"Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenal sejarahnya." (Ir. Soekarno)
Indonesia adalah bangsa yang memiliki sejarah yang panjang mulai dari jaman dinasti sampai di masa kemerdekaan ini. Lewat telaah historis, kita bisa melihat banyak sekali peninggalan bersejarah baik itu yang bersifat material dan nonmaterial.
Salah satu dari yang bersifat material adalah peninggalan dalam bentuk bangunan. Sebut saja: Candi Borobudur, Candi Prambanan, Lawang Sewu, Klenteng Sam Po Kong, Masjid Demak, Masjid Sunan Ampel, Keraton Yogyakarta, Istana Bogor, dan masih banyak lagi.
Bangunan bersejarah adalah bagian penting dari warisan budaya kita. Mereka mewakili masa lalu, menceritakan tentang nenek moyang kita.Â
Bangunan-bangunan tersebut merupakan titik identifikasi yang memberikan keterkaitan kuat dengan sejarah dan identitas suatu masyarakat.
Mereka berfungsi sebagai tempat kenangan sehingga memberikan kemungkinkan untuk memahami asal-usul kita atau proses yang membawa kita sampai ke masa sekarang.
Oleh karena itu, sangatlah penting untuk menjaga dan melestarikan bangunan-bangunan bersejarah itu sebagai sarana untuk menjaga hubungan kita dengan masa lampau dan memastikan bahwa generasi mendatang dapat menghargai dan belajar dari sejarah tersebut.
Pelestarian bangunan bersejarah bukan hanya menjadi tugas pelestari monument atau bagian pemerintah tapi juga menjadi tugas dan tanggung jawab masyarakat secara keseluruhan. Sayang sekali, ada banyak bangunan yang terlihat terbengkalai atau rusak.
Hal ini haruslah menjadi salah satu bagian yang harus kita semua perhatikan. Seperti bagi Remco Vermeulen, seorang kandidat doktor di Universitas Erasmus Rotterdam yang tertarik pada kondisi bangunan peninggalan era kolonial Belanda di Indonesia. Apakah dalam keadaan terpelihara ataukah terbengkalai dan bagaimanakah perspektif kita dalam melihat atau memanfaatkannya?
Pada tahun 2022 tepatnya di bulan Agustus, saya berkesempatan untuk mengunjungi sanak-saudara saya di Indonesia.
Salah satu tempat yang saya kunjungi adalah kota kelahiran, Manado di Sulawesi Utara. Pembangunan di kota itu sudah jauh berkembang dari saat saya meninggalkannya untuk tinggal di negeri lain. Untuk berjalan-jalan Bendar, sebutan orang Manado untuk Pusat Kota Manado, saya ditemani sahabat saya semasa kuliah, Wanda Saerang. Kami berdua tertarik pada pariwisata, bukan hanya pada obyek wisata alam saja tapi juga pada bangunan-bangunan bersejarah. Mereka bukanlah saksi bisu karena mereka bisa menceritakan banyak hal jika kita memberi waktu dan mengamati.
Pandangan saya tertuju ke 2 bangunan atau lokasi: Minahassaraad dan Kampung Cina Manado.Â
MinahassaraadÂ
Gedung ex-Minahasaraad (sekarang Minahasa Raad) ini terletak di pusat kota Manado, samping tenggara landmark Zero Point Manado, diapit Jl. Sam Ratulangi di sebelah barat dan Jl. Sudirman di sebelah utara, serta di antara Gedung Juang '45 di timur dan kantor pusat Bank Sulut di seberang barat. Gedung tersebut dulunya adalah dewan rakyat di masa kolonial Belanda.
Sejarah mencatat, Minahassaraad atau yang sering diucapkan penduduk "minasarat" adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Minahasa (Minahassaraad, bahasa Belanda dari Dewan Minahasa), dibentuk tahun 1919 oleh Residen Manado F.H.W.J.R. Logeman. Ini tercantum dalam Lembaran Negara Hindia-Belanda 1919 No. 64.
