[caption caption="Permukiman di bantaran sungai daerah Jakarta (Foto: www.kompasiana.com)"][/caption]
Tak jarang kita menemui permukiman liar di ruang-ruang publik, seperti pinggir rel kereta api, tepi sungai, bahkan lorong jalan tol. Dalam hal ini akan dibahas permukiman penduduk di kawasan tepi sungai. Permukiman sepanjang bantaran sungai di Indonesia lekat dengan kesan kumuh, kotor, berbahaya, dan berantakan. Pemandangan ini biasa terjadi di perkotaan. Bahkan, bencana banjir merupakan agenda tahunan yang selalu dirasakan masyarakat pinggiran sungai. Walaupun sudah banyak rencana dari pemerintah untuk menertibkan permukiman warga, namun kenyataannya kondisi bantaran sungai di negara kita masih jauh dari citra bersih dan sehat.
[caption caption="Permukiman liar di kawasan rel kereta api"]
Hal ini disebabkan karena pertumbuhan fisik kota lebih baik daripada desa sehingga urbanisasi meningkat pesat dan terpusat di kota-kota besar. Tingginya urbanisasi ini tidak diimbangi dengan jumlah lapangan kerja yang berdampak rendahnya penghasilan kaum urban. Banyaknya penduduk di suatu kota juga akan menjadi masalah terkait dengan permukiman. Kaum urban berpenghasilan rendah akan mencari daerah pinggiran kota sebagai tempat tinggalnya karena lebih murah, walaupun tidak layak huni. Akibatnya kualitas hidup masyarakat pinggiran kota juga rendah, terutama kesehatan.
[caption caption="Bantaran sungai Katingan, Kalimantan tercemar merkuri (Foto: borneonews.co.id)"]
Kondisi yang kurang terkendali ini tentu menimbulkan permasalahan, seperti permukiman yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang pemerintah setempat, kawasan yang tidak bersahabat dengan lingkungan ekosistem, dan lingkungan hidup yang tidak sejalan dengan konsep berkelanjutan.
Bantaran sungai merupakan kawasan terbuka hijau yang dilindungi, ini jelas tertera pada PP nomor 47 tahun 1997 tentang RTRW Nasional pasal 34 ayat 5 dan UU nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang pasal 5 ayat 2. Di sepanjang bantaran sungai kita terdapat permukiman yang tergolong marginal. Padahal bantaran sungai ini seharusnya menjadi kawasan lindung yang di dalamnya dapat dirasakan untuk kepentingan publik secara berlanjut.
Menata Bantaran Sungai dengan Konsep Berkelanjutan
Kita tidak bisa melarang orang untuk tidak ke kota, karena mereka berhak menentukan mata pencahariannya. Dalam menanggapi kasus ini, salah satu gagasan konsep yang bisa diterapkan adalah dengan menata ruang publik berkelanjutan di bantaran sungai. Berkelanjutan yang dimaksud mencakup keberkelanjutan secara ekologi (keseimbangan ekosistem), secara fisik (pembangunan), dan secara sosial-ekonomi (kualitas kehidupan). Prinsip dari konsep berkelanjutan adalah mengurangi kerusakan lingkungan, meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan stabilitas dan kehidupan masyarakat.
Konsep berkelanjutan (ekologi, fisik, sosial-ekonomi) dapat dilaksanakan secara bersama-sama dengan melibatkan setiap elemen yaitu masyarakat bantaran sungai, pemerintah, serta sumber daya alam yang ada. Masyarakat bantaran sungai harus dipandang sebagai mitra pemerintah dalam mengelola ruang publik di sempadan sungai. Selama ini masyarakat kalangan menengah ke bawah diperlakukan sebagai objek/pelaku kebijakan, sehingga kadangkala terjadi konflik dalam pelaksanaaan pembangunan. Kemudian untuk sumber daya alam perlu dilihat sebagai kawasan lindung hijau yang berpotensi, bukan hanya untuk ditinggalli dan dieksploitasi. Berikut adalah aspek yang perlu dipertimbangkan untuk mengimplementasikan gagasan dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip berkelanjutan:
Aspek Sosial-Ekonomi
Penataan kawasan tepi sungai di perkotaan dapat dimulai dari masalah ekonomi oleh pemerintah setempat. Ini dapat dilakukan dengan analisis SWOT untuk menentukan kegiatan apa yang dapat meningkatkan stabilitas ekonomi masyarakat. Sebenarnya mewujudkan ruang publik hijau di daerah pinggiran perkotaan lebih mudah ketimbang di daerah pusat kota, karena luas lahan lebih luas. Misalnya, di bangun tempat wisata atau taman yang disesuaikan dengan potensi kawasan tersebut, seperti pasar apung. Pemanfaatan ruang semacam ini dapat berdampak luas, diantaranya terbukanya lapangan kerja baru bagi penduduk kawasan bantaran sungai. Kemudian dampak untuk masyakarat umum, ruang tersebut dapat dinikmati bersama.
Aspek Fisik
Penataan fisik ini salah satu dukungan terhadap pemerataan pembanguan di perkotaan yang meliputi pembangunan permukiman dan sarana prasarana yang menunjang kehidupan masyarakat seperti akses transportasi, jalan, fasilitas pendukung pendidikan. Dalam setiap proses (perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi), pemerintah harus melibatkan partisipasi masyarakat agar berjalan selaras dengan tujuan bersama. Pembanguan dapat dilakukan dengan merelokasi permukiman kumuh di bantaran sungai ke kawasan tepi sungai yang lebih aman dan layak. Misalnya pemerintah melalui Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang membangun permukiman baru yang layak dengan kemudahan akses transportasi. Dengan pembangunan yang disubsidi pemerintah dan juga mempertimbangkan aspek sebelumnya (ekonomi) maka kualitas hidup masyarakat kawasan sempadan sungai akan lebih baik.
Aspek Ekologi
Aspek ini berkaitan erat dengan kedua aspek sebelumnya, karena aspek ekonomi dan fisik berapa pada lingkaran aspek ekologi yang berupa lingkungan ekosistem. Aspek ekologi sebenarnya menjadi dasar dalam konsep ruang publik yang berkelanjutan. Intinya adalah keseimbangan lingkungan ekosistem yang di dalamnya terdapat manusia, hewan, dan sumber daya alam harus dijaga dengan penuh tanggung jawab untuk kehidupan bersama yang adil dan berkelanjutan. Pendampingan masyarakat bantaran sungai dalam mengelola kawasan sungai perlu dilakukan, seperti membuat resapan air di kawasan sempadan sungai untuk menanggulangi banjir, sosialisasi edukatif oleh Badan Lingkungan Hidup mengenai kebersihan lingkungan tempat tinggal, menanam tanaman keras di kawasan sepadan sungai.
Ketiga aspek diatas saling berkaitan dan melengkapi dalam menata ruang publik di bantaran sungai yang saat ini masih semrawut. Apabila ada salah satu aspek yang tidak ada dalam pembangunan, maka sulit untuk mencapai keberlanjutan. Bagaikan becak, ketiga roda harus berjalan bersama untuk dapat mencapai tujuan. Apabila salah satu roda becak tidak ada, maka yang terjadi adalah ketimpangan dan ketidakselarasan. Begitu juga dengan penataan ruang publik di bantaran sungai.
[caption caption="Desain Kampung Hijau di daerah bantaran sungai Bengawan Solo (Foto: akun twitter Solo Kota Hijau)"]
Disini ada daerah percontohan yang hampir mendekati konsep berkelanjutan. Dua tahun lalu, ruang publik di Surakarta mencapai 18,6 persen dari total luasan wilayah 44 kilometer persegi. Penambahan ruang terbuka hijau pun semakin meningkat dengan mengusung konsep “Kampung Hijau” di kawasan pinggiran kota, terutama di bantaran sungai Bengawan Solo (dari Sangkrah hingga Jebres)[1].
[caption caption="Wisata Kampung Apung di daerah Jawa Timur (Foto: jepretkota.blogspot.co.id)"]
Dalam menata ruang publik berkelanjutan di bantaran sungai yang semrawut memang tidak semudah seperti yang disampaikan. Namun yang harus dipahami bersama: bahwa konsep ruang publik berkelanjutan merupakan pengelolaan sumber daya yang ada untuk memenuhi kebutuhan manusia sambil mempertahankan dan meningkatkan kualitas lingkungan serta melestarikan sumber daya alam. Konsep ini tidak hanya dapat diaplikasikan pada kawasan bantaran sungai namun juga daerah tepi air yang lain seperti tepi waduk, tepi danau, dan tepi pantai. Dengan demikian, ruang publik berkelanjutan tidak hanya dirasakan oleh kita, namun juga oleh anak cucu kita kelak. Karena ruang publik untuk semua.
Salam Hijau Bumiku, Lestari Alamku!
[1] http://nasional.tempo.co/read/news/2013/04/22/206475014/bantaran-sungai-bengawan-solo-jadi-kampung - hijau
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H