Salah satu unsur penting demokrasi adalah partisipasi. Demokrasi mati tanpa partisipasi. Dalam konteks politik sebagai ilmu dan juga sebagai bagian dari peradaban, tak bisa dipungkiri banyak berkembang teori-teori (tekstual) partisipasi politik. Teori-teori tersebut berangkat dari konteks dan perspektif yang berbeda namun dalam kondisi universalitas ilmu yang tak bersekat, ditambah dengan arus globalisasi informasi dengan perkembangan dunia digital maka beragam teori akan memasuki relung-relung kontekstual-kultural jutaan lokalitas wilayah yang tidak mungkin menghadang teori-teori tersebut. Masalah ditemukan ketika teori/teks global tersebut diterapkan dalam konteks lokal. Belum tentu cocok dan konstruktif. Bisa saja yang akan terjadi adalah efek destruktif dari partisipasi politik.
Pustaka ilmu tentang partisipasi politik sungguh beragam. Tingkat aksesibilitas ilmu di era digital sekarang ini menjadi media yang subur bagi tumbuh kembang dan lalu lintas ilmu antar negara, lembaga dan personal. Salah satu teks global yang coba diangkat dalam artikel ini adalah teori partisipasi politik yang diungkap Samuel P. Huntington dan Joan Nelson.Â
Partisipasi Politik: Menurut Teks Huntington dan NelsonÂ
Partisipasi politik adalah aktivitas warganegara yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan politik. Partisipasi politik dilakukan orang dalam posisinya sebagai warganegara yang didorong oleh kesadaran politik yang sukarela.Â
Namun, Samuel P. Huntington dan Joan Nelson dalam karya penelitiannya No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries, menyebut bahwa partisipasi yang bersifat mobilized (dipaksa) juga termasuk ke dalam kajian partisipasi politik. Partisipasi sukarela dan mobilisasi hanya dalam aspek prinsip, bukan kenyataan tindakan: Intinya baik sukarela ataupun dipaksa, warganegara tetap melakukan partisipasi politik.
Ruang bagi partisipasi politik adalah sistem politik. Sistem politik memiliki pengaruh untuk menuai perbedaan dalam pola partisipasi politik warganegaranya. Pola partisipasi politik di negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal tentu berbeda dengan di negara dengan sistem Komunis atau Otoritarian.Â
Bahkan, di negara-negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal juga terdapat perbedaan, seperti yang ditunjukkan Oscar Garcia Luengo, dalam penelitiannya mengenai E-Activism: New Media and Political Participation in Europe. Warganegara di negara-negara Eropa Utara (Swedia, Swiss, Denmark) cenderung lebih tinggi tingkat partisipasi politiknya ketimbang negara-negara Eropa bagian selatan (Spanyol, Italia, Portugal, dan Yunani).
Landasan partisipasi politik adalah asal-usul individu atau kelompok yang melakukan kegiatan partisipasi politik. Huntington dan Nelson membagi landasan partisipasi politik ini menjadi :
- kelas -- individu-individu dengan status sosial, pendapatan, dan pekerjaan yang serupa.
- kelompok atau komunal -- individu-individu dengan asal-usul ras, agama, bahasa, atau etnis yang serupa.
- lingkungan -- individu-individu yang jarak tempat tinggal (domisilinya) berdekatan.
- partai -- individu-individu yang mengidentifikasi diri dengan organisasi formal yang sama yang berusaha untuk meraih atau mempertahankan kontrol atas bidang-bidang eksekutif dan legislatif pemerintahan, dan
- golongan atau faksi -- individu-individu yang dipersatukan oleh interaksi yang terus menerus antara satu sama lain, yang akhirnya membentuk hubungan patron-client, yang berlaku atas orang-orang dengan tingkat status sosial, pendidikan, dan ekonomi yang tidak sederajat.
Mode partisipasi politik adalah tata cara orang melakukan partisipasi politik. Model ini terbagi ke dalam 2 bagian besar : Conventional dan Unconventional. Conventional adalah mode klasik partisipasi politik seperti Pemilu dan kegiatan kampanye. Mode partisipasi politik ini sudah cukup lama ada, tepatnya sejak tahun 1940-an dan 1950-an.Â
Unconventional adalah mode partisipasi politik yang tumbuh seiring munculkan Gerakan Sosial Baru (New Social Movements). Dalam gerakan sosial baru ini muncul gerakan pro lingkungan (environmentalist), gerakan perempuan gelombang 2 (feminist), protes mahasiswa (students protest), dan teror.Â
Jika mode partisipasi politik bersumber pada faktor "kebiasaan" partisipasi politik di suatu zaman, maka bentuk partisipasi politik mengacu pada wujud nyata kegiatan politik tersebut. Samuel P. Huntington dan Joan Nelson membagi bentuk-bentuk partisipasi politik menjadi :
- Kegiatan Pemilihan -- yaitu kegiatan pemberian suara dalam pemilihan umum, mencari dana partai, menjadi tim sukses, mencari dukungan bagi calon legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang berusaha mempengaruhi hasil pemilu;
- Lobby -- yaitu upaya perorangan atau kelompok menghubungi pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi keputusan mereka tentang suatu isu;
- Kegiatan Organisasi -- yaitu partisipasi individu ke dalam organisasi, baik selaku anggota maupun pemimpinnya, guna mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah;
- Contacting -- yaitu upaya individu atau kelompok dalam membangun jaringan dengan pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi keputusan mereka, dan
- Tindakan Kekerasan (violence) -- yaitu tindakan individu atau kelompok guna mempengaruhi keputusan pemerintah dengan cara menciptakan kerugian fisik manusia atau harta benda, termasuk di sini adalah huru-hara, teror, kudeta, pembutuhan politik (assassination), revolusi dan pemberontakan.
Kelima bentuk partisipasi politik menurut Huntington dan Nelson tersebut, telah menjadi bentuk klasik dalam studi partisipasi politik. Keduanya tidak membedakan apakah tindakan individu atau kelompok di tiap bentuk partisipasi politik legal atau ilegal.