Namaku Regina Pressilia. Ibuku, tamatan SMA dan berprofesi sebagai seorang pedagang kecil. Ayahku, hanya mengecap pendidikan dasar.  Namun, mereka pahlawan kehidupanku dan kebanggaanku. Akupun ingin menjadi yang mereka banggakan. Aku ingin menjadi sesuatu yang menjawab keraguan. Aku ingin menjadi sebuah pembuktian bahwa sebuah pencapaian tidak ditentukan oleh status sosial.Â
Aku ingin mendaki hingga mengapai puncak Gunung Tonsaru, lambang pembuktian pencapaian pendidikan di kota mungilku. Lalu, kan kusemai bibit pohon pengetahuan, merawatnya hingga besar dan memanen buah ilmu yang kan kubagikan kepada mereka yang merindu sebuah masa depan yang lebih baik.Â
Ah, asa itu bukan gampang bagi seorang perempuan seperti aku. Ibuku hanya seorang pedagang kecil. Ayahnya bukan konglomerat. Jalanku pasti berliku, bahkan mungkin buntu! Â Tapi, aku mau mendaki puncak gunung itu! Siapakah yang mampu melarang asa, cita dan cinta yang membuncah?
Namaku Regina Pressilia. Selepas episode putih - abu-abu, hampir saja kuurungkan niat mendaki puncak itu. Â Bekal secangkir semangat ternyata tiadalah cukup. Untung saja kuingat pesan mama dan papa, untuk tambahkan sesendok doa pada secangkir semangat, setiap saat ketika sebelum kaki melangkah pergi menjemput mimpi di segala ruang dan waktu.Â
Ternyata sesendok doa pada secangkir semangat, mampu membawa inspirasi dan membuka sejuta pintu kasih sayang penopang langkahku yang tertatih. Hingga akhirnya, puncak pertama bernama strata satu mampu kudaki. Gelar sarjana menambah deretan namaku. Â Puas? Tidak! Aku ingin mendaki puncak kedua.Â
Namun, sebelum itu, kupetik dan nikmati buah pohon pengetahuan di puncak pertama, lalu kubagikan kepada kepada anak-anak di kota kecilku, agar mereka bisa baca dan tulis. Ruang rindu itu terjawab di bilik kelas sebuah Sekolah Dasar. Honor lima ratus ribu rupiah per bulan memang jauh dibanding penghasilanku dari "Love Gallery" sebuah usaha dekorasi. Dari usaha ini aku bisa menikmati berkat Tuhan sampai dua jutaan rupiah per minggu, jika lagi ramai. Â
Namaku Regina Pressilia. Air mata haru tak tertahankan siang itu, saat kusadari, ternyata aku telah menginjakkan kaki di puncak kedua Gunung Tonsaru. Strata kedua dari sebuah episode pencapaian pendidikan tinggi! Air mata haru tak terbendung ketika namaku disebut di panggung para profesor dan senator.Â
Ayah dan bunda mendekapku erat. Air mata pun makin tercurah. Haru mendekap haru. Bangga mencium bangga. Syukur memeluk syukur. Ternyata, di mana ada setitik kemauan, secangkir semangat, Â dan sesendok doa maka cita dan cinta akan menemukan jalannya sendiri. Yah, jalan penuh inspirasi dan hikmat dari Sang Pencipta, yang tak mengenal kata mustahil. Â Jika Tuhan yang membuka pintu, tak seorangpun mampu menutupnya. Â
Haru biru di puncak kedua gunung Tonsaru adalah sebuah pembuktian. Namaku Regina Pressilia yang haru biru di puncak pembuktian. Â