Istilah Paradigma pertama kali diperkenalkan oleh seorang ilmuan Amerika, Thomas Samuel Kuhn dalam bukunya yang berjudul The Structure of Scientific Revolution (1962), yang kemudian dipopulerkan kembali oleh Robert Friedrichs dalam buku Sociology of Sociology (1970).
Menurut Kuhn, Paradigma adalah cara berpikir atau melihat untuk mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi oleh cara pandang pemikiran yang dalam (Mode of Thought/Mode of Inquiry), yang kemudian menghasilkan cara pandang yang spesifik maupun konkret (Mode of Knowing). Dalam pandangan Kuhn, paradigma merupakan suatu gambaran yang fundamental dari pokok bahasan sebuah ilmu pengetahuan. Paradigma menentukan apa yang harus dipelajari, dipertanyakan, sampai aturan-aturan bagaimana yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban-jawaban yang diperoleh. Dengan kata lain, paradigma merupakan bagian terluas dari konsensus-konsensus ilmu pengetahuan dan membedakan komunitas ilmu satu dengan yang lain.
Dalam The Structure of Scientific Revolution (1962), Kuhn mengemukakan bahwa ilmu tak selamanya berjalan lurus. Menurutnya, suatu keilmuan dipengaruhi oleh dominasi paradigma yang berkembang dari waktu ke waktu. Lalu mengapa perbedaan paradigma dapat terjadi?
Menurut George Ritzer, terdapat tiga faktor yang mempengaruhi adanya perbedaan paradigma, yaitu:
- Perbedaan pandangan filsafat yang mendasari pemikirannya.
- Perbedaan teori yang digunakan sebagai konsekuensi logis dari pandangan filsafatnya.
- Perbedaan metode yang digunakan untuk memahami dan menerapkan substansi dari ilmu yang berbeda.
Adanya keragaman paradigma tidak selalu memiliki makna yang negatif, sebab hal inilah yang justru menjadi sebuah keragaman dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Dengan adanya relasi perbedaan paradigma dengan keragaman konseptual dan teori yang dihasilkan, maka hal ini menandakan adanya dinamika atau dialektika ilmu pengetahuan.
Dalam sosiologi juga terdapat perbedaan paradigma, berikut tiga paradigma yang mendominasi dalam keilmuan sosiologi menurut George Ritzer:
1. Fakta Sosial
Paradigma ini dilandasi oleh pemikiran Emile Durkheim, menurutnya sosiologi adalah ilmu yang berdiri sendiri. Durkheim mengklaim fakta sosial adalah barang yang nyata dan bukanlah sebuah ide. Fakta sosial tidak dapat dipahami melalui kegiatan yang spekulatif yang dilakukan oleh pemikiran manusia, melainkan dipahami melalui kegiatan penyusunan data yang nyata dan dilakukan diluar pemikiran manusia, sehingga fakta sosial dapat diamati oleh para ilmuan sosial khususnya para sosiolog, dan merupakan kajian yang nyata tentang ilmu sosiologi.
Selanjutnya Durhkeim menyatakan bahwa pokok bahasan sosiologi itu harus mengenai studi fakta sosial. Bahasan mengenai paradigma fakta sosial terdiri dari struktur sosial dan institusi sosial seperti norma-norma, nilai, adat istiadat dan semua peraturan yang bersifat memaksa diluar kehendak manusia. Dalam paradigma ini, struktur dan institusi sosial berdiri sendiri dalam memengaruhi pemikiran dan tindakan yang akan dilakukan oleh individu. Jadi, para ahli dalam paradigma ini memusatkan kajian pada bagaimana pengaruh struktur sosial dengan individu, dan institusi sosial dengan individu. Teori yang mendukung paradigma ini adalah struktural fungsionalis, teori konflik, teori sistem, dan teori-teori sosiologi makro lainnya.
2. Paradigma Definisi SosialÂ
Dilandasi oleh pemikiran Max Weber mengenai tindakan sosial, menurutnya struktur dan institusi sosial merupakan kesatuan yang membentuk tindakan manusia dengan penuh makna. Tindakan sosial merupakan tindakan yang dilakukan oleh individu kepada orang lain, di mana tindakan tersebut memiliki makna subjektif yang hanya diketahui oleh si pemberi tindakan. Maka, tindakan yang tidak ditujukan kepada orang lain, bukanlah tindakan sosial. Menurut weber, perkembangan struktur dan institusi sosial, harus melihat tindakan individu. Karena tindakan individu atau manusia tidak terlepas dari struktur dan institusi yang ada di sekitarnya. Jadi menurut weber, sosiologi merupakan ilmu yang berusaha menafsirkan dan memahami tindakan sosial serta berbagai hubungan hingga kepada penjelasan kausalnya (sebab-akibat), oleh karena itu paradigma ini disebut juga sebagai paradigma interpretatif. Teori yang mendukung paradigma ini adalah Teori Aksi (Action Theory), Teori Interaksionisme Simbolik, Teori Fenomenologi, dan Teori Etnometodologi.
3. Paradigma Perilaku Sosial
Paradigma ini dikembangkan oleh Burrhus Fredric Skinner, objek kajian sosiologi yang konkret dalam paradigma Perilaku Sosial adalah perilaku manusia atau individu yang terlihat dan kemungkinan pengulangannya. Sebab, perilaku individu dan masyarakat dapat berubah seiring perubahan struktur dan institusi sosial. Oleh karena itu, tingkah laku manusia di paradigma ini tidak bebas karena ditentukan oleh struktur dan institusi yang berlaku. Skinner berusaha memasukkan unsur Psikologi ke dalam ranah Sosiologi. Bagi Skinner, struktur dan institusi bersifat mistik atau objek yang terjadi dalam pemikiran manusia, sehingga tidak tepat untuk menjadi objek kajian Sosiologi. Teori yang mendukung paradigma ini adalah Teori Behavior (Behaviour Theory) dan Teori Pertukaran (Exchange Theory).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H