Aksi unjuk rasa bertajuk "I Can't Breathe" berujung rusuh dan terus meluas di Amerika Serikat. Penyebabnya tak lain adalah tewasnya pria kulit hitam bernama George Floyd oleh seorang polisi Minnesota. Jika dibandingkan, ada kemiripan demografi antara masyarakat AS dan Indonesia. Keduanya sama-sama memiliki masyarakat dengan latar belakang SARA yang beragam, perbedaan warna kulit, dan rentan isu kesenjangan sosial.
Demikian pengantar rubrik Topik Pilihan Kompasiana, 3 Juni 2020 yang mengangkat fakta tewasnya pria kulit hitam George Floyd oleh polisi Minnesota Amerika Serikat. Benar ada kemiripan demografi antara AS dan Indonesia. Sama-sama merupakan negara yang heterogen komposisi penduduknya. Dengan komposisi penduduk demikian maka kebersamaan dan toleransi dalam dinamika hidup, saling berdampingan dalam perbedaan latar belakang dalam masyarakat heterogen atau majemuk atau pluralistik seperti AS dan Indonesia merupakan sebuah keniscayaan. Â Tidak boleh tidak!
Bangsa kita pun memiliki sejarah catatan kelam tentang bagaimana kebersamaan unity in diversity sempat tercabik-cabik oleh kerusuhan baik dalam skala kecil ataupun besar. Karenanya kita harus tetap senantiasa menggaungkan semangat persatuan dalam perbedaan hingga tataran implementatif.
Bangsa kita punya keanekaragaman kultur. Namun keanekaragaman kultur tersebut justru menjadi kekuatan dalam konteks harmoni  kehidupan dalam kepelbagaian. Kultur-kultur lokal menjadi spirit perekat kebhinekaan. Hampir semua kultur lokal bangsa menggaungkan filosofi humanistik untuk hidup berdampingan dengan damai. Salah satu filosofi kultural humanistik tersebut dapat ditemukan di Sulawesi Utara yaitu filosofi hidup Torang Samua Basudara.
Torang Samua Basudara atau biasa disingkat TSB, yang artinya "kita semua bersaudara" dipopulerkan oleh Evert Ernest Mangindaan sewaktu menjabat Gubernur Sulawesi Utara 1995-2000.  Namun demikian makna dan praktek hidup yang menganggap setiap manusia adalah saudara yang harus dikasihi, dihargai dan dihormati, telah berakar lama sebelum TSB menjadi motto hidup masyarakat Sulut.Â
TSB berakar dari filosofi kultural Mapalus (filosofi dan praktek kerja bersama) dan Si Tou Timou Tumou Tou/ST4 (manusia hidup untuk menghidupkan manusia lainnya).  ST4 diangkat oleh Sam Ratulangi, Pahlawan Nasional asal Minahasa-Sulut. Mapalus dan ST4 telah lama melandasi kehidupan masyarakat Sulut yang terbuka dan egaliter.
Oleh para penerus Mangindaan, TSB makin dikembangkan lagi menjadi "Torang Samua Basudara, Baku Baku Bae, Baku Baku Sayang karena Torang Samua Ciptaan Tuhan"Â (kita semua bersaudara, saling berbaikan/berdamai dan saling menyayangi, karena kita semua ciptaan Tuhan). Â Sehingga makin lengkaplah pemaknaan filosofi hidup bersatu dalam keberagaman yang hingga kini menjadi spirit dan fakta kehidupan masyarakat Sulut. Implementasi filosofi hidup tersebut yang menyebabkan Sulut sulit disulut oleh isu-isu bernuansa SARA.Â
Kita berharap kasus Floyd dan beragam gesekan bernuansa SARA tak lagi terjadi di negeri Pancasila, Indonesia. Marijo torang (marilah kita) bangsa Indonesia, hidup berdampingan dengan damai sekalipun ada beda SARA diantara kita. Torang samua basudara, beda SARA tetap saudara! Inga! Inga!! Ting!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H