjawab, "enakan sinau mbi Mbak Hanik, ning yo kangen pelajaran," tuturnya. Selain itu, ia juga merasa kehilangan panggilan teman-temannya setiap pagi, "Ilham, Ilham," yang selepasnya, ia bergegas pamit lalu berangkat sekolah.
Melihat kebanyakan anak yang terlalu banyak bermain gawai pintar, dan semakin jarang berinteraksi dengan teman sebayanya, membuat Ikmal dan teman-temannya merasa terpanggil untuk bergerak. Mereka tidak bisa tinggal diam.
Dalam rangka berusaha berkontribusi bagi masyarakat sekitar, dan menciptakan iklim belajar yang menggembirakan di tengah pandemi. Berbekalkan dukungan dari teman-teman, stakeholder setempat, tokoh agama, dan masyarakat sekitar, akhirnya lahirlah Taman Baca yang dinamai Surya Gempita pada pertengahan April lalu. Taman baca ini tak hanya sekedar menggaungkan budaya melek literasi. Namun, juga memfasilitasi belajar anak-anak dengan mengadakan bimbingan belajar dengan konsep merdeka belajar.Â
Pemilihan nama Surya Gempita mengacu pada harapan, komunitas ini  menjadi seperti matahari pagi yang membawa kegempitaan atau keceriaan. Setelah penentuan nama, lahirlah konsep merdeka belajar. Setiap anak berhak ingin belajar apa, dengan siapa, dan dimana saja. Asalkan, semua kegiatan harus didasari dengan kegembiraan.
Pertemuan perdana diikuti oleh 11 anak, pada awal Mei lalu. Melalui pamflet dan gethok tular, sekarang sudah ada 45 anak yang terdaftar. Ikmal berharap, komunitas ini tetap berjalan dan berkembang meskipun pandemi berakhir. "Sekarang, aku sedang merangkul mereka yang sudah SMA guna menjadi kader  penerus, mengingat mayoritas kami masih mahasiswa, yang nanti akan kembali ke perantauan," jelasnya.
Sejauh 9 bulan ini, berbagai kegiatan telah terlaksana. Termasuk bekerjasama dengan komunitas asal Salatiga, Paruh Aksara untuk memberikan edukasi tentang Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dan cara memanfaatkan sampah menjadi ecobrick.