Mohon tunggu...
Meilana Lestari
Meilana Lestari Mohon Tunggu... -

Pecinta seni. Tertarik dengan gerakan lingkungan. Pemerhati sosial-politik dan pertanian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mewujudkan Ruang Publik Ramah Difabel

27 September 2015   18:56 Diperbarui: 27 September 2015   20:01 1282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Tidak tersedianya jalur untuk para difabel menyulitkan mereka. Foto oleh metro.tempo.co"][/caption]

Deklarasi tentang Hak-Hak Penyandang Cacat (Declaration on the Rights of Disabled Persons) menjelaskan bahwa penyandang cacat (difabel) berhak untuk memperoleh upaya yang dapat memudahkan mereka untuk menjadi mandiri atau tidak tergantung pada pihak lain. Untuk mewujudkannya, banyak pemerintah di dunia menetapkan kebijakan yang mengatur dan menjamin akses difabel terhadap perumahan, gedung, transportasi, jalan dan bentuk ruang publik lainnya. Dengan demikian, diharapkan pembangunan ruang publik kota tidak hanya untuk dinikmati orang normal saja, namun juga berlaku bagi para difabel.

Sayangnya selama ini para difabel masih dijadikan sebagai objek yang tidak dilibatkan dalam konsultasi perencanaan pembangunan ruang publik di Indonesia. Akibatnya, bentuk sarana dan prasarana ruang publik masih jauh dari konsep ramah kepada para difabel. Jangankan kepada para difabel, kepada masyarakat yang normal saja tidak ramah.

[caption caption="Trotoar di Indonesia masih tidak ramah terhadap para difabel / Foto oleh Prima Aulia"]

[/caption]

Hal ini nampak pada trotoar di Indonesia yang masih dalam kondisi buruk, berlubang dan tidak rata serta belum memenuhi standar kelayakan. Di beberapa sudut kota di Indonesia, banyak trotoar yang disalahgunakan menjadi tempat berdagang sehingga menimbulkan suasana yang kumuh dan semrawut. Para pejalan kaki juga terganggu karena trotoar seringkali digunakan sebagai tempat parkir maupun pot bunga sebagai penghias tata ruang kota, sehingga ruang gerak pejalan kaki menjadi semakin terbatas. Pembangunan infrastruktur untuk pejalan kaki masih mementingkan aspek estetis ketimbang fungsionalnya.

Selain sulit, kondisi trotoar di Indonesia juga cenderung tidak aman bagi keselamatan para penggunanya. Berdasarkan data Kepolisian, setiap harinya tercatat rata-rata 18 pejalan kaki meninggal di Indonesia pada 2014. Dari jumlah itu, menurut Koalisi Pejalan Kaki, sekitar 80 pejalan kaki tewas di Jakarta setiap tahunnya.[1] Jika pejalan kaki normal saja kesulitan, bagaimana dengan pengguna tongkat atau kursi roda?

[caption caption="Bagaimana mungkin difabel dapat menggunakan jalur ini? / Foto oleh Citro Jogja"]

[/caption]

Tidak hanya trotoar, halte bis di Indonesia juga tidak ramah terhadap para difabel yang lumpuh. Kebanyakan pintu masuk halte bis di Indonesia tidak menyediakan jalur (atau ram) yang landai agar dapat dilewati kursi roda. Walaupun ada, seringkali jalur tersebut dengan kecuraman hingga 45 derajat, sehingga para difabel yang lumpuh kesulitan untuk menaikinya.

Sementara itu lampu lalu lintas juga menjadi kesulitan tersendiri bagi difabel yang buta warna. Walaupun sudah diberikan panel khusus penghitung mundur, para difabel masih kesulitan untuk membedakan apakah hitungan mundur tersebut berwarna merah atau hijau. Sebab mereka yang buta warna melihat semuanya sebagai abu-abu.

[caption caption="Jika lampu lalu lintas tidak dilengkapi panel ikon? Bagaimana caranya penyandang buta warna dapat membedakan tanda lampu lalu lintas? / Foto oleh Subekti"]

[/caption]

Fakta di atas menjadi contoh bagaimana sarana dan prasarana dalam ruang publik kota tidak dirancang dan tidak berpihak kepada para difabel. Padahal, kota yang ramah tidak hanya diukur melalui tingkat kepuasan warga yang normal saja, tetapi juga mereka para difabel. Padahal Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2006 ayat 5, menjelaskan bahwa “rencana teknis jalan wajib memperhitungkan kebutuhan fasilitas pejalan kaki dan penyandang cacat”. Ini jelas bahwa pejalan kaki dan difabel perlu diperhitungkan karena merupakan bagian dari lalu lintas.

Para difabel tidak butuh dikasihani, namun diperhatikan dan diakui keberadaannya. Bentuk perhatian kita terhadap para difabel yang kesulitan berjalan (seperti lumpuh, pincang, dan buta) dapat diwujudkan dengan membangun trotoar yang memberikan ruang yang lebih lebar dan bebas dari halangan, dengan permukaan yang lebih rata dan tidak bergelombang. Halte bis pun perlu menyediakan jalur landai yang dapat dilewati difabel yang menggunakan kursi roda atau tongkat. Selain itu, lampu lalu lintas juga perlu dilengkapi dengan panel berisi teks atau ikon sebagai penanda lalu lintas bagi mereka yang buta warna.

[caption caption="Contoh halte Transjakarta yang baik, sehingga dapat dilewati oleh para difabel/ Foto oleh Ita Lismawati F. Malau"]

[/caption]

Di taman-taman kota, dapat dibuat jalan khusus untuk tunanetra dengan keramik yang terdapat tonjolan kotak-kotak. Hal ini bertujuan agar para penyandang tunanetra menjadikannya sebagai panduan saat menggunakan tongkat. Juga disediakan wastafel dan toilet khusus difabel dengan fasilitas yang memudah mereka untuk menggunakannya. Misalnya wastafel dirancang lebih rendah, sehingga dapat digunakan oleh orang kerdil atau toilet khusus untuk mereka yang lumpuh.

Selain itu, bentuk himbauan dan sosialisasi di ruang publik perlu dilengkapi dengan perangkat dalam format yang dapat diakses oleh difabel seperti misalnya dalam format huruf braille, pengeras suara, huruf dicetak besar, penggunaan sinyal dan bahasa tubuh (sign language) ataupun dalam bentuk lainnya yang ramah terhadap penyandang tuna netra, tuna rungu, tuna wicara, ataupun penyandang difabel lainnya.

[caption caption="Difabel butuh toilet khusus yang berbeda dari kebanyakan orang / Foto oleh Ichsan Rosyid)"]

[/caption]

Mewujudkan kota yang ramah terhadap difabel juga harus mempertimbangkan berbagai aspek, misalnya keterjangkauan sarana bagi difabel, meningkatkan kualitas layanan, lingkungan sosial yang positif serta mewujudkan partisipasi aktif para difabel. Para perencana pembangunan haruslah memahami kebijakan pembangunan fisik yang ramah terhadap difabel (disability policy). Dengan mempedulikan kebutuhan ruang publik bagi difabel, otomatis kota itu dapat dikatakan sebagai kota yang ramah bagi semua orang. Sebab difabel juga punya hak yang sama dengan orang normal untuk menikmati ruang publik kota yang lebih baik.

[1] http://www.pedoman.id/berita-kbr68h/27787-masalah-besar-bagi-pejalan-kaki-di-indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun