Mohon tunggu...
Meike Juliana Matthes
Meike Juliana Matthes Mohon Tunggu... Freelancer - Mencintai alam, budaya, dunia literasi, dan olahraga

Menghargai perbedaan

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kenangan: Anakku Lahir di Hari Idul Fitri atau "Zuckerfest" di Jerman

11 April 2024   01:45 Diperbarui: 12 April 2024   15:21 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Anda tidak boleh memejamkan mata. Lihat! Dia akan tumbuh menjadi bayi yang tampan." 

Oh, kenapa dia tidak membiarkan aku istirahat.  Aku hanya ingin memejamkan mata.  Tolong jangan ganggu aku.

Pagi yang cerah tanggal 13 Oktober 2007. Aku membuka jendela membiarkan hawa segar masuk memenuhi ruang tidurku. Daun pohon birke dan ceri di halaman sudah berwarna kuning, sedang pohon ahorn milik tetangga sudah berwarna merah.

Meskipun aku dan keluargaku tidak ber-Idul Fitri, tapi aku teringat akan sahabat-sahabatku di Indonesia yang sedang merayakan hari ini.  Ada yang melaksanakan sejak kemarin dan ada yang nanti hari ini, seperti umat muslim di Jerman.

Tetanggaku di belakang rumah ber-kewarganegaraan Kosovo-Albania, begitu dia selalu menyebut.  "Saya orang Kosovo tapi besar di Albania".  Dia berkata seminggu sebelumnya kepadaku "Kalau kamu ada waktu, mampir ya...ada Borek."

Aku masih membuang pandangannku ke luar jendela, menarik napas dalam-dalam mengisi semua ruang di paru-paruku sambil mengingat percakapan dengan dokter kemarin.  Seharusnya, tanggal persalinanku seperti perhitungan dokter masih 2 minggu lagi.

"Jika, besok bercak-bercak merah di pakaian dalam Anda masih datang juga maka baliklah kemari."

Semalam aku susah terlelap karena memikirkan kata dokter itu.  Meskipun demikian aku tidak terlalu berdebar-debar seperti persalinanku yang pertama. Kontraksi pun belum aku rasakan.

"Mami, sudah kubikinkan kopi."  Lembut terdengar suara suamiku di telingaku sambil kedua telapak tangannya memegang bahuku.  Sapaan "Mami" dan "kopi di akhir pekan" adalah kebiasaan lelaki itu sampai sekarang.  Tidak berubah.

"Pelan-pelan saja.  Minum dulu baru ke kamar mandi.  Aku akan menyiapkan segalanya."  

Suamiku melanjutkan sambil meremas lembut bahuku.  Dia menatap kedalam mataku dan mengerjap sekali, perlahan dan kuat untuk meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.

Aku sudah menyampaikan padanya bahwa pagi itu, aku mendapati bercak-bercak merah di pakaian dalamku saat aku ke toilet.

Sesudah kami semua selesai berkemas, suamiku membawaku ke rumah sakit lengkap dengan koper jika saja aku sudah harus tinggal di rumah sakit.  Seperti kata dokter kemarin.  

Anak pertamaku juga ikut karena dia baru berusia 4 tahun dan di rumah hanyalah kami bertiga.  Ibu dari suamiku atau mertuaku dan iparku tinggal di kota lain, jauh dari tempat kami.

Saat dalam perjalanan kesana, aku mulai merasakan kontraksi halus di perutku. Sesampainya di rumah sakit, aku langsung diperiksa dokter kemudian dia tidak mengijinkan aku kembali ke rumah atau harus tinggal di rumah sakit.

"Biasanya persalinan ke-dua bisa datang dengan cepat." Dokter menjelaskan. 

Aku mendapat kamar untuk satu orang. Hal ini cukup menyamankan sehingga aku bisa bebas bercerita dengan suami dan anakku. 

Saat tengah hari, kontraksi kurasakan menjadi lebih terasa.  Pada sore hari, aku sudah mulai merasa kesakitan.  Dokter yang memeriksaku mengatakan bahwa, aku akan melahirkan bayi dengan bobot besar sehingga dia perlu ruang untuk bergerak.  Mereka juga melihat sejarah kelahiran anakku yang pertama, seberat 4 kg 50 gr.

Malam sudah mulai turun dan suamiku pulang untuk mengantarkan anakku.  Aku sangat beruntung mengenal beberapa ibu yang anak-anak mereka bersahabat dengan anakku di Taman Kanak-kanak. Kami bersahabat baik sekali meskipun aku baru mengenal mereka di sini.  Suamiku akan membawa anakku untuk nginap malam ini ke salah satu dari mereka.  Mereka juga sudah bilang, jika waktu bersalin datang, bel saja pintu rumah mereka, terserah jam berapa, mereka akan membukakan pintu. Diberkatilah mereka!  Sampai saat ini aku dan mereka tetap bersahabat dekat dan sering menikmati kopi-teh sore bersama, jogging atau jalan-jalan sore di ladang, perkebunan apel, atau naik ke bukit perkebunan anggur di desa kami.  Sebelum natal atau saat musim panas.  Kami sering bikin acara kebun.  Mereka suka sekali mie goreng dan perkedel jagung buatanku. Dulu aku sering membuat sate ayam, tapi kemudian tidak lagi.  Sepertinya semua orang di Jerman sudah jadi Vegan.