Dengan demikian Minahasa menjadi daerah otonom Hindia-Belanda dengan 16 kis-distrik. Memang tahun 1919 Minahassaraad dan Gemeenteraad (Dewan Kota) Manado dibentuk bersamaan berdasarkan locale raden-ordonnantie. Riwayat gedung Minahasaraad sendiri baru dimulai tahun 1930.
Setelah 10 tahun beraktivitas, dewan memutuskan segera menempati gedung tersendiri. Diputuskan akan dibangun di lahan taman penjara Manado, yakni di depan timur kantor Keresidenan Manado (sekarang kantor pusat Bank Sulut), yang dipisahkan oleh Wilhelminalaan, sekarang Jalan Sam Ratulangi.
Mantan Rektor Unsrat Prof. W.J. Waworuntu, menyebut biaya pembangunan gedung Minahasaraad ini diusahakan oleh Dr. G.S.S.J. RatuLangi (1890-1949). Sebelumnya ia menjadi Sekretaris Minahassaraad tahun 1923-1928.
Waktu jadi anggota Volksraad (antara 1928-1937), ia melobi Sultan Kutai di Kalimantan agar meminjamkan sejumlah uang untuk pembangunan gedung ini.
Sultan langsung menyetujui pinjaman sebesar f 11.000 gulden kepada Minahasaraad dengan syarat pengembalian harus dicicil per tahun 1000 gulden (cicilan ini baru dilunasi 11 tahun kemudian tahun 1930 hingga 1941). Pembangunan gedung dilaksanakan tahun 1930 dan selesai pada tahun 1933.
Kampung Cina ManadoÂ
Disebut demikian oleh orang Manado karena umumnya didiami oleh orang-orang keturunan Tionghoa.
Menurut catatan Sejarah, perantau Tionghoa datang ke Manado dimulai saat bangsa Eropa datang ke tanah Minahasa dengan membawa para pekerja orang Tionghoa. Kampung Cina tidak bisa dilepas-kan dari peran yang dimain-kan pemerintah kolonial ketika mendirikan benteng di tahun 1600-an di seputar pelabuhan Manado sekarang yang mana pekerjanya, diantaranya adalah orang-orang China.
Para tukang ini kemudian membentuk satu perkampungan dekat lokasi benteng yang dikemudian hari disebut Kampung Cina. Kemudian pemerintah Hindia Belanda melakukan penataan pemukiman berdasarkan asal-usul etnis.
Jika dilihat dari kronologis sejarah, Gedung Minahassaraad dan Kampung Cina menunjukan salah satu identitas kota Manado yang berasal dari masa kolonial.
Gedung Minahassaraad, saat saya ingin berkunjung ke tempat itu, saya merasa kecewa. Bangunan ini terlihat tidak lagi terpelihara atau kesannya terabaikan. Bangunan yang pernah menjadi kantor Sam Ratulangi, sorang visioner multimensional dari Sulawesi Utara di masa pemerintahan Sukarno itu, terlihat berpagar tinggi dan saya tidak bisa masuk. Terlihat dari luar keadaannya mengenaskan, cat dinding terkelupas, halamannya tidak terawat. Saya mendengar itu pada beberapa waktu lalu bangunan itu dijadikan musium tapi kesan itu sayang sekali tidak saya dapatkan.Â
Sedangkan untuk Kampung Cina, lokasi di sekitar Kelenteng Ban Hin Kiong dan Kelenteng Kwan Kong terlihat terawat tapi di area di sekitarnya butuh perhatian lebih.
Kampung Cina adalah bagian dari Bendar atau area Pusat Kota Tua Manado. Area Tugu Worang, Taman Kesatuan Bangsa (TKB), kompleks Pelabuhan Manado dan Pelabuhan Wisata Kali Mas yang menjadi jalur masuk ke Kampung Cina terlihat sangat semrawut. Area pejalan kaki banyak yang rusak, juga terdapat genangan-genangan air di banyak tempat padahal bukan musim hujan. Penataan dibutuhkan dalam hal ini.
