Hehe....aku kan dulu kerja paruh waktu di kapal-kapal AIDA yang singgah di sini. Â Jadi gini, Mbak, pekerjaan di kapal AIDA adalah salah pekerjaan yang paling aku suka di masa itu. Walau sejujurnya memang sangat lelah, tetapi, dari situ aku belajar untuk menghargai pekerjaan sekecil apapun. Kala itu, aku harus datang pagi-pagi, lalu kami berkumpul untuk absensi dan dibagi kertas. Kertas tersebut berisikan nomor-nomor kamar yang harus kami bersihkan. Ada sekitar 30-40 kamar per orang yang harus dibersihkan dalam waktu 7-8 jam. Menurutku, ini seru sekali, aku membayangkan seperti main game. Namun, hal yang paling menyenangkan bagiku adalah ketika makan siang. Kami diberi makanan gratis, serta dari situ bisa berkenalan dengan mahasiswa lainnya serta awak kapal. Tidak jarang aku berjumpa dengan awak kapal yang berasal dari Indonesia. Aku membayangkan bahwa pekerjaan mereka sulit dan berat sekali. Aku berharap bahwa mereka tetap kuat dan senang selama berada di atas kapal tersebut."
Aku melihat lekat ke mata gadis ayu ini. Â Anganku pun jauh melayang ke masa mudaku dulu.
"Mbak...Mbak lagi nggak ngelamun kan...?"
"Oh, nggak..." Aku tersenyum kepadanya. Â "Kamu kuat, Wid. Â Kamu harus selalu kuat. Â Kemarin, hari ini, dan besok untuk menggapai cita-citamu," aku melanjutkan sambil meletakkan telapak tanganku di bahu-kirinya.
Sejenak kami terdiam, merasakan hembusan bayu yang menerbangkan anak-anak rambut kami.  Möwe atau burung-burung camar berwarna putih terlihat sedang beristirahat siang di geladak kapal-kapal kecil dan bebatuan di sisi jalan pantai.Â
"Wid, makasih ya. Â Setiap hari adalah proses belajar seperti hari ini ada banyak hal yang bisa aku dapatkan dari kamu tentang AIDA dan GEOMAR. Kamu bukan hanya seorang peneliti tapi juga sorang pemandu wisata yang baik. Â Aku sudah bisa melihat pesona kota Kiel dalam sehari dan lebih mengenal dirimu, seorang yang kuat dan penuh semangat dalam mengarungi hidup ini. Â Kamu lihat kapal AIDA itu, tidak banyak orang bisa yang seextravaganza kapal itu. Tetapi hal yang terpenting adalah sanggup mengarungi lautan dalam terpaan badai angin dan gelombang sampai suatu saat kapal itu tiba di pelabuhan yang ingin ditujuinya," aku berkata dengan pandangan nanar di kejauhan mencari garis batas antara laut dan langit yang terlihat sama-sama biru.
"Makasih, Mbak. Â Aku akan mengingat itu. Â Terimakasih juga sudah mau berkunjung ke Jerman Utara."
"Aku bangga padamu, Wid. Â Kamu mengingatkanku pada salah satu tokoh wanita di kisah pewayangan."
"Hmm...Siapa ya...?" Gadis yang di Indonesia berasal dari pinggiran Kali Ciliwung itu mengeryitkan keningnya mencoba mencari tahu tokoh wayang yang kumaksudkan.
"Nanti saja kamu cari sendiri. Â Perutku sekarang sudah minta diisi."
"Oh iya, Mbak. Â Yuk, ke apartemenku. Â Aku sudah menyiapkan makan siang. Â Tinggal dipanasi saja."