Suara pers dan suara publik memiliki kesamaan yaitu sama-sama membutuhkan kebebasan untuk ekspresinya. Pers harus bebas menyuarakan atau mewartakan fakta. Publik juga bebas menyampaikan pendapat. Namun demikian kebebasan itu harus diatur sedemikian rupa agar supaya baik kebebasan pers maupun kebebasan suara publik tidak liar dan mengganggu kebebasan azasi lainnya.
Perlu ada etika yang mengatur kebebasan. Apalagi ketika kebebasan itu menyentuh ruang publik dan bersinggungan dengan orang yang terdampak dengan penggunaan kebebasan pers dan kebebasan suara publik.
Di negara kita tercinta, hal-hal ini diatur dalam konstitusi kita, yang dapat kita lihat dalam Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945: "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.".
Juga dalam Pasal 28F yang mengatur bahwa: "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia."
Bagaimana potret dan harapan terhadap kebebasan pers dalam kondisi pandemi?
Pers dan Publik dalam "Pandemi Ganda"
Menarik ketika kita hubungkan kebebasan pers dan suara publik di masa pandemi. Tiga hal ini jelas sangat berhubungan dan memiliki pengaruh yang kuat. Apa saja saling pengaruh tersebut?
Pandemi Covid-19 berikut kebijakan negara dalam menghadapinya, jelas sangat berpengaruh bagi pers. Cara kerja pers, eksistensi perusahaan dan kesejahteraan pers hingga kebebasan pers. Dalam posisi strategisnya sebagai insan atau institusi pewarta kabar berita, pers bebas meliput, atau melakukan praktek jurnalisme investigatif, menemukan fakta dan data. Tetapi dengan situasi pandemi, aktivitas tersebut harus beradaptasi. Misalnya, jika sebelumnya jurnalis bebas masuk keluar kantor tanpa masker, sekarang masker menjadi perlengkapan wajib.
Pandemi Covid-19 dan menjamurnya institusi pers membuat publik dihadapkan juga dengan banjir berita atau dapat dibahasakan sebagai "pandemi berita". Inilah maksud saya dengan istilah "Pandemi Ganda". Bukan hanya pandemi Covid-19, tapi juga dengan perkembangan media yang menjamur, ditambah lagi dengan pertumbuhan media sosial, maka sebenarnya kita telah lama mengalami "Pandemi Berita". Banjir berita, banjir informasi. Mana yang publik akan pilih? Bingung!
Serunya, dalam konteks sekarang, inti berita sama yaitu tentang perkembangan Pandemi Covid-19. Dalam kondisi fakta dan data yang sama, pers akan bersaing mendapatkan perhatian publik agar supaya berita mereka yang dibaca atau di-klik oleh publik pembaca.
Apa yang terjadi? Saya pernah membaca karya jurnalistik dimana fakta dan data yang sama, dikemas dalam berita oleh media yang berbeda, namun sayang sekali judulnya pun sama. Karena sudah terlanjur membaca di media yang lain, maka berita dengan judul sama tersebut saya lewatkan. Sebagai pembaca, saya hanya akan memilih 1 saja. Siapa yang akan membaca berita yang sama apalagi dengan judul yang sama.
Nah, jika berita tidak dibaca, sia-sialah pemberitaan itu. Bukankah berita dibuat untuk dibaca? (atau didengar dan ditonton). Hal seperti ini, tidak akan terjadi kalau pers benar-benar memanfaatkan kebebasannya.