Mohon tunggu...
Meidy Y. Tinangon
Meidy Y. Tinangon Mohon Tunggu... Lainnya - Komisioner KPU Sulut | Penikmat Literasi | Verba Volant, Scripta Manent (kata-kata terbang, tulisan abadi)

www.meidytinangon.com| www.pemilu-pilkada.my.id| www.konten-leadership.xyz| www.globalwarming.blogspot.com | www.minahasa.xyz| www.mimbar.blogspot.com|

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengalah untuk Menang, Masih Relevankah?

21 Agustus 2020   07:47 Diperbarui: 21 Agustus 2020   07:43 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
||dreamstime. com|| 

"Mengalah untuk menang?" Jelas tak relevan, bahkan tak masuk akal. 

Coba tengok dunia olahraga.  Mana ada seorang pelari memenangkan pertandingan lalu meraih medali emas,  jika dia mengalah, melambatkan larinya dan membiarkan saingannya melewati dirinya.  Hmmm. 

Atau coba tengok dunia politik. Mana ada kandidat Pilkada akan terpilih jika dia mengalah,  mengundurkan diri atau tak melakukan upaya apapun untuk meraih dukungan pemilih. 

Ya,  ya. Benar. Petuah jadul itu tak cocok, sesat pikir. 

Eits,  nanti dulu. 

Coba kau tengok tetangga sebelah.  Hidup aman, tenteram, sejahtera.  Ada beda pendapat namun tak berujung konflik berhias piring terbang, caci-maki,  pecah kaca,  pisah ranjang hingga cerai berai. 

"Kami sering berbeda,  namun selalu ada yang memadamkan api emosinya. Mengalah untuk kemenangan bersama.  Maaf adalah tandanya," ungkap si Bapak, tetangga sebelah. 

Ah,  asyiknya. 

Oke,  oke.  Itu kehidupan rumah tangga, cocoklah.  Coba beri contoh untuk kehidupan politik atau olahraga. 

Hmmm,  baiklah. 

Aku ingat seorang politisi,  bersaing merebut posisi. Dicaci maki, diserang kampanye hitam,  dihempas kampanye negatif, baliho dimutilasi namun  dia hanya diam tiada upaya menyerang balik.  Dia justru tersenyum.  Mengalah. Pendukungnya dia tenangkan,  konflik dicegah. Lalu apa yang terjadi.  Simpati meningkat tanpa kampanye.  Pemilih membenci saingannya. Akhirnya,  dia menang karena mengalah.  

Oke,  oke. Apakah prinsip hidup itu berlaku di olahraga?  

Masih ingat, kisah 10 Desember 2017? 

Seorang pelari muda, Ariana Luterman menolong sang lawan Chandker Self untuk memasuki garis finish terlebih dahulu. Sama-sama menjadi peserta Kejuaraan Lari Marathon, Luterman dan Self hampir mencapai garis finish dengan persaingan ketat. Namun, beberapa meter jelang garis finsih Self terjatuh (tribunnews.com)*.

Apakah Lutterman terus berlari hingga ke garis finish?  Tidak!  Dia berhenti berlari.  Berbalik ke arah lawannya,  menolongnya untuk bisa berdiri, kemudian menuntunnya hingga ke garis finish.  Di garis finish,  Lutterman mendorong sedikit tubuh Self hingga akhirnya Self mencapai garis finish lebih awal. Lutterman mengalah. Tapi tidak untuk menang dalam pertandingan.  

Ups kalau begitu bukan mengalah untuk menang dong.  

Eits nanti dulu kawan.  Bagi saya Lutterman adalah pemenang sejati.  Dia menang melawan ego dan hasrat pribadi.  

Musuh terbesar kita adalah ego,  hasrat,  nafsu dalam diri kita.  Perasaan untuk menang, unggul dan selalu di atas.  Hasrat untuk menguasai yang lain.  Haarat untuk menang. 

Ini soal kehidupan manusia.  Belajarlah kalahkan sang ego.  Kendalikan dirimu.  Biarlah diri kita terlihat kalah, namun kita senang, karena sesungguhnya kita menang melawan musuh terbesar kehidupan. 

So masih relevankah prinsip hidup "mengalah untuk menang?"

Rasakanlah dan jawablah sendiri.  Ini soal jalan hidup.  Pilihan hidup.  The choice is yours! 

Salam inspirasi !

 *****

*) sumber kisah Luttherman

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun