Konsep desentralisasi dan kaitannya dengan New Public Service.
Sejarah panjang terkait desentralisasi dimulai sekitar tahun 1970-an, di mana desentralisasi pada saat itu difokuskan pada dekonsentrasi struktur pemerintahan dan birokrasi hierarkis. Makna desentralisasi pada masa itu hanya berkaitan dengan pelimpahan kewenangan dari pemerintahan pusat kepada aparat pemerintah pusat yang berada di daerah. Pada tahun  1980-an konsep desentralisasi mulai meluas cakupannya yaitu memasukkan pembagian  kekuasaan politik, demokratisasi, liberalisasi pasar, serta memperluas ruang lingkup untuk  pengambilan keputusan sektor swasta. Berbeda dengan pemaknaan desentralisasi di tahun  sebelumnya, pada tahun 1980 ini konsep desentralisasi difokuskan bukan hanya pada dekonsentrasi, melainkan adanya perluasan fokus berupa devolusi dan pendelegasian (Cheema &  Rondinelli, 2007).
Konsep desentralisasi kembali mengalami transisi pada tahun 1990 ketika beberapa  kelompok minoritas dari berbagai negara salah satunya Belgia merasa tidak puas dengan konsep  desentralisasi terdahulu yang dianggap lebih prosedural dan hanya mementingkan kepentingan  birokrasi atau pemerintah serta golongan tertentu tanpa memandang kepentingan masyarakat secara umum. Rasa ketidakpuasan tersebut menimbulkan suatu gerakan yaitu New Public Management (Cheema & Rondinelli, 2007). Adanya gerakan New Public Managemet dalam proses  pengelolaan tata pemerintahan secara tidak langsung berdampak pada proses pelaksanaan konsep  desentralisasi. Desentralisasi pada tahun 1990 bukan berfokus pada kebutuhan birokrasi akan tetapi berfokus pada pemenuhan kebutuhan warga negara melalui partisipasi pihak swasta.Â
Hal serupa juga disampaikan oleh David Osborne dan Ted Gaebler dalam buku "Reinventing Government" bahwa pemerintahan nasional, negara bagian, dan lokal harus inovatif, berorientasi pasar, terdesentralisasi, dan fokus menawarkan pada "pelanggan" mereka atas layanan dengan kualitas tertinggi (Osborne & Ted, dalam Cheema & Rondinelli, 2007). Makna desentralisasi berdasarkan konsep New Public Management ini memosisikan negara hanya sebagai pengarah dan pihak swasta sebagai pelaksana dalam pemenuhan kebutuhan warga negara. Pada tahun 2003 buku karya Janet V. Denhardt dan Robert B. Denhardt berjudul The New Public Service: Serving, not Steering mengubah paradigma masyarakat terkait konsep pelayanan publik.Â
Buku tersebut memandang bahwa konsep New Public Management kurang relevan jika diimplementasikan dalam pelayanan publik, hal ini dikarenakan kecenderungan konsep New Public Management yang hanya berorientasi pada bisnis dan menempatkan peran pemerintah hanya sebagai pengawas bukan sebagai pelaksana, serta memosisikan masyarakat sebagai customer bukan sebagai warga negara yang memang berhak memperoleh pelayanan publik. Selain itu, buku tersebut juga menegaskan bahwa untuk meningkatkan pelayanan publik suatu negara, maka konsep New Public Service merupakan konsep yang dianggap paling sesuai dibandingkan dengan konsep New Public Management. Konsep New Public Service memandang bahwa birokrasi merupakan alat rakyat dan harus tunduk kepada apapun suara rakyat, sepanjang suara itu rasional dan legitimate secara normatif dan konstitusional (Nurlaela & Andriani, 2018). Dengan adanya paradigma baru yaitu berupa konsep New Public Service, maka secara tidak langsung hal tersebut juga berpengaruh pada implementasi konsep desentralisasi yang diterapkan di berbagai negara, salah satunya di Indonesia.
Desentralisasi di Indonesia Pasca Reformasi.
Konsep desentralisasi di Indonesia berkembang seiring dengan adanya arus globalisasi  serta dinamika politik pasca kemerdekaan. Dampak dari globalisasi yaitu memaksa semua negara termasuk Indonesia untuk dapat bersaing dengan negara lain baik dalam segi peningkatan faktor-faktor produksi maupun dari segi peningkatan pelayanan publik. Efek globalisasi yang dihadapi oleh Indonesia memaksa pemerintah dan masyarakat untuk beradaptasi dengan negara luar demi mencapai kestabilan nasional di bidang ekonomi, sosial, dan politik. Untuk mencapai kestabilan nasional tersebut tentunya Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan kinerja dari pemerintah pusat, luasnya wilayah yang dimiliki oleh Indonesia juga menjadi suatu tantangan tersendiri dalam tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik, maka dari itu pentingnya penerapan desentralisasi ini diharapkan akan membantu meringankan beban pemerintah pusat, serta meningkatkan kapasitas administratif dan fiskal daerah demi efisiensi dan efektivitas dalam mencapai kestabilan ekonomi, sosial, dan politik nasional.Â
Konsep desentralisasi yang diterapkan di Indonesia pasca reformasi menjadi titik terang tersendiri bagi tata kelola pemerintahan, begitu juga bagi masyarakat terkait pemenuhan pelayanan publik. Konsep desentralisasi menjadi daya tarik sendiri terhadap masyarakat Indonesia setelah beberapa tahun menjalani sistem pemerintahan yang bersifat otoriter dan  terpusat atau sentralisasi selama orde lama dan orde baru. Adanya transisi dari sentralisasi menjadi desentralisasi membawa harapan tersendiri bagi masyarakat lokal dalam mengelola dan mengurus rumah tangganya sendiri tanpa intervensi dari pemerintah pusat. Desentralisasi dipandang sebagai salah satu alternatif untuk mengurangi kesewenang-wenangan pemerintah pusat dan sekaligus sebagai counter- balance pemerintah pusat dalam pelaksanaan tugasnya.
Dengan adanya desentralisasi, pemerintah dan masyarakat daerah dituntut untuk aktif dalam mengelola permasalahan dan kebutuhan publik. Adanya penerapan konsep desentralisasi secara  tidak langsung akan menghasilkan suatu kebijakan yang diharapkan sesuai dengan kehendak dan kebutuhan masyarakat daerah. Selain itu implementasi desentralisasi di Indonesia diharapkan akan membantu meningkatkan pertumbuhan perekonomian dan sumber daya alam maupun manusia di daerah demi mencapai kestabilan ekonomi, sosial dan politik di tingkat nasional.Â
Konsep desentralisasi di Indonesia pada era reformasi berawal dari adanya Ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 tahun 1998 tentangPenyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian ketetapan tersebut diatur lebih lanjut dalam UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 25 tahun 1999 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah menggantikan UU Nomor 5 tahun 1978. Konsep desentralisasi yang diterapkan di Indonesia pada tahun 1999 berdasarkan otonomi daerah dipandang memiliki banyak kelemahan, salah satunya yaitu adanya tumpang tindih kewenangan antara pemerintah daerah kabupaten/kota dengan pemerintah di tingkat provinsi. Menurut Hikam, salah satu kelemahan dari UU Nomor 22 tahun 1999 adalah tidak adanya batasan antara pemerintah tingkat kota/ kabupaten dengan provinsi (overlapping), yang mengakibatkan terjadinya pembangkangan dari pemerintah tingkat kota/ kabupaten terhadap provinsi karena dianggap mempunyai kedudukan yang sama (Hikam, 2010).Â
Maka dari itu, UU Nomor 22 tahun 1999 mengalami revisi menjadi UU Nomor 32 tahun 2004. Tidak hanya sampai di situ, peraturan terkait desentralisasi kembali mengalami perubahan dengan adanya UU Nomor 23 tahun 2014 dan terakhir UU Nomor 9 tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Banyaknya perubahan / dinamika yang terjadi dalam implementasi konsep desentralisasi di Indonesia semata-mata sebagai bagian dari penyesuaian antara konsep desentralisasi yang juga berkembang karena adanya perkembangan pola pikir masyarakat, salah satunya adanya perkembangan paradigma terkait konsep New Public Service, selain itu dinamika politik Indonesia juga mempengaruhi implementasi desentralisasi pasca reformasi.
Undang- Undang terkait desentralisasi yang sekarang ditetapkan di Indonesia diharapkan mampu meningkatkan partisipasi masyarakat serta dapat menjamin pembangunan dan pelayanan masyarakat di tingkat daerah demi terwujudnya kestabilan ekonomi, sosial, dan politik nasional. Dewasanya pendefinisian dari desentralisasi di Indonesia mengacu pada UU Nomor 23 tahun 2014 yang menyatakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi. Otonomi daerah itu sendiri mencerminkan adanya hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2014).