Jika bangunan-bangunan itu sudah dalam keadaan memprihatinkan maka dibutuhkanlah renovasi.Â
Bagamana cara dalam merenovasi bangunan bersejarah?
Hal penting yang perlu diperhatikan bukan hanya menyangkut pelestarian fisik struktur bangunan, tetapi juga memori budaya untuk menjaga keasliannya dan fungsionalitas yang tepat untuk masa ini.
Seperti perbincangan saya dengan sahabat saya, Wanda Saerang, yang tinggal di pusat kota, tidak jauh dari gedung Minahassaraad.
Menurut kami Gedung Minahassaraad butuh direnovasi kembali, diperbaiki di bagian-bagian yang sudah rusak, dengan tetap dipertahankan bentuk aslinya dan sesudah itu cocok dibuat menjadi "Museum Cafe", apalagi lokasinya yang tepat berada di lokasi pusat, Zero Point.
Barangkali dengan adanya kedai kopi kekinian di dalamnya bisa lebih menarik pengunjung. Bayangkan, sambil menikmati secangkir kopi, pengunjung dapat mempelajari sejarah kota Manado lewat foto-foto sejarah yang digantung di dinding, buku-buku yang disediakan di rak, furnitur, meja, kursi yang bergaya dari masa bangunan itu. Pengunjung akan dibawa masuk dalam suasana Dewan Rakyat Minahasa di masa awal tahun 1900-an.
Hal ini sangat baik dalam proses pembelajaran terutama bagi generasi muda supaya mereka benar-benar bisa menghayati dan meresapi perjuangan pendahulu-pendahulu mereka, pendiri-pendiri kota Manado.
Untuk Kampung Cina atau Pecinan dan sekitarnya, disediakan area pejalan kaki yang lebih nyaman dan kendaraan yang masuk ke daerah itu mungkin dibatasi untuk menghindari kesemerawutan.
Penataan seperti kawasan Kota Tua di Jakarta, kami anggap bisa menjadi contoh. Meskipun sudah tua tapi berdandan rapi, cantik, dan necis akan terlihat lebih menarik apalagi karena sejarah di balik itu.
Lokasi Pecinan dan Bendar ini jika berhasil ditata dengan baik maka akan menjadi salah satu lokasi wisata utama. Tempatnya berdekatan dengan pelabuhan Manado tempat penyeberangan kapal-kapal yang membawa wisatawan ke Taman Laut Nasional Bunaken dan bertetangga dengan Kampung Arab menjadikannya modal yang sangat besar dalam pengembangan pariwisata.
Sangat diharapkan Pemerintah melalui Dinas Pariwisatanya harus mampu menciptakan image/ikon wisata yang dapat membuat wisatawan tinggal lama di Manado.Â
Bayangkan, kota Manado akan mempunyai ikon wisata, kawasan yang tertata apik, bersih, dengan julukan "Golden Triangle": Pelabuhan Manado, Pecinan, dan Kampung Arab. Pariwisata sejarah dan simbol keselarasan kehidupan majemuk di Kota Manado.
Bagi pengunjung kota Manado, memulai harinya dengan minum kopi di Museum Cafe Minahasaraad sambil belajar sejarah kota Manado kemudian menyusuri kawasan Kota Tua Manado, Manado Golden Triangle. Dipastikan mereka akan memiliki hari yang indah.
Secara keseluruhan diharapkan agar penataan dan renovasi bangunan bersejarah dilakukan untuk menghormati masa lalu dengan membawanya ke masa kini.
Keseimbangan yang cermat antara pelestarian dan modernisasi dapat membantu memastikan bahwa bangunan bersejarah tidak hanya dilestarikan untuk generasi mendatang, namun juga terus ada sebagai bagian yang dinamis dan relevan dalam kehidupan berbudaya.
Tidak ada yang salah dengan memulai yang baru tapi alangkah eloknya jika kita pun memelihara yang sudah lama.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya termasuk menghargai bangunan-bangunan bersejarah yang ada di dalamnya.
***
Referensi:
https://minahasaku.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H