Saya pun memutuskan ikut diskusi, dengan kategori sastrawan untuk definisi nomor 2 sebagai pengarang puisi dan kategori nomor 3, botak cendekia. Wkwkwk
Hadirlah saya di diskusi itu. Bertemulah kami di ruang rindu. Diskusi dimulai.Â
Eits, ternyata ada syaratnya untuk siapa saja yang ingin bicara "password"-nya adalah: wajib baca puisi! Serunya lagi puisi harus dalam bahasa melayu Manado atau bahasa lokal Minahasa.Â
Duh, ini yang susah. Lebih gampang bagi saya menulis puisi daripada membaca puisi. Â Beda dengan kawan-kawan yang lain di ruang virtual yang berlangsung selama 5 jam itu. Rata-rata adalah penulis dan penutur puisi yang hebat.
Akhirnya, saya matikan video, sambil tetap aktifkan audio untuk mendengar cakap-cakap dan pembacaan puisi yang oke punya, buka aplikasi MS word. Aksara dirangkai membentuk kata, frasa dan bait-bait puisi dalam bahasa lokal Minahasa. Saya tuliskan juga versi translate dan jelang berakhirnya diskusi saya kirimkan filenya di ruang chat diskusi daring di masa injury time sementara masih banyak yang belum kebagian bercakap rindu.Â
Tak perlu saya bacakan, karena diskusi akan berakhir. Waktu yang terbatas, menyelamatkan saya dari ganjaran baca puisi. Namun sepanjang diskusi tersebut, 1 karya bisa saya tulis. Sebuah puisi doa dalam Bahasa Tondano. Mau lihat ragam bahasa lokalnya silahkan klik: "Kelung Kasa Leos ne Tou Minahasa"
Akhirnya, begitulah jika sastrawan saling merindu lewat diskusi daring. Ada karya yang dihasilkan dan ada karya yang dibacakan. Kawan-kawan, kedepan, "Pasword"-nya jangan hanya baca puisi, tetapi juga menulis. Baca tulis adalah pasangan sejoli sastra yang tak bisa dipisahkan....
Salam cipta sastra lokal....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H