Mohon tunggu...
Meidy Y. Tinangon
Meidy Y. Tinangon Mohon Tunggu... Lainnya - Komisioner KPU Sulut | Penikmat Literasi | Verba Volant, Scripta Manent (kata-kata terbang, tulisan abadi)

www.meidytinangon.com| www.pemilu-pilkada.my.id| www.konten-leadership.xyz| www.globalwarming.blogspot.com | www.minahasa.xyz| www.mimbar.blogspot.com|

Selanjutnya

Tutup

Hobby

'Bakudapa' Virtual Ala Sastrawan yang Saling Merindu

11 Juni 2020   00:51 Diperbarui: 11 Juni 2020   05:48 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber WAG kelung.com

Berbeda dengan pertemuan daring yang digelar komunitas lainnya, gaya diskusi daring  para sastrawan ternyata punya ciri khas tersendiri.

Kebijakan masa pandemi Covid-19, social distancing dan physical distancing membuat kita tak bisa berkumpul dalam perjumpaan fisik. Tak terkecuali para Sastrawan. Pertemuan daring pun menjadi pilihan untuk melepas rindu. 

Kebetulan saya bergabung dengan komunitas literasi sekaligus komunitas budaya yang sebagian besar kawan-kawan saya di komunitas tersebut adalah sastrawan. Di WAG komunitas tersebut, Selasa (9/6) dikirim undangan untuk diskusi daring bertajuk "Bakudapa Virtual: Merindu Minahasa Lewat Sastra". 

Kebetulan lagi merindu dengan sesama kawan, sayapun tertarik untuk turut bakudapa (Manado, bertemu) secara virtual dalam momentum yang digelar Rabu malam (10/6) bertempat di ruang virtual zoom online meeting. 

Para pemantik diskusi (perindu dalam flyer kegiatan) semuanya bergelar sastrawan. Ups, rasanya saya tak masuk kelompok sastrawan meskipun saya telah turut melahirkan buah sastra berwujud puisi, terbanyak via kompasiana. Namun, disebut penyair dan pujangga pun saya merasa tak layak apalagi disebut sastrawan. Terlalu mulia dan terhormat predikat sastrawan dalam pemikiran saya.

Lagi-lagi, mengikuti kebiasaan yang coba dibiasakan (sesuai saran beberapa kompasianer), saya membuka kamus online kbbi.web.id, mencari tahu persisnya definisi sastrawan seperti apa.

Klik, ketik kata "sastrawan",  akhirnya muncul 3 pengertian ini:
1 ahli sastra;
2 pujangga; pengarang prosa dan puisi;
3 (orang) pandai-pandai; cerdik cendekia

Menimbang-nimbang untuk memastikan apakah saya masuk kategori sastrawan. Mulai dari definisi nomor 1. Ahli sastra? Sepertinya jauh.  

Lanjut ke definisi nomor 2. Pujangga? Sudah saya sebut di atas, tak layak!  Pengarang prosa dan puisi? Ehm, sepertinya kalau disebut pengarang, susah mengelak. Hobi saya mengarang kata dalam tulisan.

Bagaimana dengan definisi nomor 3? Pandai dan cerdik cendekia. Hehehe, kalau yang ini lebih susah mengelak, bukan soal pengertian sebenarnya, tapi soal penampakan fisik di kepala. 

Kepala botak seperti saya, sekalipun tak pintar, cerdik-cendekia, tetaplah dianggap pintar. Hehehe... Bukan menghibur tapi pengalamannya seperti itu. So, untuk yang kepalanya senasib dengan saya, tak usah kecil hati. Selain dianggap pintar, ada orang menyebut kita dengan "boxy" alias botak sexy... Ahay....

Saya pun memutuskan ikut diskusi, dengan kategori sastrawan untuk definisi nomor 2 sebagai pengarang puisi dan kategori nomor 3, botak cendekia. Wkwkwk

Hadirlah saya di diskusi itu. Bertemulah kami di ruang rindu. Diskusi dimulai. 

Eits, ternyata ada syaratnya untuk siapa saja yang ingin bicara "password"-nya adalah: wajib baca puisi! Serunya lagi puisi harus dalam bahasa melayu Manado atau bahasa lokal Minahasa. 

Duh, ini yang susah. Lebih gampang bagi saya menulis puisi daripada membaca puisi.  Beda dengan kawan-kawan yang lain di ruang virtual yang berlangsung selama 5 jam itu. Rata-rata adalah penulis dan penutur puisi yang hebat.

Akhirnya, saya matikan video, sambil tetap aktifkan audio untuk mendengar cakap-cakap dan pembacaan puisi yang oke punya, buka aplikasi MS word. Aksara dirangkai membentuk kata, frasa dan bait-bait puisi dalam bahasa lokal Minahasa. Saya tuliskan juga versi translate dan  jelang berakhirnya diskusi saya kirimkan filenya di ruang chat diskusi daring di masa injury time sementara masih banyak yang belum kebagian bercakap rindu. 

Tak perlu saya bacakan, karena diskusi akan berakhir. Waktu yang terbatas, menyelamatkan saya dari ganjaran baca puisi. Namun sepanjang diskusi tersebut, 1 karya bisa saya tulis. Sebuah puisi doa dalam Bahasa Tondano. Mau lihat ragam bahasa lokalnya silahkan klik: "Kelung Kasa Leos ne Tou Minahasa"

Akhirnya, begitulah jika sastrawan saling merindu lewat diskusi daring. Ada karya yang dihasilkan dan ada karya yang dibacakan. Kawan-kawan, kedepan, "Pasword"-nya jangan hanya baca puisi, tetapi juga menulis. Baca tulis adalah pasangan sejoli sastra yang tak bisa dipisahkan....

Salam cipta sastra lokal....

sumber WAG kelung.com
sumber WAG kelung.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun