Mohon tunggu...
Meike Juliana Matthes
Meike Juliana Matthes Mohon Tunggu... Freelancer - Mencintai alam, budaya, dunia literasi, dan olahraga

Menghargai perbedaan

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Sahabatku yang Berumah Triplek itu, Jadi Professor

13 Oktober 2023   14:11 Diperbarui: 13 Oktober 2023   19:08 2623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karmila di antara sahabat-sahabat semasa SMA (Foto: Hedy Tome)

Bagi Karmila Machmud, tiada mimpi yang terlalu besar dan Allah akan membukakan jalan bagi hamba-Nya yang memiliki niat-niat baik dan tak putus-putusnya berusaha.

Hari ini, aku bangun lebih awal dari biasa.  Di luar jendela, langit nampak kelabu, karakter alam yang sudah biasa nampak di musim gugur.  Sementara sarapan, aku membuka aplikasi Facebook, mencari siapa tahu di antara sahabat-sahabatku ada yang memposting berita tentang sahabatku, Karmila atau Mila sebagimana dia biasa disapa.

Tak perlu waktu waktu lama untuk mencari, aku menemukannya di sana.  Ada beberapa foto tapi aku memilih untuk melihat  video siaran langsung dari seorang sahabat yang sudah disiarkan beberapa jam sebelumnya.  Tapi karena perbedaan waktu antara Jerman dan Indonesia maka aku baru bisa melihatnya saat aku bangun pagi ini.

Di sana, di atas podium berdiri sahabatku.   Di balik meja tinggi kecil,  dia sedang memberikan orasi ilmiah.  Aku tidak memperhatikan isi orasinya itu karena tiba-tiba ada yang hangat di kelopak mataku.  Tak terasa yang hangat itu menggantung kemudian meleleh membasahi sudut-sudut mataku.  Dia adalah sahabat baikku, Karmila Machmud dalam acara Peneguhan Guru Besar Universitas Negeri Gorontalo.

Anganku kembali pada tahun-tahun yang silam mulai dari saat kami mengenakan rok merah ke sekolah.  Aku mengamatinya untuk pertama kali saat Acara Lomba Cerdas Cermat tingkat Sekolah Dasar di Kotamadya Gorontalo (saat itu Gorontalo masih dengan sebutan Kotamadya dan masih menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi Utara).  Kami sama-sama mewakili sekolah kami masing masing dalam acara lomba itu.  Saat itu kami belum bersahabat.  Kemudian anganku berpindah ke saat kami sudah berseragam putih-abu-abu, saat menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Atas.  Kami bersekolah di tempat yang sama dan juga di kelas yang sama.

Semasa SMA, Ujian Akhir Praktek Kimia (Foto: Dokumen pribadi)
Semasa SMA, Ujian Akhir Praktek Kimia (Foto: Dokumen pribadi)

"Ke, jangan diperhatikan ya...rumahku dari triplek."  Mila berkata di suatu siang dengan maksud agar jangan sampai aku kaget di sore hari saat berkunjung ke rumahnya.  Sore itu aku berencana untuk datang ke rumahnya  untuk meminjam buku.   Saat di SMA, aku malas sekali mencatat dari papan tulis, maka aku seperti berlangganan pinjam buku dari kawan-kawan sekelas.

Mataku masih ke layar Handphone sambil mengambil sehelai tissue untuk menghapus tetesan di sudut mataku.  Aku bangga pada sahabatku yang pernah menjadi anggota Paskibraka itu dan aku tidak akan bangga diam-diam. 

Mendekati hari kelulusan, kami sering membahas tentang apa yang ingin kami lakukan selepas SMA.  Mila berkata kepadaku, "Ke, Mila ingin sekali jadi dokter."  Kalimat itu sering dia ucapkan dengan tatap mata yang sama, penuh kesenduan.  Sesudah itu dia akan melanjutkan, "Ke, bapakku hanyalah pegawai kecil di perpustakaan.  Dia ke tempat kerjanya naik sepeda."

Tiada yang bisa kuucapkan tapi aku mendengar.

"Ke, kalau aku jadi dokter, aku mau ambil spesialisasi anak."  Dia melanjutkan.  Kalimat ini selalu diucapkannya dengan senyum terukir di bibir seperti dia sudah membayangkan bahwa dia telah menjadi seorang dokter spesialis anak dengan steteskop tergantung di dadanya dan sementara memeriksa seorang anak kecil yang lagi duduk di dipan.  Tapi sesudah mengucapkan kalimat yang menyenangkan hatinya itu kemudian wajahnya berubah saat menyadari bahwa orang tuanya tidak mampu untuk itu. 

Siapa yang tidak tahu bahwa untuk kuliah di kedokteran perlu biaya besar manalagi tidak ada Fakultas Kedokteran di kota Gorontalo kala itu.

Selanjutnya percakapan kami dengan tema yang sama itu akan ditutup dengan kalimat dari dia, "Ke, senang ya jika kita bisa bersekolah kemana kita mau."  Aku menjawab dengan anggukan sedih karena aku pun saat itu sedang memikirkan kelangsungan pendidikanku karena aku baru saja ditinggal oleh ibuku sebagai penopang ekonomi keluarga.  Pembicaraan yang bersifat ratapan itu menjadi konsumsi kami di waktu senggang.

Di tahun 90-an saat kami menamatkan SMA, kota Gorontalo belum menjadi provinsi seperti sekarang dan hanya ada satu perguruan tinggi di sana yaitu Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Pendidikan.

Hal ini membuat Mila yang tidak punya biaya untuk berkuliah di kota lain,  memupus cita-cita utamanya untuk jadi dokter dengan mendaftar di perguruan tinggi tersebut.

Masa depan adalah misteri.  Kita tiada pernah tahu apa yang ada di depan kita. 

Mila tetap tinggal di Gorontalo dan aku selepas SMA pindah ke Manado.  Seperti sahabat-sahabat kami yang lain, kami adalah anak muda yang penuh semangat untuk mencapai impian kami.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun pun berganti.

Waktu itu keadaan tidak seperti sekarang dimana komunikasi bisa dengan cepat lewat berbagai aplikasi yang tinggal di-download di telepon genggam.  Kami bertemu Kembali setelah beberapa waktu terpisah.  Kami bertemu di Manado tepatnya di hotel tempatku bekerja sebagai resepsionis dan pemandu wisata.  Aku bekerja di sana untuk menopang kehidupan aku dan kakakku dalam hidup dan berkuliah.  

"Bagaimana keadaan sekarang, La?"

"Alhamdulillah, Ke.  Mila harus secepat mungkin selesai.  Mila berencana mengurus beasiswa untuk studi Master di Australia."

Mila menemaniku bercakap-cakap saat aku bekerja.  Dia berdiri di depan meja resepsion di lobby hotel.  Kami mengobrol di sela-sela aku menerima tamu-tamu hotel dan memberi penjelasan kepada wisatawan-wisatawan asing yang mau ke Taman Nasional Bunaken.

Sesudah pertemuan itu aku mendengar bahwa perjuangan Mila untuk mendapat nilai terbaik dan mencari program beasiswa dengan referensi yang dibutuhkan, membawa hasil.  Pada tahun 2002, dia memperoleh beasiswa Australia Development Scholarship kemudian Australian Government Fulbright Presidential Scholarship untuk menyelesaikan program Pasca Sarjana-nya di The University of Sidney.

"Ke, anakku kunamakan, Zidny.  Kenang-kenangan saat menempuh Pendidikan di Sidney."  Mila menceritakannya kepadaku.

Waktu terus bergerak tanpa menunggu.  Aku pun dengan kisahku yang mengantarkanku ke negeri dengan empat musim.

Masa pun berubah, dulu kami hanya bisa bertemu lewat tatap muka maka di tahun 2009 kami bisa dihubungkan dengan kemajuan teknologi.  Kami tetap sebagai sahabat yang suka bercakap-cakap dan saling berbagi.  Bedanya, dulu saat kami menyelesaikan pendidikan sarjana, Mila yang menemaniku bercakap-cakap di lobby hotel.  Tapi di tahun itu, akulah yang menemani dia bercakap-cakap jarak jauh lewat layar laptop.  Dia di Ohio, USA dan aku di Jerman.  Aku masih ingat saat aku bangun pagi-pagi sekali karena perbedaan jam untuk menemani dia yang bekerja paruh waktu di perpustakaan universitas Ohio.

Di masa itu, tepatnya di tahun 2007-2011, Mila sedang menyelesaikan Program Doktoral-nya di Ohio University.  Dia berhasil menggondol beasiswa dari Fulbright (Congress of The USA) The Outstanding Excellence in Education oleh School of Education, Ohio University.

Ya...aku ingat semua itu, percakapan kami tentang suka-duka, canda dan tawa yang menghiasi hari-harinya di Ohio juga  ada banyak hari yang dilewatinya dengan airmata.  Sendiri di negeri orang.  Hanya berharap dari beasiswa, bekerja paruh waktu, terpisah dari keluarga, anak dan suami juga ibunya yang sudah mulai sakit-sakitan.  Belum ditambah masalah administrasi ini dan itu yang pengurusannya tidak mudah dan perlu waktu untuk dirampungkan di sela-sela penyelesaian studi.  "Pantang menyerah," adalah Password.

Di suatu masa yang penuh derai airmata, aku menulis, "Mila, there is no White Flag," dan dia menjawab , "No.  There is no!"  Kemudian aku mengirimkan lagu "White Flag" dari Dido lewat aplikasi Facebook.  Lagu yang meskipun tidak cocok tapi punya judul yang tepat untuk memberi semangat.

Hari-hari yang dilaluinya tidak selalu disinari cahaya Mentari, ada mendung dan hujan.  Mungkin banyak yang hanya melihat dari luar akan berkata, "Coba lihat si Mila, senang ya dapat beasiswa, sekarang ada di Amerika."  Betulkah? Apakah kehidupannya senang seperti yang digambarkan banyak orang tentang S3 di luar negeri. 

Ada saat-saat dimana dia merasa sendiri bagaikan segelas kosong.  Tapi dia tidak membiarkan gelas itu tetap kosong dan hampa.  Dia berusaha mengisinya perlahan-lahan dengan semua pengalaman-pengalamannya dengan ilmu yang dia dapatkan.  Aku tidak melihat langsung airmatanya tapi aku bisa merasakannya. 

Oh...Mila sahabatku, betapa kau kuat.  Aku tidak akan diam-diam soal ini.  Aku tahu seperti yang kau ceritakan bahwa di beberapa waktu sebelumnya, hatimu sangat-sangat berduka di saat ayahmu pergi meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya disaat kamu merasa belum cukup menghadiahinya dengan kebanggaan.

"Dad, it is your daughter."

Betapa bangganya aku melihat perjuangan sahabatku ini.  Saat dia lulus mendapat titel Doktornya, aku mengirimkan kejutan, bunga mawar dan sekotak coklat ke Ohio lewat Ekspedisi Fleurop.

Pagi ini, setelah bertahun-tahun lewat, aku mendapat kabar bahwa acara peneguhan guru besar atau professor yang diperolehnya sejak tahun 2020 akhirnya bisa dilaksanakan.  Aku membuka kembali undangan yang dia kirimkan padaku, dengan kalimat penyerta. 

"I wish you were here."  

Di undangan itu tertulis "Sidang Senat Terbuka.  Dalam Rangka Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar Universitas Negeri Gorontalo."  

Begitu ingin aku berada di sana, melihat sahabatku dikukuhkan menjadi guru besar, berada bersama orang-orang lain yang begitu mencintainya.  Bersama sahabat-sahabat kami yang lain yang juga telah mengarungi hidup ini sejak kami masih remaja belia sampai di usia yang tidak terlalu muda lagi.  Aku melihat mereka semua berpose di sampingmu.  Ada guratan-guratan tipis yang kulihat membuat sahabat-sahabatku ini terlihat begitu cantik atas banyak hal, pahit-manis kehidupan yang sudah dilewati.

Karmila di antara sahabat-sahabat semasa SMA (Foto: Hedy Tome)
Karmila di antara sahabat-sahabat semasa SMA (Foto: Hedy Tome)

Mila, kamu sudah membuat kami bangga, keluargamu juga ayahmu yang meskipun saat ini dia tidak ada terlihat di sampingmu tapi dia akan selalu hidup di dalammu, lewat ajaran, didikan, dan nasehat-nasehatnya.   Adalah juga doa terdapat di sana dari ibu dan ayah juga motivasi dari orang-orang yang begitu mencintaimu. 

Semoga ada anak-anak muda di luar sana yang membaca tulisan ini,  bisa mencontoh sahabatku, Karmila Machmud yang sekarang telah menjabat sebagai Wakil Rektor Bidang Perencanaan, Kerjasama dan Sistem Informasi di Universitas Negeri Gorontalo atas perjuangannya dari ketiadaan, dengan orang tua yang hidup sangat sederhana dengan ayahnya sebagai pegawai kecil perpustakaan dan ibunya yang berjualan nasi di pasar.  Tapi hal itu tidak memupuskan semangat yang ada di dalam dada untuk menggapai impian. Perjuangannya menunjukan bahwa proses belajar bukanlah hal yang sulit dan tidak mungkin.  Hari akan berganti sampai pada suatu saat jika tiba masanya, proses yang sudah dilewati itu akan berbuah manis.

Lihatlah alam semesta yang akan terlihat lebih segar setelah melewati hujan.  Ada mendung dan hujan yang harus dilewati supaya akhirnya bisa melihat Pelangi.  Laluilah hari-hari sambil menatap masa depan.  Tiada yang tahu apa yang ada di depan tapi dengan berjuang dan mengaminkannya dalam hati dan lewat tindakan juga semangat juang maka tiadalah mimpi yang terlalu besar.

Seperti bagi Karmila Machmud, tiada mimpi yang terlalu besar dan Allah akan membukakan jalan bagi hamba-Nya yang memiliki niat-niat baik dan tak putus-putusnya berusaha. 

Kehidupan akan terasa lebih indah setelah melewati perjuangan.   

Carilah maka kamu akan mendapatkan.  Ketoklah maka pintu akan dibukakan.  

Selamat atas peneguhan sebagai Guru Besar buat sahabat baikku, Prof. Karmila Machmud, S.Pd., M.Si, Ph.D.  Ternyata dibalik cerita kehidupannya yang tidak jadi dokter, ada karya besar rencana Tuhan dalam kehidupannya yang diamini oleh Karmila dalam menggapai rencana itu.  

Semoga ilmunya bermanfaat bagi bangsa dan negara khususnya bagi Kota Gorontalo dan Universitas Negeri Gorontalo.

Kernen im Remstal, 12 Oktober 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun