Semenanjung Korea  merupakan sebuah wilayah strategis dikawasan Asia Timur yang terbagi menjadi dua negara, yaitu Korea Selatan dan Korea Utara. Meskipun berada di dalam satu Kawasan yang sama, dua Korea tidak memiliki jalinan hubungan yang baik satu sama lain, bahkan sering terlibat dalam konflik. Seiring dengan berjalannya waktu, perkembangan kondisi hubungan antara kedua negara ini membaik, meski konflik serta ketegangan yang ada tidak bisa dihindari. Namun letak perbatasan antara Korea Selatan dan Korea Utara yang saling berdekatan, menimbulkan risiko ketegangan politik, setelah hasil kesepakatan  akhir dari perang dunia ke II yang menjadi penyebab utama kedua negara ini terpisah, yang dibatasi oleh garis Demilitarized Zone (DMZ) (Oberdorfer 2001).
Pada dasarnya kekuatan antara kedua korea ini, terdapat ketidakseimbangan yang menjadi alasan mengapa kedua negara ini tidak saling mendominasi satu sama lain, yang membuat tidak terbentuknya hierarki di Semenanjung Korea. Korea Utara kini  Kembali menjadi sorotan dunia atas pengembangan program nuklirnya. Pengembangan nuklir di Korea Utara sampai saat ini, menjadi kekhawatiran serta ancaman bagi Korea Selatan yang sampai saat ini yang tak berujung selesai. Peningkatan drastis jangkauan dan kekuatan daya ledak senjata nuklir dan rudal korea utara telah menjadi isu keamanan Amerika Serikat. Dengan adanya aktivitas nuklir di Korea Utara memberikan dampak negatif pada kepentingan ekonomi negara – negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Cina bahkan Korea Selatan, yang menyebabkan banyaknya pelaku usaha yang membatalkan investasinya di Kawasan tersebut dengan alasan keamanan. Jika dilihat dari alasan utama Korea Utara dalam mempertahankan nuklirnya adalah untuk melindungi keamanan negaranya dari agresi militer Amerika Serikat yang dipandang sebagai ancaman, serta Korea Utara meyakini bahwa program nuklirnya adalah sarana diplomasi yang efektif untuk membawa Amerika serikat terhadap meja negosiasi (Perundingan). Meskipun banyak pertentangan di kalangan negara, Korea Utara tetap meluncurkan senjata nuklir di tengah sanksi – sanksi yang dikeluarkan oleh PBB.
Korea Utara dan PBB sama – sama saling mempertahankan steatment yang mereka punya, karena pada dasarnya tujuan mereka ingin tetap berteguh pada pendirian sendiri. Sanksi yang dikeluarkan oleh PBB tidak memberikan pengaruh pada Korea Utara, karena mereka tidak mengubris apa yang telah dikeluarkan, padahal dampak dari sanksi tersebut sangat luas yang dapat merugikan Korea Utara dan laju pertumbuhan ekonomi dinegara tersebut. Sanksi yang telah dikeluarkan PBB pada dasarnya dianggap menjadi Solusi paling efektif untuk menegakkan hukum internasional serta menjaga perdamaian dunia. Program nuklir ini menjadi issu yang panas,  karena dampak serta efek berbahaya yang ditimbulkan dari nuklir tersebut, desakan Korea Utara terhadap uji coba yang nuklir yang dikeluarkan saja sudah cukup membuat PBB bertindak atas hal tersebut. Korea Utara terus mempertegas bahwa pembuatan nuklir yang mereka rencanakan ini merupakan alat pertahanan diri bagi negara mereka. Namun, siapa sangka perdebatan kali ini menggemparkan dunia, salah satunya Indonesia yang Sudah seharusnya turut andil dalam permasalahan ini, mengingat memanasnya hubungan beberapa negara yang ada.
Korea Utara ternyata menghalalkan cara untuk menghindari sanksi yang diberikan oleh PBB seperti menggunakan identitas palsu, menggunakan agen yang berpengalaman. Meskipun cara dari Korea Utara ini diketahui dan teridentifikasi adanya pelanggaran, hal ini tidak membuat mereka gentar. Negara tersebut tidak memikirkan dampak apa yang mereka rasakan, setidaknya bukan untuk negara lain, coba pikirkan bagaimana dampak yang harus diterima warganya tersebut efek dari pembuatan nuklir yang sudah di uji coba yang memicu gempa berkekuatan 6,3 SR bahkan tidak hanya sekali yang mereka rasakan, diperkirakan efek dari uji coba nuklir tersebut menimbulkan 17 kali ledakan yang terjadi dii Hiroshima ( Krajick 2018).
Berdasarkan laporan UNICEF pada tahun 2018 ada sekitar 60.000 mulai dari anak bahkan orang dewasa di Korea Utara menderita kekurangan gizi karena risiko kelaparan yang tinggi dikarenakan sanksi yang mengganggu pasokan pangan. Dampak dari sanksi PBB ini sebenarnya sangat merugikan bahkan meninggulkan korban jiwa yang cukup banyak, dikarenakan ketidakpatuhan terhadap PBB. Menurut Eberstadt, pengamat ekonomi politik dari America Enterpise Institute berpendapat bahwa ketahanan pangan sebenarnya jauh lebih berbahaya dari pada sanksi, dikarenakan warga sipil Korea Utara yang banyak kelaparan, sedangkan pemerintah baik – baik saja (Chisholm, The Food Insecurity Of North Korea 2018).  Meskipun banyak hal negative yang terjadi dinegara tersebut pemerintah serta pejabat dari negara tersebut kurang peduli terhadap warganya sendiri, karena mereka hanya berfokus ke pembuatan nuklir yang sangat mereka inginkan dengan alasan sebagai alat pertahanan negara tersebut. Dengan adanya diskriminasi dan hak asasi manusia yang kurang diperdulikan ini bisa menjadi alasan kuat perpecahan dinegara itu, dan kurangnyaa hak untuk mengeluarkan suara bisa menyebabkan tertindasnya hak – hak warga  negara tersebut. Disimpulkan bahwa masih belum ada titik temu yang pasti dan membuat konflik serta ancaman ini segera berakhir, mengingat sanksi yang sudah diberikan saja tidak diperdulikan dan justru tetap melanjutkan apa yang mereka ingin capai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H