Bagi Karmila Machmud, tiada mimpi yang terlalu besar dan Allah akan membukakan jalan bagi hamba-Nya yang memiliki niat-niat baik dan tak putus-putusnya berusaha.
Hari ini, aku bangun lebih awal dari biasa. Â Di luar jendela, langit nampak kelabu, karakter alam yang sudah biasa nampak di musim gugur. Â Sementara sarapan, aku membuka aplikasi Facebook, mencari siapa tahu di antara sahabat-sahabatku ada yang memposting berita tentang sahabatku, Karmila atau Mila sebagimana dia biasa disapa.
Tak perlu waktu waktu lama untuk mencari, aku menemukannya di sana.  Ada beberapa foto tapi aku memilih untuk melihat  video siaran langsung dari seorang sahabat yang sudah disiarkan beberapa jam sebelumnya.  Tapi karena perbedaan waktu antara Jerman dan Indonesia maka aku baru bisa melihatnya saat aku bangun pagi ini.
Di sana, di atas podium berdiri sahabatku. Â Di balik meja tinggi kecil, Â dia sedang memberikan orasi ilmiah. Â Aku tidak memperhatikan isi orasinya itu karena tiba-tiba ada yang hangat di kelopak mataku. Â Tak terasa yang hangat itu menggantung kemudian meleleh membasahi sudut-sudut mataku. Â Dia adalah sahabat baikku, Karmila Machmud dalam acara Peneguhan Guru Besar Universitas Negeri Gorontalo.
Anganku kembali pada tahun-tahun yang silam mulai dari saat kami mengenakan rok merah ke sekolah. Â Aku mengamatinya untuk pertama kali saat Acara Lomba Cerdas Cermat tingkat Sekolah Dasar di Kotamadya Gorontalo (saat itu Gorontalo masih dengan sebutan Kotamadya dan masih menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi Utara). Â Kami sama-sama mewakili sekolah kami masing masing dalam acara lomba itu. Â Saat itu kami belum bersahabat. Â Kemudian anganku berpindah ke saat kami sudah berseragam putih-abu-abu, saat menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Atas. Â Kami bersekolah di tempat yang sama dan juga di kelas yang sama.
"Ke, jangan diperhatikan ya...rumahku dari triplek."  Mila berkata di suatu siang dengan maksud agar jangan sampai aku kaget di sore hari saat berkunjung ke rumahnya.  Sore itu aku berencana untuk datang ke rumahnya  untuk meminjam buku.  Saat di SMA, aku malas sekali mencatat dari papan tulis, maka aku seperti berlangganan pinjam buku dari kawan-kawan sekelas.
Mataku masih ke layar Handphone sambil mengambil sehelai tissue untuk menghapus tetesan di sudut mataku. Â Aku bangga pada sahabatku yang pernah menjadi anggota Paskibraka itu dan aku tidak akan bangga diam-diam.Â
Mendekati hari kelulusan, kami sering membahas tentang apa yang ingin kami lakukan selepas SMA. Â Mila berkata kepadaku, "Ke, Mila ingin sekali jadi dokter." Â Kalimat itu sering dia ucapkan dengan tatap mata yang sama, penuh kesenduan. Â Sesudah itu dia akan melanjutkan, "Ke, bapakku hanyalah pegawai kecil di perpustakaan. Â Dia ke tempat kerjanya naik sepeda."
Tiada yang bisa kuucapkan tapi aku mendengar.