Mohon tunggu...
Meidy Y. Tinangon
Meidy Y. Tinangon Mohon Tunggu... Lainnya - Komisioner KPU Sulut | Penikmat Literasi | Verba Volant, Scripta Manent (kata-kata terbang, tulisan abadi)

www.meidytinangon.com| www.pemilu-pilkada.my.id| www.konten-leadership.xyz| www.globalwarming.blogspot.com | www.minahasa.xyz| www.mimbar.blogspot.com|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kita Abadi

19 Juli 2020   22:38 Diperbarui: 19 Juli 2020   22:33 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Yang fana adalah waktu," tutur lelaki tua yang kala itu terbaring lemah.  

Aku mencoba membantah. Pikirku, "bukankah waktu itu selalu ada, kekal dan abadi?" Namun melihat Eyang yang terbaring lemah aku membatalkan naluri interupsiku dan membiarkannya terus berkisah. 

"Nak, cobalah kau pungut detik demi detik. Merangkainya seperti bunga. Indah bukan?" Eyang melanjutkan kisah tentang waktu yang menurutnya adalah suatu hal yang fana.  

"Setiap detik, dapat kau rangkai. Warna-warni bunga kehidupan dalam setiap waktu hidup anugerah Sang Khalik. Detik, menit, hari, bulan, tahun demi tahun akan kau penuhi dengan rangkaian karya. Waktu itu akan menjadi milikmu. Namun...." Eyang sedikit menghentikan bicaranya, susah payah menghela napas.

Setelah agak lega untuk berucap, Eyang kembali melanjutkan petuah dalam kesulitan lelaki tua yang hanya bisa bicara sambil berbaring, "Namun, suatu saat, waktu kita akan berhenti. Kita tak mampu menghela napas, mengolah raga, merajut karya. Waktu kita fana. Jauh dari kekekalan dan keabadian," ungkapnya lagi.

"Suatu waktu, jutaan detik yang kita kumpulkan itu, rasanya tiada guna. Detik-detik fana akan termakan waktu." 

Kali ini, ucapannya diiringi dengan air mata. Ku ambil tisu di samping bantal kepalanya, lalu kuseka air mata yang membasahi pipinya, sambil berbisik, "Eyang istirahatlah, tak usah banyak bicara, nanti Eyang capek."

Namun, lelaki tua itu tak mau berhenti. 

"Nak, waktu memang fana, namun kita akan abadi," ungkap Eyang 

"Maksud Eyang?" tanyaku pelan.

Eyang kemudian mengambil sebuah buku, lalu menyerahkan padaku, sambil berucap, "Andai sebentar Eyang mendahului Kamu, segera setelah kabar itu Kau dengar, bacalah buku ini dan akan Kau temui Eyang dalam ke-a-ba-di-an, karena Kita abadi meskipun raga tiada lagi. Eyang mau istirahat," ungkapnya menutup percakapan.

Setelah memohon pamit, Aku pun beranjak pergi. Eyang kemudian memejamkan mata, masih terlihat air mata jatuh dari mata lelaki tua itu.

***

Hari Minggu, seperti biasa di waktu senggang di sore hari, kuambil gawai bermaksud membaca berita terkini dari media daring sebagai sumber inspirasi hobi menulisku. Alangkah terkejutnya membaca penggalan berita sebuah media daring kenamaan. 

"Setelah sempat dirawat karena sakit, sastrawan Sapardi Djoko Damono mengembuskan napas terakhirnya pada Ahad (19/7). Penyair yang produktif menelurkan karya ciamik ini meninggal dunia pada usia 80 tahun," demikian isi berita duka yang terbaca olehku di minggu sore itu, Eyang telah tiada!

Teringat pesan Eyang, "Andai sebentar Eyang mendahului Kamu, segera setelah kabar itu Kau dengar, bacalah buku ini dan akan kau temui Eyang dalam ke-a-ba-di-an, karena Kita abadi meskipun raga tiada lagi."

Ku raih buku pemberian Eyang, kubuka lembaran yang sengaja telah ditandainya. Lembaran yang terpatri sebuah sajak: 

"Yang fana adalah waktu. Kita abadi memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa. Tapi, 'yang fana adalah waktu, bukan?' tanyamu. Kita abadi." 

Dalam renung sejenak, terbayang wajah sang dekar kata, Eyang Sapardi Djoko Damono. Benar, Eyang telah tiada meninggalkan dunia, ruang dan waktu yang fana menuju keabadian. Benar, dia tetap abadi dalam jejak karya yang ditinggalkannya. Selamat jalan Eyang, selamat menuju keabadian di alam baru dan dalam karyamu yang abadi.

Ah, bersyukurlah Kita yang berkarya, kita yang menulis. Seperti Eyang, suatu saat Kita Abadi dalam jejak karya. Yah, yang fana adalah waktu. Kita abadi!

===

*) Sebuah kisah imaginer, dari karya fenomenal Sastrawan Sapardi Djoko Damono, "Yang fana adalah waktu".

  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun