Mohon tunggu...
Meidyna Arrisandi
Meidyna Arrisandi Mohon Tunggu... profesional -

So good to be alive, not just breathing!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Prayer

9 Februari 2012   15:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:51 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menunggu Hujan

Lelaki itu gelisah menunggu hujan. Entah ada apa dengan hujan, tapi setiap mendung datang, lelaki itu mondar-mandir di dekat jendela. Ia tak tahu ada makhluk bermoncong dan berekor yang mengamati gerak-geriknya.

Prayer, si tikus, binatang itu sering mengamati pemilik rumah ini. Ia tak tahu siapa namanya, tapi penghuni lain memanggilnya Papi. Ia bahkan tak tahu mengapa ibunya kini lebih sering memanggilnya Prayer, padahal nama aslinya adalah Prem. “Kenapa ibu memanggilku Prayer sekarang?” Si tikus bertanya pada ibunya. “Sebelum ibu menjawabnya, ibu mau tanya. Kenapa kau suka berdiri menangkupkan tanganmu di pagi hari?” Prayer menggerak-gerakkan matanya ke kanan dan ke kiri. “Entah. Aku hanya senang melakukannya.” Si ibu menggeleng-gelengkan kepala. “Kebiasaanmu itu seperti orang berdoa. Itulah sebabnya ibu sekarang suka memanggilmu Prayer.”

Prayer menyeringai, meninggalkan ibunya yang sibuk menata tumpukan makanan di dekat pintu tempat tinggal mereka. Ada jeruk yang hampir busuk, remah-remah roti, kentang goreng sisa makanan si Papi dan masih banyak bungkusan plastik berisi kue-kue kering apak yang tadi pagi dibuang oleh anak Papi nomer 5.

Lelaki itu masih di sana, di dekat jendela. Sudah tidak mondar-mandir. Kini ia duduk di kursinya memandang rintik hujan yang turun membasahi tanah, daun-daun mawar dan aneka tanaman pakis di taman depan jendela. “Apa yang dipikirkannya?” Prayer membatin. Kini ia melihat lelaki itu tersenyum sendiri. “Dia pasti sudah gila,” Prayer menggumam.

Sudah sekitar sepuluh menit dan hujan belum kunjung reda. Lelaki itu bangkit mengambil laptopnya dan meletakkannya di meja, tepat di depan kursinya, di samping jendela. Jari-jarinya mulai mengetik. Satu, dua, tiga paragraf. Lelaki itu menulis puisi. “Aku harus mendekat. Aku tak bisa membacanya dari sini.” Prayer dengan cekatan sembunyi di balik lemari, tepat di seberang tempat lelaki itu duduk. “Oh, lelaki ini benar sudah gila. Bagaimana mungkin ia lebih senang menyembunyikan perasaannya di balik semua kata-kata itu? Untuk apa disembunyikan? Bukankah semuanya akan lebih baik jika diungkapkan?” Prayer menggaruk-garung kepalanya. Matanya berat. Ia makan terlalu banyak. Kini ia terlelap.

Malam masih hujan...

Blab! Prayer terkejut. Lelaki itu menjatuhkan Alkitabnya. Oh, sekarang lelaki itu berdoa, sesekali mengusap peluh dan kadang air matanya. “Tentu bebannya berat. Ia sampai menangis. Oh tunggu, kalimat apa yang ditandainya itu?” Prayer bicara dalam hati. Penasaran dengan kalimat yang distabilo oleh Papi. Roma 12:12. “Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah di dalam doa!”

Prayer menggaruk-garuk kepalanya lagi. Lelaki ini memang gila. Setidaknya begitu menurut pandangannya. Ia masih mengantuk. Tiba-tiba ia seperti melihat puisi-puisi yang ditulis lelaki itu bicara. Mereka berwujud kabut putih yang berbentuk seperti manusia bersayap. “Ah, mana mungkin kalimat-kalimat itu menjadi makhluk bersayap?” Batinnya.

Kata makhluk bersayap itu, “Untuk apa menulisku tanpa rasa? Menangiskan hatimu, bukan mengarang hidupmu. Kau berbagi, bukan melucuti. Berdoa atau bicara? Sebab berdoa tidak mengesampingkan rasa. Kau menjadi makhluk tak bermakna dengan menulis kata-kata yang tak bersuara.

Lelaki itu jengah. Tapi mengapa ia tak heran, terkejut atau setidaknya mengangakan mulutnya melihat penampakan di depannya? Batin Prayer. Mungkin memang sudah setiap malam lelaki ini berbincang-bincang dengan makhluk bersayap ini. “Aku ingin setiap kalimat yang kutulis menjadi berkat, bukan laknat. Mengertilah. Meski untuk itu harus pula kuubah hatiku, kusangkal diriku.” Sampai di sini tenggorokan lelaki itu tercekat. Ia menahan tangis.

Makhluk bersayap itu berjalan mendekati Papi, si lelaki yang kini menyangga kepalanya dengan kedua siku di atas meja. “Kau terus menyangkal. Senang kau menjalani hidupmu begitu.” Papi menjawab tanpa mengangkat kepalanya. “Begitulah tugasku. Menyangkal segalanya.”

Sudah pagi...

Matahari mengintip. Tetes embun pertama membuka hari. Lelaki itu tertidur di depan laptopnya, sementara Prayer mengerjap. Ia bergegas lari keluar di depan pintu kolong rumahnya, di bawah sebuah baby walker yang tertimbun kardus-kardus, baju-baju bekas dan hiasan-hiasan dinding retak di sudut halaman belakang. “Kau berdoa?” Si ibu menyapa. “Dengan posisi seperti itu seharusnya kau berdoa, bukan menatap langit melamun saja. Doakan juga si Papi.” Prayer menoleh, mengedipkan matanya. “Semalam ibu juga melihat Papi?” Si ibu tersenyum.

Si Prayer tak puas karena tak mendapat jawaban ibunya. “Ibu, katakan padaku, ada apa dengan lelaki itu? Apa ibu melihat makhluk bersayap itu? Makhluk yang bicara pada Papi?” Si ibu menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum. “Tentu saja ibu melihatnya. Ibu selalu melihatnya.” Prayer semakin panasaran. “Ibu, ajari aku berdoa. Harus kudoakan seperti apa si Papi?” Si ibu memegang lembut kedua pundak Prayer. “Katakan saja apa yang kau rasakan, ungkapkan sejujurnya, lalu minta Tuhan menuntunmu. Untuk si Papi....hmmmm.....doakan saja supaya dia tidak lelah berpura-pura.”

Prayer terdiam. Ia bingung dengan kata-kata ibunya. “Ibu, aku harus jujur, tapi aku juga harus berdoa supaya Papi tak lelah berpura-pura. Aku sungguh tak mengerti.” Si ibu terkejut, hampir tak tahu harus menjawab apa. Ibunya lagi-lagi tersenyum. “Ada kalanya kita harus berpura-pura, Nak, agar semuanya tak carut-marut, supaya semua ada pada tempatnya.” Prayer menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kasihan Papi,” ujarnya sambil berlalu, meninggalkan ibunya yang kini ganti terdiam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun