Tanpa kita sadari, maksud kita yang baik dan positif  bisa menjadi racun bagi orang lain.
Ternyata tak semua yang kita pikir baik, selalu baik-baik saja. Yah, itu saya sadari ketika mempelajari istilah yang menjadi salah satu topik pilihan kompasiana.com: Toxic Positivity.
Apa itu toxic positivity?Â
Merujuk situs Alodokter, dalam artikel berjudul "Mengenal Lebih Jauh tentang Toxic Positivity", dijelaskan bahwa toxic positivity adalah kondisi ketika seseorang menuntut dirinya sendiri atau orang lain untuk selalu berpikir dan bersikap positif serta menolak emosi negatif.
Artikel tersebut memberi penjelasan lanjut bahwa melihat suatu hal dengan positif memang baik, tapi jika dibarengi dengan menghindari emosi negatif, hal ini justru dapat berdampak buruk bagi kesehatan mental.Â
Seseorang yang terjebak dalam toxic positivity akan terus berusaha menghindari emosi negatif, seperti sedih, marah, atau kecewa, dari suatu hal yang terjadi. Padahal, emosi negatif juga penting untuk dirasakan dan diekspresikan.
Lebih lanjut disebutkan bahwa penyangkalan emosi negatif yang terus dilakukan dalam jangka panjang bisa menimbulkan berbagai masalah kesehatan mental, seperti stres berat, cemas atau sedih yang berkepanjangan, gangguan tidur, penyalahgunaan obat terlarang.
Waduh! ternyata persoalan toxic positivity bukan masalah yang bisa dianggap sepele. Yah, jika kita perhatikan dampaknya seperti penjelasan Alodokter di atas, maka tak semestinya hal ini kita anggap sebagai masalah sepele.Â
Namun demikian, jangankan menganggap masalah ini sebagai masalah sepele, untuk menyadari bahwa hal ini adalah masalah merupakan suatu hal yang sulit.
Mengapa kita sulit menyadari bahwa kita telah membuat masalah dengan melakukan toxic positivity?
Hal ini disebabkan karena tindakan yang kita lakukan dilatarbelakangi oleh maksud baik atau maksud positif. Nah, yang namanya baik atau kebaikan sulit mau disalahkan. Bahkan sesuatu yang salahpun, jika kita mempersepsikan hal tersebut sebagai hal yang baik maka jangan harap kita sendiri akan menyebutnya sebagai suatu hal yang salah.
Seperti apa wujud toxic positivity itu?
Toxic positivity lebih mudah kita temui dalam hubungan relasional atau dalam aktivitas komunikasi antar anggota keluarga atau dalam hubungan persahabatan. Misalnya ketika seseorang merasa sedih kemudian kita mencoba menghiburnya dengan mengungkapkan bahasa yang bersifat positif dan menolak emosi negatif.
Kalimat-kalimat yang merupakan contoh ekspresi toxic positivity  misalnya:
- "sudahlah, jangan bersedih!".Â
Kalimat ini jelas-jelas mau mengantar lawan bicara pada pengingkaran atau penolakan emosi negatif.
- "semangat, ini hanya masalah kecil saja, kok tak bisa?
Maksud positif kalimat ini adalah untuk memberi semangat. Namun nilai toxic-nya nampak pada adanya sikap meremehkan.
- "kamu pasti bisa, temanmu si X saja bisa"
Kalimat ini juga bermaksud positif, hendak memberi semangat. Salahnya, ketika penutur kalimat ini membandingkan lawan bicaranya dengan orang lain.
Masih banyak contoh-contoh ekpresi toxic positivity yang dapat kita jumpai atau mungkin kita sendiri yang melakukannya.Â
Hmm, coba pikirkan bentuk-bentuk komunikasi kita dengan orang-orang terdekat kita disaat mereka merasakan kesedihan, amarah atau ekspresi . Jangan-jangan kita bermaksud memberi susu tetapi susu itu kemudian berubah menjadi racun (toxic).Â
Hehe, jujur saja. Setelah menilai diri, Saya ternyata pernah mengekspresikan toxic positivity. Maksud hati menentang emosi negatif. Menganggap diri kita sama dengan orang lain. Bahkan sering memaksa mereka untuk menjadi super positif. Tak jarang, upaya itu bukan membuat mereka menjadi baik, malahan sebaliknya menimbulkan resistensi dan tak jarang konflik.
Bagaimana supaya tidak menjadi toxic?
So, gimana supaya maksud baik nan positif kita, tetap menjadi positif dan tidak menjadi racun atau toxic?
Pertama, menyadari bahaya toxic positivity. Sadari bahwa kesalahan mengkomunikasikan maksud baik kita untuk menghibur, menguatkan dan memberi semangat, bisa berubah menjadi racun atau berbuah hal yang negatif bagi orang lain.
Kedua, mari belajar menjadi pendengar yang setia. Biarkan teman atau saudara kita mencurahkan isi hatinya, emosi negatifnya. Lebih baik bagi mereka jika emosi negatif terlampiaskan dalam curhatannya daripada dipendam atau ditahan, nanti bisa meledak dalam bentuk pelampiasan yang destruktif atau berbahaya.
Ketiga, tempatkan diri kita dalam posisi mereka. Ada ungkapan mengatakan: "Bersedihlah dengan orang yang bersedih. Menangislah dengan orang yang menangis." Berusahalah memahami dan berempatilah. Jangan menghakimi atau membanding-bandingkan dengan orang lain.
Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat dalam rangka membangun sebuah kehidupan yang saling menguatkan. Biarlah yang positif menjadi positif bukan menjadi racun, toxic positivity!
 Salam...
***
#7of14
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H