Mohon tunggu...
Meidy Y. Tinangon
Meidy Y. Tinangon Mohon Tunggu... Lainnya - Komisioner KPU Sulut | Penikmat Literasi | Verba Volant, Scripta Manent (kata-kata terbang, tulisan abadi)

www.meidytinangon.com| www.pemilu-pilkada.my.id| www.konten-leadership.xyz| www.globalwarming.blogspot.com | www.minahasa.xyz| www.mimbar.blogspot.com|

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kepala-kepala di Singgasana

22 Desember 2020   08:30 Diperbarui: 22 Desember 2020   08:37 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku terbang berkeliling bersama pesawat modernisasi, mendarat di sebuah negeri emas dan permata. Mengunjungi istana negeri itu, lalu aku melihat kepala berhias mahkota emas duduk di singgasana. Perlahan kubuka pintu pori kepala itu dan menyelinap masuk kedalam. Aku melihat didalamnya penuh sesak dengan keping-keping emas dan permata serta lembaran-lembaran dolar. Aku bertemu sang pemuja homo economicus. Aku bersedih, aku tak bertemu gambaran tentang kepala-kepala yang menjerit kelaparan.

Aku terbang berkeliling bersama pesawat globalisasi, lalu mampir di singgasana negeri lainnya, bertamu dibalik kepala berhias mahkota kayu cendana, harum namun keras. Para profesor Botani menyebutnya Santalum album.  Aku menyaksikan tulang tengkorak berbentuk kursi dari kayu Cendana dan tulisan-tulisan di dinding otak tentang ilmu kekerasan dan kelicikan demi tahta. Kumelihat juga gambar Machiavelli memeluk kitab "The Prince" sambil menangis, terpampang di dinding tengkorak kepala itu. Aku melihat darah di dalam kepala itu berkonfigurasi dalam sebuah kalimat: "quid significat regula et justify". Paman Google mengartikannya: "menghalalkan segala cara untuk berkuasa".   Yah, isi didalam kepala itu, hanya tentang kuasa dan kuasa. Tentang kuasa untuk kuasa. Tak ada tentang kuasa untuk rakyat dan kuasa yang menghidupkan.

Aku terbang lagi dengan pesawat post modern. Mengelilingi gemerlap dunia maya. Lalu mampir di singgasana sebuah negeri yang penuh dengan rumah ibadah. Aku bertamu di kepala yang behias mahkota duri. Ah, mahkota itu mengingatkanku pada Tuhanku yang tersalib dan berkorban untuk dosa dunia. Ingin aku bertemu Tuhanku di dalam kepala itu. Kumasuki ruang sunyi di balik kepala itu, lalu aku melihat lukisan semua nabi, rasul dan Tuhan, ada didalamnya.  Pikirku, ini adalah tentang kepala bertaqwa yang memuja pluralisme dan harmoni. Lalu kulihat mesin pencipta segala samsara bagi semua ciptaan: uang, nuklir, senjata biologis dan corona! Ah, aku sadar dalam ketakutan. Kepala di singgasana ini, ingin menjadi Tuhan! Ingin menjadi Sang Khalik! Kepala itu lupa, bahwa dirinya, mahkota dan singgasananya hanyalah ciptaan yang fana! 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun