Lagi-lagi,
aku hanya bisa menghela napas,Â
Setelah tajam narasimu menyahut ideku,
dalam ruang dialektika antara aku, kau dan merekaÂ
Narasi tajam menyayat hati,
episode berulang dalam relung yang samaÂ
Diksi oposan menghantam ide kecilku,
memaksa aku untuk kembali mengalahÂ
Padahal aku telah memilih diksi terbaik,
dalam narasi yang paling sejukÂ
Padahal aku telah menimbang ideku,
tak menggunung melebihi kehebatan ego-mu
Padahal berjuta kata maaf,
telah meluncur dari lubuk hati terdalam
Ada apa denganku?
Ada apa denganmu?
Apakah aku terlalu bodoh untuk selalu salah?
Ataukah dirimu yang terlalu pintar untuk menyalahkan?
Atau... Mungkin?
Ah, tak baik berburuk sangka
Namun,
haruskah aku berdiam diri?
Mengurung ide dalam kerangkeng keterpaksaan,
demi sebuah ketenangan bersama,
dalam rasa bersama yang semu?
Atau,
haruskah aku melawan?
Menyulut api prahara
membakar lumbung tempat kita berperkara,
untuk menyambung hidup yang sebatang kara?
Entahlah,
Aku hanya bisa bertanya dalam cermin yang buram:
"ada apa antara aku dan dirimu?"
Dan memilih,
menulis syair curahan nurani...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H