Foto bersama siswa-siswi dan wali kelas 1-2K, Ambarvale Public School, Campbelltown City, NSW, Australia
Baru-baru ini, media-media Islam di tanah air heboh memberitakan kasus Anita Wardhana. Siswi SMAN 2 Denpasar ini diminta pindah sekolah oleh Kepala Sekolah gara-gara niatnya mengenakan jilbab. Tak kurang dari Menteri Agama Suryadharma Ali, Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Musliar Kasim hingga anggota DPR RI Eva Sundari bereaksi keras. Mereka sepakat bahwa tidak boleh ada larangan berjilbab di sekolah manapun. Melarang siswi mengenakan jilbab adalah bentuk diskriminasi dan pelanggaran terhadap HAM.
Di belahan lain bumi pertiwi, tepatnya di provinsi Sumatra Barat, justru terjadi kasus sebaliknya. Siswi-siswi non-muslim yang bersekolah di beberapa sekolah negeri dipaksa untuk mengenakan jilbab. Inilah bentuk interpretasi para Kepala Sekolah negeri terhadap Peraturan Daerah mengenai himbauan atau kewajiban berbusana muslim/muslimah bagi para pelajar.
Terdapat 9 dari total 19 kabupaten/kota administratif di Sumbar yang mengeluarkan Perda tersebut, yaitu: Kota Padang (2005), Kabupaten Agam (2005), Pasaman (2003), Pasaman Barat (2007), Lima Puluh Kota (2003), Pesisir Selatan (2005), Sawah Lunto (2003), Solok (2002) dan Tanah Datar (2001). Seluruh Perda tersebut masih berlaku hingga saat ini.
Fauzi Bahar Walikota Padang dalam sebuah acara talk show di Metro TV yang dipandu Najwa Shihab pada medio Mei 2005 angkat bicara. Menurutnya, Perda busana muslim tersebut hanya diwajibkan untuk para pelajar muslim. Sementara siswi-siswi non-muslim hanya sekedar dianjurkan mengenakan jilbab.
Namun investigasi Majalah Tempo (edisi 16-22 Mei 2005 dan edisi 14-20 April 2008) serta penelitian seorang aktivis pluralisme yang dipublikasikan di Jurnal Perempuan tahun 2008 menemukan fakta memprihatinkan. Terjadi praktek-praktek pemaksaan jilbab bagi siswi-siswi non-muslim di beberapa sekolah negeri di kota Padang. Menanggapi hal ini, sang walikota beranalogi “Kalau ada sekawanan domba berwarna putih disela oleh beberapa domba berwarna biru, tentu yang biru harus menyesuaikan diri.”
Anita Wardhana lebih beruntung ketimbang rekan-rekannya sesama pelajar di Sumbar. Anita yang beragama Islam, adalah kelompok minoritas di Bali. Penduduk Bali didominasi oleh pemeluk agama Hindu (92.3%), sisanya Islam (5.7%) dan lainnya (2%).Namun, Anita memeluk agama yang menjadi mayoritas (87.2%) di republik ini. Sehingga ia pun berani bersuara lantang. Dukungan pun mengalir dari berbagai pihak hingga dari para petinggi-petinggi negara. Bahkan perkembangan terakhir menyebutkan Kepala Dinas Pendidikan dan Olahraga Denpasar telah memberikan izin pada Anita untuk berjilbab.
Sementara para siswi non-Muslim yang terpaksa memakai jilbab di Sumbar, hanya berani mengadu ke pemuka-pemuka agama mereka ataupun diwawancara secara anonim oleh para aktivis pluralis. Dengan populasi hanya sekitar 2.6%, masyarakat non-Muslim di Sumbar nyaris tidak punya posisi tawar politis yang berarti.
Pihak gereja Sumbar pernah mengadukan kasus ini kepada Menteri Agama saat itu (Maftuh Basyuni). Namun berkebalikan dengan kasus Denpasar; hingga saat ini tidak ada respon signifikan dari pemerintah pusat maupun para anggota legislatif.
Kedua kasus ini, pelarangan jilbab di Denpasar maupun pemaksaan jilbab di Sumbar, jelas sama-sama merupakan bentuk diskriminasi dan pelanggaran terhadap HAM.
Namun susahnya, sebagian kalangan umat Islam di bumi Minang menganggap aturan jilbabisasi Sumbar bukanlah diskriminasi. Ini adalah bentuk syiar Islam atau pengejawantahan kredo “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”.
Dominasi etnis Minang di Sumbar mencapai angka 88% dari total 5.1 juta penduduk. Minang dan Islam tidak dapat dipisahkan. Busana Minang adalah busana Islam. Maka apa pun agamanya, pelajar Sumbar mesti berbusana menyesuaikan diri dengan budaya Islam-Minang. Sesuai dengan analogi domba putih dan domba biru ala Pak Walikota Padang.
Toh, ketika logika yang sama (mungkin) dipakai Kepsek SMAN 2 Denpasar, dimana minoritas Muslim harus menyesuaikan diri dengan budaya Hindu-Bali yang tidak mengenal jilbab, kalangan Islam pun ramai-ramai meradang.
Yang pasti, ini seperti aksi balas-membalas tirani mayoritas antar wilayah. Sekitar tahun 2005, kota Manokwari pernah dihebohkan oleh kasus Raperda Injil. Raperda ini pada akhirnya tidak pernah terwujud karena protes keras kelompok-kelompok Muslim dan ketidaksetujuan kalangan gereja sendiri. Mereka mengkhawatirkan Raperda tersebut hanya akan menyulut api konflik di bumi Papua.
Lantas, apa hubungannya kasus-kasus tirani mayoritas ini dengan foto di atas?
Sebuah foto bisa berbicara seribu kata. Foto ini menggambarkan bagaimana perlakuan pemerintah sebuah negara Barat sekuler dan liberal terhadap penduduk minoritas Muslim berjilbab. Satu-satunya gadis kecil berjilbab yang duduk di sebelah kanan depan itu adalah putri kedua saya Zetta (6 tahun). Ia berfoto bersama teman-teman sekelas dan gurunya.
Zetta saat ini duduk di kelas 2 di Ambarvale Public School, Campbelltown City, New South Wales, Australia. Zetta dengan penuh percaya diri, sudah mengenakan jilbab tiap hari ke sekolah. Rutinitas ini dilakukannya sejak ia duduk di bangku taman kanak-kanak di Ambarvale Public School. Tidak ada larangan mengenakan jilbab di sekolah-sekolah milik pemerintah di Australia. Bahkan, banyak SD negeri (Public School) di Australia yang menyediakan fasilitas ekstra mata pelajaran agama Islam.
Zetta pun tidak pernah sekalipun di-bully oleh teman-teman sekolahnya gara-gara jilbab yang dipakainya. Doktrin toleransi dan saling menghargai antar etnis, agama dan kultur yang berbeda-beda telah ditanamkan dalam diri para pelajar di Australia melalui pendidikan dasar berspirit character building, sejak mereka duduk di bangku TK.
Kembali ke tanah air. Salah satu alasan Pemda-pemda Sumbar mengeluarkan Perda busana muslim adalah demi memperbaiki akhlak dan moral para pelajar. Berhasilkah? Media-media lokal ramai mengabarkan, perbuatan mesum dan maksiat malah makin marak di kalangan pelajar dan mahasiswa Sumbar. Padahal Sumbar selama ini digembar-gemborkan sebagai salah satu provinsi paling relijius di Indonesia.
Di sepanjang pantai Padang, marak berdiri payung dan tenda ceper sewaan untuk memfasilitasi kegiatan esek-esek para muda-mudi. Rumah-rumah kos pun menjadi sarang kumpul kebo pasangan-pasangan mahasiswa. Di paruh pertama tahun 2013 saja, Dinas Kesehatan Kabupaten Limapuluh Kota misalnya, mencatat ratusan gadis usia pelajar hamil di luar nikah di wilayah tersebut. Yang paling menghebohkan, pada Februari 2012, seorang pelajar putri tertangkap berbuat mesum dengan Kepala KUA Padang Pariaman di dalam mobil pribadi sang pejabat.
Perda-perda syariah Islam terkait pengaturan busana terbukti tidak efektif memperbaiki akhlak pelajar.
Penetapan Perda Syariah Islam adalah cara paling instan untuk mencitrakan kepala daerah sebagai pahlawan di tengah masyarakat Sumbar yang nyaris homogen: Minang (88%) sekaligus Islam (97%). Perda-perda ini tak lebih seperti gula-gula yang melenakan masyarakat mayoritas Muslim. Melenakan mereka agar luput menyoroti persoalan-persoalan lain yang lebih substansial dan tak mampu diatasi para kepala daerah tersebut.
Bahkan penetapan Perda-perda syariah ini dikhawatirkan bisa memancing aksi yang sama di daerah lain yang didominasi umat non-Muslim. Bayangkan jika Bupati Tapanuli Utara, Bupati Toraja, Bupati Minahasa, Walikota Jayapura atau Walikota Manado ramai-ramai membuat Perda Injil. Konflik antar agama dan etnis akan sulit terhindarkan. Persatuan dan kesatuan bangsa menjadi taruhannya. Kita tentu tidak pernah mengharapkan terjadi perang tirani mayoritas seperti ini di bumi pertiwi tercinta.
Sayangnya, dibawah kepemimpinan nasional yang berkarakter lemah dan selalu memilih bermain di zona aman, hampir mustahil mengharapkan lahirnya upaya koreksi atas distorsi-distrosi semacam ini. Para elit republik di pusat, baik eksekutif maupun legislatif, hanya akan sibuk mencitrakan diri sebagai pembela golongan mayoritas. Bersuara membela hak-hak kaum minoritas sama artinya dengan bunuh diri politik.
Pada akhirnya, dalam jangka pendek, suksesi kepemimpinan nasional menjadi satu-satunya harapan kita keluar dari berbagai macam persoalan bangsa ini, yang makin lama makin menumpuk karena tak pernah dipecahkan secara mendasar.
Sambil menunggu saat itu tiba, ada baiknya para Kepala Sekolah diskriminatif dari Bali maupun Sumbar dikirim untuk studi banding ke Australia. Akan sangat bermanfaat bagi kedamaian bumi pertiwi, bila mereka berguru pada murid-murid TK di Australia, tentang hakikat menghargai hak dan keyakinan golongan domba-domba biru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H