Setelah kepergian suamiku, aku sendiri di kamarku.  Aku mengerang sendiri tanpa suster di sampingku karena mereka juga harus mengontrol pasien-pasien lain.

Aku merasa lapar tapi seperti tidak ada yang bisa kutelan.  Pada jam 8 malam, aku merasa tambah sakit, kontraksi semakin intens, berdekatan,dan cepat.

Saat suster datang melihat keadaanku, kemudian dia membawaku ke kamar mandi cukup lapang yang ada Bathtub.  Ini memang disediakan untuk terapi air dengan maksud mengurangi rasa sakit.

Air hangat di Bathtub cukup membantuku. Aku tak tahu berapa lama aku di situ, seorang diri.  Suster sesekali datang mengontrol dan mengatakan "kuatlah". Tiada yang bisa kulakukan selain mengerang dan meratap.  Kenapa bayiku belum datang juga.

Sampai kemudian muncul suamiku.  Aku menangis dan di tengah-tengan rintihan tertahan aku berkata "Aku tidak kuat untuk bertahan lebih lama.  Kamu ada di sini, aku akan melahirkan bayi ini sekarang."

Suamiku pergi secepat kilat memanggil suster.

Saat itu, aku sudah tidak menyadari apa yang ada di sekelilingku.  Suster datang dan mencoba membantuku untuk berdiri tapi aku hanya bisa berdiri sebentar saja dan tidak punya kekuatan untuk melangkah keluar dari situ.

Aku duduk lagi perlahan di lantai bak kemudian mengerang sekuat tenaga. 

Anakku datang ke dunia ini.  Dia lahir di dalam air, di dalam Bathtub.

Suamiku ada di sampingku menahan punggungku.  Beberapa suster sibuk di sekitarku.

Mereka mengangkatku keluar dari kamar mandi yang aku sendiri tidak ingat bagaimana caranya.  Tiba-tiba aku merasa dibaringkan di ranjang.

Aku merasa lelah sekali dan sakit sekali sekujur badanku.  Semua kabur dari pandanganku.  Aku melihat suamiku sementara duduk kursi yang ada di dekat ranjang.  Dia bertelanjang dada dan bayi yang baru kulahirkan ada di atas dada dalam dekapannya.  Sesudah itu pandanganku menjadi kabur.  Aku hanya tahu bahwa itu adalah suami dan anak yang baru kulahirkan, tapi emosi tidak ada lagi yang hadir. 

Yang aku ingini hanyalah memejamkan mata.  Tiba-tiba aku merasa tidak sakit lagi, juga di bagian yang paling terasa, perut dan selangkangan.  Rasa sakit itu entah menguap kemana.  Ranjangku terasa sangat lembut.  Aku menutup mata dan terlihat seperti ada cahaya kecil bundar.  Aku merasa berdiri di sebuah lorong.

Tiba-tiba ada perasaan begitu damai dan tenteram.  Aku ingin tidur.

"Frau Matthes...Frau Matthes, bangun, Anda tidak boleh memejamkan mata."

Oh, kenapa suster ini tidak bisa memahamiku.  Aku hanya ingin tidur. Ingin tidur itu saja.

Suster itu masih menampar-nampar pipiku. 

Aku mencoba membuka mataku, terasa berat sekali. 

"Lihat anak Anda ini.  Dia mengangkat bayi-ku ke hadapanku.  Suster itu menampar pipiku supaya aku tetap membuka mata.

"Jangan tidur, buka mata.  Anda harus tetap bangun. Lihat anak Anda.  Dia akan tumbuh menjadi bayi yang tampan."

Rasa dingin mulai menjalar dari ujung kakiku.  Aku menggigil.  Aku tidak paham apa yang orang-orang di sekitarku ucapkan.  Aku tidak ingat lagi apa yang terjadi.  Sampai kemudian aku muntah.

"Bagus sekali...Bagus sekali...." Suster itu berkata saat aku muntah untuk kedua kalinya.

Kemudian dia membawa anak yang baru kulahirkan itu kepadaku.  Dia sangat tampan bukan?! Aku tidak bisa berkata apa-apa, air mata berlinang dari pipiku. 

Suster itu meletakkan bayiku di atas dadaku. 

"Ini bayi laki-laki Anda.  4 kg 100 gram.  Anda tadi kehilangan banyak sekali darah.  Tapi masa kritis sudah lewat. 

Aku mendekapnya dengan sisa tenagaku. Bayiku yang tidak mungil itu.  Ya, dia 50 gram lebih berat dari kakaknya.  Tidak lama aku mendekapnya karena kemudian dia akan dibawa ke ruang bayi karena kondisiku yang masih lemah.

Aku menghabiskan beberapa hari di rumah sakit sampai keadaan cukup pulih untuk kembali ke rumah.  Seperti perantau-perantau lainnya, hanya aku dan suamiku yang berganti-gantian mengurus bayi.

Waktu bergulir begitu cepat.  Kini bayiku itu sudah tumbuh menjadi remaja tampan tahun ini akan berusia 17 tahun.  Seperti suster pernah katakan atau mungkin karena aku ibunya. Bukankah semua ibu melihat anak-anak mereka yang cantik dan tampan?! 

Kami menamainya seperti seorang pemain bek atau pemain bertahan Tim Nasional Sepakbola Jerman kala itu.  Aku berharap dulu dia menjadi pemain bola. Anakku pernah mencoba main bola tapi olahraga itu tidak terlalu cocok dengannya.   Kemudian dia tumbuh menjadi pemain Voli dan pemain musik akkordeon.

Begitulah ceritaku, setiap tanggal 1 Syawal, di saat sahabat-sahabatku dan semua muslim di dunia merayakan Hari Idul Fitri atau "Zuckerfest" dalam bahasa Jerman, aku pun merayakan kelahiran anakku jika diturutkan dalam kalender Hijria.  

"Zuckerfest" atau "Festival Gula" (terjemahan harafiah dalam Bahasa Indonesia) adalah istilah dalam konteks Turki.  Ungkapan ini sudah ada sejak zaman Kekaisaran Ottoman.

Di Jerman banyak orang Turki atau yang berlatar-belakang Turki.  Sebut saja Ilkay Gundogan, Kapten Tim Sepakbola Nasional Jerman (Deutsche Fussballnationalmannschaft).  Dia adalah keturunan ke-3  dari "Gastarbeiter" atau "Pekerja Tamu" Turki yang datang ke Jerman setelah Perang Dunia II. (Artikel saya tentang ini pernah ditulis: Turki di Jerman: Kuliner "Keajaiban Orient" dan Generasi ke-4 Halaman 4 - Kompasiana.com)

Akhir Ramadhan di suatu jalan Frankfurt  khusus
Akhir Ramadhan di suatu jalan Frankfurt  khusus "Happy Ramadhan" (taggeschau.de)

Menurut Yunus Ulusoy, seorang peneliti dari Pusat Studi Turki Essen (zdfheute, 10 April 2024), ada berbagai legenda tentang mengapa Festival Gula digunakan.  Ada yang mengatakan karena berpuasa dan di akhir bulan puasa ada rasa "schukur" menunjukkan bahwa seseorang telah berhasil berpuasa.  

"schukur" berasal dari Bahasa Arab yang berarti "terima kasih".  Selama bertahun-tahun, istilah ini menjadi "scheker", yang berarti "gula".  Dari sinilah istilah "Festival Gula" ini muncul, dalam bahasa Turki "Seker Bayrami". 

"Bayram" atau "Festival" berasal dari Bahasa Utsmaniyah.  Oleh karena itu kata ini digunakan di Turki dan negara-negara bekas Kesultanan Utsmaniyah lainnya seperti Bosnia dan Albania.

Namun, di negara-negara lain di dunia Islam, kata Arab "Idul Fitri" lebih disukai. Di Turki perayaan ini dikenal dengan nama "Ramzan Bayrami".

Awalnya tidak ada hubungannya dengan pembagian permen meskipun bagi Sebagian orang itu berperan: saat berangkat shalat Bayram di pagi hari, biasanya makan sesuatu yang manis-manis terlebih dahulu.

Ada hal yang menarik, karena persahabatanku dengan teman-teman Turki di desa tempatku tinggal maka aku tahu sedikit cerita bahwa ada persamaan antara muslim Turki dan Indonesia.  

Perhatikan ini baik-baik.  Ini bisa menjadi salah satu bahan penelitian kalian yang tertarik studi magister atau doktoral.

Suatu waktu, teman Turkiku bilang bahwa dia akan melakukan acara "Aruwa". Kemudian aku langsung menanggapi, "Oh, memperingati atau acara doa untuk kerabat yang sudah meninggal?".  Dia cukup terkejut karena aku tahu acara itu. Kemudian aku menjelaskan bahwa di Indonesia dimana aku tumbuh dan dibesarkan (kota Gorontalo) ada juga acara seperti itu.  

Dari cerita ini, aku berpikir bahwa bisa saja penyebaran agama Islam di Indonesia berasal dari negara-negara bekas Kesultanan Ustmaniyah, bukan dari negara-negara Arab.

Inilah, sedikit ceritaku di hari "Zuckerfest" dimana keluargaku juga juga punya "Festival Gula" dengan kehadiran si adek  pada 17 tahun yang lalu. 

Khusus bagiku sebagai ibu, aku mamaknai juga hari ini sebagai hari kemenangan atas perjuangan bersalin. Terima kasih kepada Yang Maha Kuasa Sang Pemilik Semesta Alam dan semua pihak yang telah menolongku. 

Selamat Idul Fitri untuk semua sahabat-sahabat Kompasiana.  Semoga Kembali fitri dan dipertemukaan dengan Ramadan berikut.

10 April 2024, Kernen im Remstal (kota kecil dekat Stuttgart),

Salam hangat,

Meike Juliana Matthes

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun