Bertahun-tahun aku meyakinkan diri bahwa aku sudah beranjak dari hatimu.  Tapi kedatanganku di benua ini bagai membuka luka lama. Aku tak akan lupa teleponmu, Senja, di hari itu, di pukul 2 siang lebih sedikit.Â
"Pram, jangan lagi mencari atau menungguku. Â Aku besok akan meninggalkan Indonesia. Â Aku..."
Lirih ucapanmu menggantung, selirih bisikanmu yang pernah akrab di telingaku.
"Pram, aku sudah menikah."
Aku berasa mati meskipun toh masih hidup sampai saat ini.
Ini adalah tahun yang ketujuh sejak telepon itu.Â
Kurapatkan syal berwarna gelap dan bermotif kotak-kotak yang melingkar di leherku. Â Warna pohon keemasan karena daun-daunnya yang sudah menguning dan hembusan dingin angin musim gugur di bukit Montmartre menghidupkan kembali semua kenangan juga masa-masa indah yang pernah kita lalui bersama sejak curi-curi pandang sampai awal kedekatan kita.Â
Di kotamu empat belas tahun yang lalu.  Di warung telekomunikasi. Â
Terberkati aku! Â Hatiku berdegup melihatmu di sana, sore itu.Â
Aku menyambutmu tersenyum saat kamu keluar dari bilik telepon dan kamu membalasku dengan senyuman rikuh karena merasa dari tadi kuperhatikan.
Beberapa saat kita lewati dengan saling tatap, senyum malu-malu, dan salah tingkah.Â
Biasanya aku hanya bisa melihatmu saat kamu lagi sedang berkerja. Â Ini adalah kesempatan bagiku.
"Ehm...Sudah nelponnya?" Aku memberanikan diri untuk membuka percakapan.
"Oh, eh...belum." Â Kamu tersenyum menggeleng. "Bapakku masih harus dipanggil. Â Aku menelpon ke tetangga, nggak ada telpon di rumahku dalam lima menit aku nelpon lagi, biar nggak mahal," lanjutmu kemudian.
Hanya ada senyum di antara kita tanpa ada kata-kata, tapi aku menunggumu sampai kamu selesai menelpon kemudian menyertaimu sampai keluar wartel.Â
Kita berdua berdiri disana, kikuk, menatap kendaraan yang berseliweran di jalan raya dan menikmati hingar-bingar musik yang berasal dari mikrolet. Â Aku ingin sekali mengajakmu berjalan-jalan menghabiskan sisa hari itu, tapi entah kenapa keberanianku menguap entah kemana yang aku bisa lakukan hanyalah tetap terus memandangmu.
"Ehm..Semoga tidak ada yang salah denganku." Â Kamu berucap memecah kekikukan.
"Oh, ehm... nggak-nggak. Â Haha..." Aku tertawa mendengar pertanyaanmu. Â "Nggak kerja hari ini?"
"Nggak, jadi waktu kupakai buat nelpon bapak dan ini juga baru selesai bikin fotokopi tugas-tugas kuliah," jelasmu sambil mengangkat sedikit tas yang kau jinjing.
"Kamu, nggak kerja?"
"Nggak, proyekku sudah selesai. Â Sekarang lagi menunggu penugasan baru. Â Dari sini kamu mau kemana?"
"Mau ke Matahari. Â Sabun dan shampoku sudah habis," jawabmu ringan. Â "Tapi sebelum itu mau ke Gramedia dulu. Â Hehe....liat-liat aja, belum gajian. Â Meski nggak beli, tapi sudah senang liat buku," lanjutmu lagi. Â Hal yang aku tahu kemudian bahwa kamu suka sekali membaca.
"Ehm..."  Aku masih tetap menatapmu.  Oh, mengapa?! Aku ingin sekali mengajakmu jalan-jalan di sore itu tapi, tiada kata yang bisa aku ucapkan.
Kamu memperhatikanku, mungkin cukup geli melihat sikapku.
"Ehm...kalau kamu juga mau belanja, kita bisa pergi bareng." Â Kamu tersenyum kecil saat mengucapkannya.
