Intinya, anak-anak yang lebih pandai secara akademis, akan diberi stimulasi lebih banyak daripada anak-anak lainnya. Konsekuensinya, mereka akan mendapatkan tugas-tugas yang lebih banyak dan lebih sulit daripada anak-anak sekolah reguler. Inilah salah satu hal mendasar dari sistem pendidikan di negara maju; pemberian stimulasi maupun beban akademis disesuaikan dengan kemampuan akademis si anak, tidak disamaratakan begitu saja.
Saya cukup terheran-heran ketika di semester pertamanya di kelas 7, Raissa sudah mendapat assignment melakukan eksperimen kecil-kecilan di rumah. Dia mampu memahami dan menjelaskan apa itu dependent variable, independent variable, repetisi/ulangan, control variable, hipotesis, dan konsep-konsep dasar penelitian lainnya. Seingat saya selama sekolah di Indonesia dari TK sampai lulus S1, konsep-konsep dasar penelitian ini baru saya pelajari dan pahami di bangku kuliah S1.
Raissa pun sudah mampu membuat research poster (versi sederhana tentunya). Sesuatu yang baru saya lakukan pertama kali di tengah kuliah S3.
Dan semua itu mampu dilakukan oleh Raissa, dengan bekal background kurikulum sekolah SD yang santai. Dari pengamatan ini, saya makin meyakini bahwa tidak ada gunanya memaksakan muatan akademis bejibun terlalu dini pada anak. Kemampuan akademik anak akan berkembang sesuai dengan usianya.
Sekolah selektif di sini juga menyediakan media dan fasilitas pembelajaran yang lebih lengkap. Tidak hanya untuk bidang-bidang akademik, tapi juga pembelajaran life-skills. Anak-anak diwajibkan untuk belajar dan mempraktekkan berbagai keterampilan dari mulai menjahit, bercocok tanam, desain interior, beternak, memasak, teknik dasar pengolahan kayu, hingga bermusik. Dan untuk menunjang semua itu, tentunya sekolah memiliki fasilitas, dari laboratorium komputer, dapur untuk praktek memasak, bengkel perkayuan, puluhan keyboard dan berbagai macam alat musik lainnya dari piano sampai saksofon, hingga lahan pertanian dan peternakan yang cukup luas.
Guru-guru benar-benar menguasai bidangnya dalam arti yang sesungguhnya. Guru mata pelajaran pertanian di sekolah Raissa misalnya. Dia mampu menunggang kuda, mengendarai traktor, hingga membantu kambing melahirkan. Guru seni musik adalah sarjana musik yang juga mantan penyanyi opera. Sedangkan guru sains adalah sarjana ilmu forensik.
Jadi, anak-anak pintar mendapat segala sesuatu yang lebih hebat di sekolah negeri favorit di Australia: stimulasi yang lebih banyak, guru-guru yang lebih hebat dan fasilitas yang lebih keren.
Kembali ke tanah air….
Bagaimana dengan sekolah negeri favorit di Indonesia? Apa sesungguhnya manfaat substantif yang diberikan sekolah negeri favorit kepada anak-anak kita?
Entahlah, masih misterius buat saya. Namun satu hal yang pasti. Kita, para orang tua murid, selalu dipaksa menghabiskan energi, waktu dan uang untuk hal-hal yang tidak substantif seperti mengantri formulir sejak tengah malam, demi sebuah bangku di sekolah favorit untuk anak-anak kita.
Dari tahun ke tahun, situasi ini tidak pernah berubah. Tahun ajaran baru selalu dibumbui drama-drama mendebarkan, menyesakkan dan menjengkelkan seputar urusan mencari sekolah untuk anak. Kekacauan terjadi di mana-mana dan di hampir semua tahap, mulai dari sistem pendaftaran online yang amburadul hingga penerimaan sekolah yang tidak transparan.