Elegi hari ini kepada apa yang kita lafalkan sebagai teknologi dan kepada apa yang kita kidungkan dengan tempo allegro sebagai kemajuan dan modernisasi.
Elegi hari ini. Mari kita tangisi lahirnya mesin-mesin yang beranak pinak, saling bunuh antar generasi, yang terakhir lahir tenggelamkan yang lama. Lalu, mereka menyingkirkan tenaga insan-insan yang akhirnya menjadi korban gilasan generasi mesin.Â
Elegi hari ini. Ketika kemajuan yang kita agungkan itu, mampu meneropong sel tubuh dan mengutak atik pertalian benang-benang kromosom penentu  sifat mahluk, bahkan mengawinkan di luar tubuh. Ketika rahim pun kau cipta dalam sebuah tabung. Maju tapi hina bagi ciptaan termulia.Â
Elegi hari ini. Ketika gawai merampok cinta kita. Yang dekat makin jauh, yang jauh makin dekat. Kita duduk bersama, namun engkau bercumbu dengan gawaimu. Aku pun bercumbu dengan gawaiku. Dan teknologi membangun tembok di antara kita. Cinta pun semu seperti kemarin yang mendung.
Elegi hari ini. Ketika teknologi menguasai hidup, menguasai bumi, dan dia .... tanpa nurani. Dan dia menjadi alat kepentingan. Dan dia menebar angin ketakutan. Dan dia mengancam peradaban semesta dengan simbol-simbol kemajuan bernama nuklir, senjata biologis dan corona.
Haruskah teknologi dan kemajuannya mengakhiri hidup kita? Mengantar kita kepada sesuatu yang kita takut untuk melafalkannya? Kiamat!Â
Ataukah kita harus mendefinisikan kembali kemajuan itu? Bahwa hembusan angin kemajuan itu harus dihembuskan angin hikmat dalam kesadaran kemanusiaan? Bahwa teknologi menghamba kepada manusia dan kemanusiaan?Â
Pikirkanlah itu, duhai dikau manusia yang menghamba kepada mesin-mesin tak bernurani bernama teknologi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H