Hanya Tuhan yang tahu apa yang aku rasakan. Â Hatiku bersorak!
"Aku nggak perlu belanja tapi kalau untuk nemenin kamu boleh nggak?"
"Hahaha....kamu lucu." Â Kamu tertawa berderai. Â Aku suka itu. Â Sejak saat itu, aku menghabiskan dua minggu tersisa di kotamu dengan tidak sekedar lewat curi-curi pandang. Â Aku mengajakmu makan siang dan menunggu saat kamu pulang kerja.
*
Paris, kota cinta.
Aku tiba kemarin di kota ini dengan beberapa kawan dari Eindhoven. Â Menghabiskan waktu luang sebelum balik ke Indonesia. Â Kota ini selain menjanjikan banyak spot bagi kameraku juga tidak jauh dari negara tempat kamu tinggal. Â Aku ingin menantimu di sini.
Tak terasa 237 anak tangga sudah kutapaki, membawa diriku sampai ke puncak bukit Montmartre, meninggalkam jalan kecil yang diapit oleh toko-toko kecil yang menjual berbagai pernak-pernik suvenir juga kedai yang menjual minuman hangat.Â
Kini aku berdiri di pelataran Basilika Hati Kudus, Sacre Cour dengan taman cantik di depannya, Square Louise Michel.
Indah nian pemandangan dari tempat ini.  Aku membuka lensa Nikon yang selalu setia menemaniku.  Membuat beberapa kali jepretan untuk mengambil gambar kota Paris yang ada di bawah sana.  Begitu menawan dengan Champ-Elysees, Place de la Concorde, Louvre, Eiffel Tower, dan Notre Dame.  Kecantikan kota yang sudah terbentuk sejak ratusan tahun yang lalu.  Aku mengalihkan pandanganku juga ke atas menara gereja tempat lonceng, Savoyarde berdentang.  Kesana pun kubidikkan arah lensa kameraku.
Pemandangan dari pelataran ini membuatku merasa tak ingin turun lagi.Â
Tapi tidak! Â Keelokan tempat ini tak akan membuatku berlama-lama di sini. Â Aku akan turun kebawah untuk menantimu di tepian sungai, merasai kau ada di sisiku.
Menatap bangunan gereja putih ini dari luar, bagaikan mengisi ruang tentangmu di hatiku saat ini. Â Aku merasa sedang bersamamu seperti dahulu. Saat aku mengantarmu ke gereja putih lain di kotamu, lalu aku akan setia menunggumu di luar sampai kamu selesai ibadah.
Aku menutup lensa kamera dan berjalan memutar bangunan gereja. Â Ternyata bukan hanya bagian depan gereja ini saja yang cantik tetapi bagian belakangnya pun. Â Di situ terdapat berbagai restoran besar dan kedai kecil dimana turis bisa mencicipi hidangan khas Montmartre, seperti Crepes, Croque-monsieur (roti panggang isi keju dan ham), atau Quiche (pai isi telur dan keju). Â Ada juga berbagai toko dan kios yang menjual barang-barang unik dan menarik, seperti buku-buku bekas, barang-barang antik, perhiasan buatan tangan, atau suvenir-suvenir.
Segulung Crepes dan secangkir Cafe au lait sudah cukup bagiku.  Setelah itu, aku menuruni bukit menuju Rue de l`Aubrevoir.  Jalan kecil berkelok di lereng Montmartre, jalan yang paling mempesona di kota ini.  Jalan ini jauh dari kesan modern, aku serasa berada di film kuno Eropa  Segalanya bagai motif kartu pos: batu-batuan, lampu jalan, rumah-rumah yang cantik dengan dindingnya ditutupi tanaman Ivy.Â
Aku tiba di ujung jalan, kubah Sacre Cour terlihat menyembul di antara pohon yang daun-daunnya berwarna merah marun. Â Aku menjepret beberapa kali kemudian melanjutkan perjalananku menikmati keindahan lainnya menuju arah Moulin Rouge.Â
Dari rumah merah muda Maison Rose, aku berjalan melewati Dalida, patung perempuan yang bagian dadanya sudah luntur.  Menurut legenda jika menyentuh bagian patung itu, akan membawa keberuntungan.  Aku cukup tergoda untuk melakukannya, mencoba peruntunganku hari ini  tapi, aku urung melakukannya.
Dari tempat itu, aku ke arah Rue Girardon, di jalan itu ada patung lelaki yang menyembul dari dinding.  Dari situ aku melewati restoran kelas atas Moulin de la Galette sambil menebak-nebak harga makanannya, tapi kemudian aku teringat akan Rumah Makan Padang yang kita singgahi setelah kau menjemputku di bandara sewaktu aku tiba atau tepatnya pindah ke kotamu.  Setahun setelah kita menjalin LDR, hubungan jarak jauh yang begitu menyiksaku.
"Kamu laki-laki, Pram. Â Kenapa bukan dia yang kesini!" Suara menggelegar ayahku saat mengetahui keinginanku untuk pindah ke kotamu kala itu.
Tiada Senja, tiada orang yang bisa menghalangiku untuk bertemu denganmu. Â Â
"Bapak, dia tidak bisa ke sini. Â Dia masih kuliah dan dia bekerja juga di sana." Â Aku berusaha menjelaskan ke ayahku.
"Dia bisa juga melakukannya di sini." Â Suara keras bapakku masih jelas di benak.
Aku melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Â Masih cukup waktu. Â Aku ingin berada di pusat kota Paris sebelum senja tiba. Â Di suatu tempat di sisi sungai yang aku sebutkan padamu. Â
Dari Moulin de la Galette, aku berjalan ke arah Place Emile-Goudeau. Â Di situ ada kafe cantik yang menurut cerita, menjadi tempat nongkrongnya Van Gogh, Picasso, dan Dali di masa mereka.
Aku duduk sebentar di sini, di bangku dekat air mancur Wallace sambil membuka telepon seluler.  Ada pesan dari Heru, teman sekerjaku yang mengabarkan tentang tiket kereta kami ke Schipol besok.  Kemudian aku tergoda untuk membuka kembali obrolan-obrolan kecil kita seminggu terakhir ini yang telah kubaca,lagi, dan lagi.
[Kamu ngapain aja hari ini?]
[Kerja, kamu?]
[Sama, kerja juga.]
[Dingin nggak di sana?]
Aku sadar bahwa rasa itu belum usai.
Jam di ponsel menunjukan hampir pukul 4 sore. Â Aku melanjutkan perjalananku melewati minimarket Marche de la Butte-Maison Collignon, tempat belanja yang terkenal lewat film romantis tentang seorang pelayan Amelie Poulain. Â Dari situ, aku berjalan ke arah Rue la Vieuville masuk ke Place des Abbeses dimana terdapat Le mur des je taime atau Tembok Cinta yang bertuliskan "Aku Cinta Kamu" dalam lebih dari 300 bahasa. Â Ada banyak pasangan yang antri untuk berfoto di depan tembok itu.Â
Dari situ, aku melewati "Jalan Seni" Rue Veron.  Jalan dengan dinding-dinding rumah yang dihiasi lukisan.  Tidak jauh dari situ, aku tiba di Moulin Rouge, bangunan berkincir merah, tempat banyak orang berkumpul untuk menikmati pertunjukan kabaret spektakuler, "Feerie".  Dari sini aku naik bis yang akan membawaku ke pusat kota Paris.  Aku akan menunggumu di sana.
Setelah tujuh tahun, akhirnya kita bisa bertemu kembali meskipun itu hanya lewat online. Â Ada sulur-sulur rasa bahagia merambat di relung-relung hatiku juga sendu yang bisa aku nikmati perihnya.Â
Bukankah dirimu, Senja?! Yang telah mengajarkan bahwa cinta bisa diterjemahkan ke dalam banyak hal.
Aku tidak pernah tahu arti cinta sampai aku bertemu kamu. Perpisahan kedua orang tuaku saat aku masih kecil meninggalkan jejak di hidupku. Â Tanpa saudara seibu-seayah membuatku tak bisa berkeluh-kesah dengan orang lain. Â Kemudian kamu hadir dalam hidupku bagai butiran embun, menyejukkan pagiku. Â Bak mentari mewarnai hari-hariku atau bintang yang menghiasi mimpi-mimpi malamku. Â Kau telah datang menghangatkan sanubariku.
Aku belum pernah merasa sebahagia saat itu. Â Aku sadar bahwa ada perbedaan di antara kita tapi, siapa peduli!
Di suatu sore kau berkata, "Pram, mengapa ada perbedaan?...Bagiku Tuhan mencintai semua ciptaan-Nya. Â Dia menurunkan hujan dan memberi sinar matahari bagi kita semua. Â Manusialah yang terkadang menciptakan sekat yang terlalu berlebihan."
Aku hanya bisa menggenggam jemarimu kala itu. Â Senja, aku mencintaimu sungguh...dengan semua yang kau pikirkan tentang makna hidup dan dunia ini.Â
Perpisahan kita sungguh suatu ironi. Â Waktu-waktu yang kita sulam terjerat asa tanpa ada jawaban. Â Kita terjebak dalam labirin tawa dan airmata yang kita tiada ketahui ujungnya dengan suatu kompleksitas nyata yang tidak kita benar-benar sadari sebelumnya.
Bias keemasan sudah nampak di langit saat aku turun dari bis di halte dekat Louvre. Â Pilar-pilar bergaya Gothic dan Piramida di depan museum ini menjadi saksi bahwa kenangan indah tentang dirimu yang tetap mengalun dalam rasaku.
Aku melangkah dalam kesunyian dan keterasingan di negeri ini, menyeberangi lampu lalu-lintas ke arah Pont Neuf kemudian duduk di tembok pembatas, di sisi sungai Seine. Â Tatapanku mencari wajahmu di antara orang-orang yang lalu-lalang.Â
Senja, sebentar lagi matahari akan tenggelam dan menara Eiffel akan berpendar.  Aku  ingin berada di sisimu meski sesaat saja.  Kamu yang pernah memberiku cinta yang begitu tulus.  Sebentuk cinta yang pernah kucari.Â
Sang bayu berhembus di tepian sungai dan di jalan-jalan kota, dingin merayapi tubuhku.  Kurindui rambut panjangmu yang menebarkan wangi aroma Sun-silk.  Kulihat sekeliling terus mencari bayangmu di sana.  Sehelai daun kering jatuh merias sepiku. Bias jingga di cakrawala perlahan memudar.  Kubisikkan namamu pada warna ungu yang mulai membentang.
Kenapa sudah jam begini kamu belum juga muncul? Â Sebentar lagi kerlap-kerlip menara Eiffel akan mendandani malam. Â Aku ingin menikmatinya bersamamu, Senja.
Aku ingat novel yang kamu baca, The Moveable Feast, mengenai Ernest Hemmingway dan Paris-nya. Â Kamu pernah bercerita itu padaku di suatu sore tentang gang-gang sempit dan kafe-kafe kecil yang bertebaran di kota ini. Â Ini aku, ada di sini saat ini. Â Aku ingin menyusurinya bersamamu dan duduk di suatu kafe kecil dengan lampu temaram sambil aku menatap sinar syahdu matamu dan bergelung di dalamnya.
Oh, Senja.  Dimana kamu? Aku membuka sekali lagi pesanmu yang terakhir.  Terpaan angin di Pont Neuf menampar lembut wajahku.
[Pram, maafkan aku...] Â Â
Senja, tak tahukah kau bahwa kehangatan cinta yang pernah kau berikan, membelengguku. Biarkan aku tetap di sini merasai kehadiranmu.
[Pram, kamu tahu...kamu pernah ada di saat lelahku, dalam bingkai senyumku, dan banyak hal yang pernah kita lewati. Â Kamu selalu punya tempat di hatiku.]
Senja, aku masih di sini menatap lembayung yang begitu kau kagumi. Â Perlahan dia datang menghiasi langit, merenda kesepian di hatiku.
Saat ini, kala senja luruh di tepi sungai Seine.
Kernen im Remstal, 12 November 2023
Meike Juliana Matthes
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H