Pendefinisian Desentralisasi Pasca Omnibus Law
Dalam konteks desentralisasi, terbentuknya Undang- Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law merupakan sebuah tantangan tersendiri. Dalam UU Cipta Kerja Pasal 17 yang mengatur beberapa ketentuan dalam UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, ketentuan angka 5 pasal 10 menyebutkan bahwa wewenang Pemerintah Daerah Provinsi dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dalam penyelenggaraan penataan ruang, sedangkan di undang- undang sebelumnya yaitu UU Nomor 26 tahun 2007, ketentuan tersebut tidak ada. Hal ini menandakan bahwa, wewenang pemerintah daerah dalam pengelolaan penataan ruang harus sesuai dengan ketentuan dan arahan dari pemerintah pusat. Pemerintah daerah tidak memiliki otonomi untuk dapat mengembangkan pengelolaan penataan ruang di daerahnya. Dalam pengelolaan penataan ruang pemerintah daerah seolah-olah didikte oleh kewenangan dari pemerintah pusat, hal ini tentunya sangat mencederai konsep desentralisasi yang mana berdasarkan asas otonomi berupa penyerahan penuh kewenangan dalam mengelola sumber daya termasuk penataan ruang kepada pemerintah daerah beserta masyarakat.Â
Selain itu, perbedaan antara UU Cipta Kerja dengan UU Nomor 26 tahun 2007 terkait penataan ruang terlihat jelas pada tidak dicantumkannya kewenangan pemerintah provinsi dan kabupaten/ kota dalam penataan ruang kawasan strategis pada UU Cipta Kerja. Jika dilihat kembali pada UU Nomor 26 tahun 2007 Pasal 10 dan 11, di sana menjelaskan terkait bagaimana kewenangan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/ kota dalam mengelola penataan ruang kawasan strategis. Hal tersebut tentunya mengarahkan perspektif publik bahwa, adanya UU Cipta Kerja ini tidak menginginkan adanya kawasan strategis yang dikelola oleh pemerintah daerah, dan tentunya akan mengurangi kewenangan dan produktivitas kinerja dari pemerintah daerah dalam mengelola sumber daya alam yang berada di wilayahnya.Â
Bukan hanya itu, dalam UU Cipta Kerja pasal 250 yang mana menyatakan bahwa Perda dan Perkada dilarang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi, asas pembentukan peraturan perundang- undangan yang baik, asas materi muatan peraturan perundang- undangan, dan keputusan pengadilan (pasal 250 UU Nomor 11 tahun 2020). Hal tersebut tentunya bertentangan dengan konsep otonomi daerah di mana daerah memiliki otonomi atau wewenang tersendiri dalam membuat suatu kebijakan. Adanya pasal 250 terkait Pemerintah Daerah dalam UU Cipta Kerja menjelaskan kembalinya kekuasaan sentralisasi dengan ditariknya kembali wewenang pemerintah daerah dalam mengelola dan mengurus rumah tangganya sendiri. Menurut beberapa pakar hukum Universitas Gadjah Mada dalam Catatan Kritis Terhadap UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjelaskan bahwa konsep otonomi daerah membedakan antara Perda Delegasi dengan Perda Atribusi. Perda Delegasi adalah perda yang lahir dari pemberian, sedangkan Perda Atribusi adalah perda yang lahir dari kewenangan yang melekat selaku daerah otonom (Riyanto, Sigit. Maria Sumardjono. Dkk. 2020).Â
Sayangnya Pasal 250 tidak begitu jelas dalam mendeskripsikan Perda Atribusi atau Perda Delegasi yang harus di kontrol oleh pemerintah pusat. Akan tetapi terlepas dari ketidakjelasan pasal tersebut, pasal 250 telah menggiring opini publik bahwa adanya UU Cipta Kerja memang penuh dengan kejanggalan terutama menyebabkan munculnya kembali sentralisasi dari pemerintah pusat yang mana melemahkan konsep desentralisasi. Selain itu adanya pengenaan sanksi yang tercantum dalam Pasal 252 UU Cipta Kerja yang ditujukan kepada penyelenggara pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/ kota yang masih memberlakukan Perda yang tidak sesuai dengan ketentuan pemerintah pusat. Adanya pengenaan sanksi ini dipandang sebagai alat pemerintah pusat dalam mengintervensi pemerintah daerah. Dari penjelasan di atas menandakan dengan adanya UU Omnibus Law, definisi atau pemaknaan desentralisasi di Indonesia tidaklah murni sesuai dengan konsep desentralisasi yang di dalamnya terdapat konsep New Public Service dan menjunjung tinggi otonomi daerah. Dengan ditetapkannya UU Omnibus Law konsep desentralisasi di Indonesia bukan berdasarkan asas otonomi daerah dan prinsip New Public Service akan tetapi lebih berorientasi kepada sentralisasi pemerintah pusat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H