Setiap kali Lebaran atau Hari Raya Idulfitri tiba, perhatian masyarakat di Kabupaten Minahasa Provinsi Sulawesi Utara tertuju ke Kelurahan Kampung Jawa, salah satu lokus bersejarah di Kota Tondano, Ibukota Kabupaten Minahasa.  Betapa tidak, dari sekira 270 Desa/Kelurahan di Kabupaten Minahasa, Kampung Jawa Tondano atau yang familiar dengan sebutan "Jaton", merupakan satu-satunya Desa/Kelurahan yang penduduknya 100 persen beragama Islam. Penduduk di Desa/Kelurahan lainnya, mayoritas Kristen Protestan/Katolik. Jaton menyimpan pesona pernuh makna dalam kehidupan ber-Indonesia. Â
Saban kali lebaran tiba, masyarakat dari berbagai penjuru Kabupaten Minahasa bahkan Sulawesi Utara pada umumnya akan mengarahkan langkah silaturahmi "pasiar lebaran" ke  Jaton. Pemandangan itu, tak nampak hari ini, saat merayakan Idul Fitri Tahun 2020. Sayapun hanya bersilaturahmi via medsos, mengucapkan selamat Hari Raya Idulfitri kepada sobat kenalan di Jaton.
Selain sebagai tempat tujuan silaturahmi pasiar disaat Idulfitri, Jaton yang sampai dengan Tahun 2019 menurut data minahasakab.bps.go.id berpenduduk 2.597 jiwa, menyimpan pesona penuh makna dalam kehidupan ber-Indonesia. Bagi saya, ada 3 pesona yang menjadi ciri khas Jaton. Berikut uraiannya.
1. Makam Pahlawan Nasional Kyai Modjo dan Sejarah Jaton
Jaton merupakan tempat dimana terdapat makam Pahlawan Nasional Kyai Modjo (Kyai Muslim Muhammad Halifah). Kyai Modjo erat kaitannya dengan berdirinya Kampung Jaton. Â Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Jaton didirikan oleh Kyai Modjo dan pengikutnya yang diasingkan Belanda ke Tanah Minahasa. Tanah Minahasa adalah sebutan untuk wilayah yang didiami penduduk suku Minahasa, yang saat ini secara administratif terdiri dari 7 Kabupaten/Kota dari 15 Kabupaten/Kota di Sulawesi Utara.Â
Laman id.wikipedia.org menyebutkan bahwa sejarah Jaton berawal dari ditangkapnya Kyai Modjo yang merupakan Penasehat Agama sekaligus Panglima perang dari Pangeran Diponegoro pada Perang Jawa (1825-1830), pada tahun 1828. Â Kyai Modjo kemudian dibawa ke Batavia, selanjutnya bersama 63 orang pengikutnya diasingkan Belanda sebagai tahanan politik ke Minahasa Sulawesi Utara. Kyai Mojo tiba di Tondano pada tahun 1829 hingga meninggal di sana pada tanggal 20 Desember 1848 dalam usia 84 tahun.
2. Akulturasi Sosial-Budaya dan Laboratorium Kerukunan
Kyai Modjo dan 63 orang anggota rombongan yang diasingkan kompeni Belanda semuanya adalah laki-laki. Dalam perjalanan waktu, maka sebagian diantara mereka akhirnya menikahi perempuan dari Etnis Minahasa. Alhasil, Jaton saat ini adalah percampuran 2 kebudayaan daerah di Indonesia.Â
Antropolog yang menulis buku Kampung Jawa Tondano, Religion and Cultural Identity, Tim Babcock, sebagaimana dilansir cnnindonesia.com menyebut bahwa ketiadaan perempuan pada kelompok tahanan asal Jawa tersebut, memicu pernikahan beda etnis dengan para wanita Minahasa. Menurut Babcock, sejarah verbal di daerah itu menyebut setidaknya satu pertiga tahanan menikahi perempuan lokal.
Dari segi bahasa pun demikian, penduduk Jaton menguasai bahasa Jawa dan bahasa lokal Tondano. Bahkan anak-anak Jaton di tahun 1990-an disebut lebih menguasai bahasa lokal Tondano/Toudano dibanding anak-anak  dari desa/kelurahan lainnya di Kota Tondano pada jaman tersebut.
Akulturasi yang kuat dengan penduduk asli, menyebabkan kehidupan yang rukun antara penduduk Jaton dengan penduduk desa/kelurahan lainnya. Bukan berarti tak ada perbedaan pendapat, namun kultur musyawarah dan dialog mampu menyelesaikan perbedaan yang ada. Jaton pada akhirnya bersama-sama dengan masyarakat Minahasa lainnya, memberi kontribusi pada kehidupan yang rukun antar umat beragama di Minahasa dan Sulawesi Utara yang dikenal dengan semboyan: Torang Samua Basudara (Kita Semua Bersaudara).  Â
3. Lebaran Ketupat Khas Jaton yang Lebih Ramai dibanding Hari Idulfitri
Salah satu tradisi yang digelar masih sejak jaman Kyai Modjo dan pengikutnya menginjakan kaki di Kota Tondano adalah Lebaran Ketupat, yang digelar sebagai ajang silahturahmi untuk mempererat persaudaraan. Di hari lebaran ketupat, warga dari daerah Tondano hingga Manado baik muslim maupun non muslim selalu memadati kampung Jaton. Â Saking padatnya tamu yang berkunjung, menyebabkan sulitnya mencari tempat untuk parkir kendaraan.Â
Media lokal mangunipost.com menyebut bahwa Lebaran Ketupat biasanya diadakan seminggu setelah perayaan Idul Fitri. Sebuah penanda kebahagiaan dari kemenangan di bulan Ramadhan. Inilah ekspresi, wujud syukur atas berakhirnya Puasa Sunnah 6 hari Syawal.
Sajian khas Lebaran Ketupat adalah ketupat bersama daging rendang serta opor ayam dan menu khas Jaton lainnya. Tapi sajian yang terutama adalah keakraban dan silaturahmi persaudaraan.
Hmmm akankah tahun ini bisa pasiar (pesiar) disaat Lebaran Ketupat Jaton? Sepertinya tidak. Si Corona belum bosan menetap di Bumi Nyiur Melambai. Tak apalah, yang penting persaudaraan dengan sobat dan saudara muslim di Jaton tetap dihati.
Selamat Idul Fitri Jaton....Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H