Dalam banyak kesempatan ketika diminta menyumbangkan waktu dan tenaga untuk tanggung jawab sosial -masyarakat dan keagamaan, mereka adalah barisan terdepan. Ijin tak kerja dan tak terima gaji hariannya, kemudian sumbangkan tenaga untuk kerja-kerja gotong royong yang didaerah saya disebut "mapalus", kearifan lokal untuk urusan kebersamaan, bertolong-tolongan, bahu-membahu yang mensyaratkan pengorbanan!Â
Dengan berkorban waktu untuk kepentingan masyarakat, mereka telah berbagi untuk banyak orang. Lihatlah hasil karya mereka: pos kamling, saluran air, gedung pertemuan hingga rumah ibadah. Belum tentu hal seperti itu bisa dilakukan masyarakat dengan  yang lain, dengan "kelas profesi" di atas mereka.Â
Dalam beberapa kesempatan, ketika saya meminta bantuan memperbaiki bagian kecil rumah tinggal yang rusak, apa yang terjadi? Mereka tak mau dibayar. Mereka mau membantu, mau berbagi. Bukan berbagi uang tapi berbagi tenaga, berbagi kebaikan.
Indahnya hidup, meskipun tak kaya tapi tetap bekerja, bertanggungjawab, sekolahkan anak, bersyukur, berkorban dan berbagi. Saudara-saudaraku buruh engkau mulia dan sejahtera.Â
Kalian memberi pelajaran hidup untuk  kami yang malas, tidak bertanggungjawab terhadap kerja, berpendidikan tapi tak peduli dengan pendidikan anak, diberkati tapi tidak bersyukur, berkelebihan tapi tak mau berkorban dan berbagi.
Buruh, engkau mulia, sejahtera dan terhormat. Terimakasih untuk pembelajaran hidup. Tuhan memberkatimu...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H